Sep04
Adaku tak Berarti
Aku terbangunkan desah angin
Belaian lembutnya bak sentuhan ibu
Terik surya menyapaku lagi
Namun sang merpati mengepakkan sayapnya pergi
Sedang aku masih terpatri di sini
Menatap kejamnya fatamorgana duniawi
Lihatlah bangunan angkuh itu!
Tingginya seakan melahap langit
Keberadaannya tlah menyita kuasaku
Ch, seakan ia lebih berharga dariku
Lihatlah antrian mobil bermerek itu!
Kilaunya hendak saingkan purnama
Suara klaksonnya bak terompet tahun baru
Kepulan asap knalpotnya kalahkan persahabatan atom oksida
Ah, seakan bumi tak akan runtuh saja karena mereka
Dan hanya akulah yang bisa menyelesaikannya
Lihatlah aku!
Aku yang berdiri tegap pertahankan singgahsanaku
Meski makanpun aku terseok
Meski langkahpun tak dapat menjangkau dahaga
Dan meski kepulan asap mengepung gerakku
Aku tetap bertahan
Umur tlah menggerogoti tubuhku
Tapi aku harus bertahan
Kutanggung tugasku karena pinta Tuhan
“nyalakan apinya, dan segera bakar mereka”
Suara manusia itu beriring dengan rasa panas tubuhku
Ranting-rantingku mulai menggeliat ketakutan
Daun-daunku berteriak pilu
Warna mereka pucat karna racun manusia
Dan aku, hanya bisa menitikkan air mata
Sesal karena adaku tak sungguh diharapkan
Sesal karena adaku tak sungguh berarti
*Puisi ini telah diterbitkan dalam 'Antologi Puisi' bertemakan 'Hutan' oleh 'Penerbit Genom'
0 komentar: