Minggu, 04 September 2016

Kalungan Rindu Ayah


“Anna, tolong pijitin kepala ayah ya. Ayah capek.” Pinta ayah sesaat setelah ia keluar dari ruang kerjanya. Ruang kerja ayah bukanlah ruang kerja yang dipenuhi dengan tumpukan berkas-berkas penting ataupun buku-buku yang membahas tentang omset atau penjualan. Tapi ruang kerja ayahku hanyalah ruang kerja kecil yang berisi dengan seperangkat komputer sederhana dengan tumpukan lempengan VCD player di sekitarnya. Bahkan ayah tak mempunyai kursi goyang seperti kantor selayaknya. Ayah hanya memilih lantai berkarpet sebagai alasnya mengadu nasib di depan komputer.
“kalau ngantuk, biar bisa langsung tidur.” Begitulah ujarnya. Yah, ayahku bukanlah pegawai negeri sipil ataupun pengusaha sukses yang berinvestasi dimana-mana. Ayah adalah seorang dokumenter yang menjual jasanya pada siapapun yang memintanya. Ayah adalah tukang shooting lokal yang melayani shooting kemanten, khitan, acara maulud dan acara-acara semacamnya. Atau lebih kerennya ayahku adalah cameraman acara pribadi. Karena pekerjaan ayah bukanlah pekerjaan yang bisa mendapatkan gaji bulanan, ayah harus berusaha keras agar kebutuhan keluarga kami tetap terpenuhi meskipun terkadang ayah tidak mendapat job selama lebih sebulan. Biaya kuliahku, biaya sekolah kedua adikku dan kebutuhan rumah bukanlah sesuatu yang dapat ditunda dengan mudah.
“Anna, pijitin ayah ya…” pinta ayah lagi. Aku yang masih berkonsentrasi pada laporan pratikum kimia yang kutulispun tak mendengarkan ucapan ayah. Laporanku harus selesai besok pagi. Dan jika aku tak menyelesaikannya, aku tak diizinkan untuk masuk laboratorium untuk mengikuti pratikum selanjutnya. Dan aku tak mau itu terjadi.
“Anna…” panggil ayah dengan nada memelas. Terpaksa aku menghentikan tulisanku dan menatap ayah dengan kening berkerut.
“ada apa sih ayah!” jawabku dengan sedikit nada tinggi.
“tolong pijitin kepala ayah nak… ayah capek seharian duduk di depan computer.”
“Anna masih ngerjain laporan ayah… besok laporan Anna dikupulkan.” Sengkalku berharap ayah membatalkan permintaannya.
“sebentar aja… sebentar.” Bela ayah. Aku menekan kedua gigiku di balik bibirku. Aku hafal ayah. Sebentarnya ayah, berarti aku harus memijatnya hingga ayah tertidur. Dan saat dipijat, ayah bukannya segera tidur tapi selalu saja protes jika pijatanku kurang keras atau tak terasa di dahinya. Padahal aku selalu mengerahkan semua tenagaku saat memijat ayah. Bisa dibilang memijat ayah adalah olahragaku.
“ayah capek Anna…” lanjut ayah. Seakan aku gak lelah juga seharian harus kuliah dan keluar masuk lab. Dan malamnya aku harus berkutat dengan laporan yang diharuskan ditulis menggunakan tangan.
“kapan lagi Anna pijitin ayah kalau gak pas pulang gini…” Yah, karena jarak dari rumah ke kampus membutuhkan waktu sekitar dua jam perjalanan, jadi aku memilih untuk tinggal di daerah sekitar kampus dan pulang jika ada hal yang mengharuskanku pulang ke rumah. Meskipun begitu, ayah tak bisa menggunkan itu sebagai alasan. Aku melirik laporanku dan ayahku bergantian dengan wajah tertekuk.
“ayo Anna…” pinta ayah untuk keseribu kalinya.
“pijitin aja Anna.. ayahmu kalau tidur juga cepat kok.” Sahut ibu yang berjalan dari dapur dengan sekeranjang daun singkong dan duduk di depan televisi.
Aaah. Aku benar-benar tak bisa bilang tidak pada mereka. Sebenarnya laporanku hampir selesai, tinggal sedikit lagi. Jika dilanjutkan nanti malam juga bisa selesai. Tapi aku tak berniat begadang lagi nanti malam. Aku ingin tidur lebih awal.
Akhirnya, akupun melemparkan penaku dan berjalan mendekati ayah yang berbaring di atas kasur.
“nah, gitu donk nak…” kata ayah saat aku mulai meletakkan jari tanganku di atas dahinya dan mulai memijatnya. Aku menekan-nekan dahi ayah dengan wajah yang tertekuk. Antara mengeluarkan tenaga dan terpaksa, mereka bercampur membuat wajahku benar-bennar mengkerut.
“mijitin ayah kok sambil cemberut gitu.” Sindir ibu dengan tangan yang memotong daun singkong menjadi kecil-kecil. Aku semakin mengerucutkan bibirku dan melihat tumpukan kertas laporanku yang masih berserakan. Sedang ayah tak kunjung juga memejamkan matanya. Ayah malah melihat sinetron India yang diputar di salah satu stasiun televisi Indonesia. Dan aku juga hafal betul, ayah tidak akan mudah tertidur jika acara yang diputar di televisi adalah acara favoritnya.
“Ayah! Buruan tidur gih!” pintaku yang lebih mirip dengan perintah pada ayah.
“bentar Anna… bentar.”
“kalau ayah gak tidur-tidur, Anna balik ke kamar lagi. Laporan Anna belum selesai.” Ancamku. Aku tak tau kenapa kata-kata seperti itu bisa keluar dari mulutku. Sebagai seorang anak, tak seharusnya aku menaikkan nada bicaraku pada ayah. Tapi entah kenapa kata itu keluar tanpa kusadari.
“sedikit lagi Anna… sedikit lagi. Ayah capek nak…” rengek ayah lagi. Untuk kesekian kalinya aku mengalah. Tapi tetap saja ayah tak kunjung terjatuh dalam mimpinya. Dia malah mengoceh gak jelas karena emosi yang terluapkan dari sinetron yang ia lihat. Merasa dibodohi, akupun menghentikan pijatanku dan langsung berjalan ke dalam kamar tanpa sepatah katapun.
“lhoh, Anna. Belum selesai.” Panggil ayah seraya melambaikan tangannya. Cukup, aku tak peduli lagi. Aku harus segera menyelesaikan laporanku, dan besok aku harus berangkat dua jam lebih awal ke kampus jika aku tak ingin terlambat. Karena perjalanan di bus tidak bisa dipastikan, sepertinya aku harus berangkat sekitar tiga jam lebih awal. Jika saja ayah mau mengantarku dengan motor besok, aku pasti tidak perlu seribet ini. Tapi lagi-lagi ayah menggunakan ‘capek’ sebagai alasannya.
“lhah iya. Ayah sama anak kok ribut terus.” Sela ibu yang kutanggapi dengan menutup pintu kamar dari dalam. Aku butuh ketenangan untuk menyelesaikan laporanku.

“andai saja Anna balik kemaren, Anna pasti tidak sendirian.” Cerocosku sembari memasukkan buku-bukuku ke dalam tas.
“lha kenapa gak balik kemaren aja?” tanya ibu yang memasuki kamarku dengan keresek hitam besar.
“Ayah bilang mau nganterin Anna balik ke Malang hari ini. Jadi Anna gak terburu-buru dan bisa nyantai. Tapi ternyata tiba-tiba saja ayah membatalknnya. Ayah bohongin Anna lagi.” umpatku. Kutarik resleting tasku dengan paksa hingga mengeluarkan bunyi Brtrtrtr dengan keras.
“tanya lagi sama ayahmu. Kali aja berubah pikiran. Ayah memang habis begadang tadi malam Anna… VCD kemanten di Sukerjo kemaren sudah ditagih sama orangnya. Sedangkan proses editing belum selesai. Kalau saja ayah punya teman yang bantu, pasti bisa cepet selesai, bisa cepet dapat uang juga. Lha ini ayahmu kerja sendiri. Ibu cuma bisa bantu copy saja. Ibu gak bisa kalau disuruh editing-editing gitu.” Saran ibu seraya mengambil pakaian adikku yang berserakan di lantai. Yah, adikku sudah berangkat ke sekolah beberapa saat yang lalu diantar ayah. Namun, sudah lebih dari 15 menit ayah tak kunjung kembali ke rumah. Ku kira jarak antara sekolah adik dan rumah tak sampai menghabiskan waktu sebanyak itu jika naik sepeda motor.
Aku melirik jam di atas dinding. Jarumnya menunjukkan pukul 06.30 WIB. Pratikumku dimulai pada pukul 9 tepat, dan tidak ada toleransi keterlambatan. Andai saja rumahku berada di pinggir jalan raya, pasti bisa dengan mudah aku mencari bus jurusan Malang. Namun rumahku berada di tengah-tengah gunung arjuna yang membutuhkan waktu sepuluh hingga limabelas menit untuk bisa mengintip jalan raya.
“ayah kemana sih! Tau gini aku gak nurutin ayah!” seruku dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Anna, ayo.” Sebuah suara berat dari balik pintu kamarku mencegah air mataku untuk keluar. Aku lirik ayah dengan tatapan marah. Sedangkan ayah hanya terdiam seakan tak tau apa yang harus ia lakukan untuk menghadapi amarahku.

“Anna gak papa balik sendiri ayah.” Tolakku halus dan berusaha mengambil kresek hitam besar yang berisi bawaan dari ibu di tangan ayah. Bus yang kutunggu sudah datang. Aku hanya perlu mengambil kresek itu, mencium punggung tangan ayah dan segera naik. Tapi bukannya menyuruhku segera naik, ayah malah mendorongku halus dari belakang untuk menaiki bus terlebih dahulu sedangkan ayah mengikuti di belakang. Aku hanya menuruti ayah dengan pikiran yang bertanya-tanya karena pintu bus akan segera ditutup.
“duduk di situ Anna.” Pinta ayah saat melihat dua kursi kosong di dekat pintu.
“haaah, leganya.” Ayah menyandarkan punggungnya pada kursi penumpang. Sedangkan aku masih mengerutkan keningku. Penasaran kenapa ayah malah ikut naik bus bersamaku.
“kenapa ayah ikut naik bus?”
“ayah gak bisa nganterin Anna naik motor. Tapi ayah bisanya nganterin Anna naik bus. Nanti ayah anterin sampe depan kampus juga gak papa. Ayah gak kuat kalau naik motor. Ayah ngantuk. Nanti khawatirnya ada apa-apa. Jam berapa Anna masuk?”
“Jam 9.” Jawabku singkat. Ayah melihat jam di handphone lamanya. Handphone yang hanya bisa di buat telphon dan SMS. Padahal beberapa bulan kemaren ayah langsung membelikanku handphone android saat aku berkata kalau aku butuh handphone yang bisa dibuat internetan untuk kuliahku.
“sekarang jam 7. Kira-kira nyampe kan? Anna gak telat kan?” tanya ayah. Aku hanya mengangguk lemah. Masih terkejut dengan jawaban ayah.
“perjalanannya lama ayah… ayah nganterin Anna sampe terminal saja. Gak perlu sampe depan kampus.” Saranku pada ayah. Karena setelah naik bus dan berhenti di terminal, aku harus naik mikrolet sekitar setengah jam untuk sampai di depan kampus. Itupun kalau gak macet.
“gak papa. Ayah pengen nganterin Anna. Sekalian nostalgia. Sudah lama ayah tidak naik bus.” Ayah menarik kedua ujung bibirnya yang membuat hatiku serasa miris.
“koran koran. Kecelakaan maut dua bus menewaskan sepuluh orang  dan lima lainnya luka-luka. koran koran buk.. paak.” Suara loper koran di dalam bus membangunkan ayah yang hampir terjatuh dlam mimpinya. Ayah membuka matanya dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling bus seakan mencari sesuatu.
“Mas Yahya, Assalamualaikum.” Panggil sebuah suara yang sepertinya akrab dengan ayah. Ayah menolehkan kepalanya dan tersenyum lebar saat melihat si pemilik suara yang berjalan ke arahnya. Penasaran, aku yang segaja disuruh ayah untuk duduk di dekat jendela sedangkan ayah di dekat jalan yang memisahkan antara kursi dan kursi lainnya pun mendongakkan kepalaku. Aku terkejut saat melihat siapa yang menyapa ayah itu. Yah, yang menyapa ayah dengan akrab itu adalah loper koran yang tadi menjajakan korannya.
“waalaikumsalam. Gimana kabarnya?” ayah menepuk punggung loper koran itu bersahabat.
“yaah, tetap gini mas yahya. Gak kayak sampeyan yang udah sukses. Gak perlu naik turun bus kayak dulu lagi.” jawab loper koran itu dengan malu-malu.
“alhamdulillah. Ikhtiar terus saja dan jangan lupain ibadahnya. Gusti Allah pasti ngasih jalan. Gak mungkin Gusti Allah nelantarin hamba-Nya, iya tho?” nasihat ayah yang mendapat anggukan cepat dari pak loper koran.
“ada berita apa sekarang?” tanya ayah seraya melirik tumpukan koran yang dibawa teman lamanya itu.
“kecelakaan mas. Sepuluh orang tewas, yang lain luka-luka.”
Ayah mengambil salah satu koran dan membacanya sekilas dengan penasaran. “aku satu ya.” Ucap ayah seraya menyodorkan uang 10.000 rupiah pada temannya.
“kembaliannya mas.” Teman ayah memberikan beberapa uang ribuan pada ayah, namun ayah menolaknya pelan.
“bawa saja. Buat jajan anak kamu.”
“terimakasih mas. Trimaksih. Doain laris mas. Sekarang jualan koran sulit mas. Handphone sudah canggih-canggih semua. Ini aja baru laku satu ini mas.” Teman ayah menatap ayah dengan wajah yang sumringah sekaligus sedih bersamaan.
“udah tho… jangan ngeluh terus. Banyakin ibadah sholat dhuha sama baca surat Al-Waqiah. Insyaallah, rezekimu bakal lancar.”
“mau sholat dhuha mas. Sholat fardhu aja kadang lupa-lupa ingat.” Teman ayah menggaruk-nggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“nah, itu.”
“iya mas… makasih mas. Mari. Assalamualaikum.”
Ayah menghela nafas panjang setelah menjawab salam dan menjabat tangan temannya itu dengan erat seakan memberi kekuatan. Aku melihat tatapan ayah yang tertunduk ke bawah.
“dia teman ayah. Ayah dulu pernah jadi loper koran, pedagang asongan sebelum ayah jadi tukang shooting. Ayah juga naik turun bus juga. Jadi ayah banyak yang kenal dengan pedagang asongan sekitar Malang-Surabaya-Pasuruan. Sudah ya, ayah mau istirahat bentar. Nanti kalau sudah sampai, ayah dibangunin ya.” Pesan ayah dan mulai memejamkan matanya kembali. Tak perlu butuh waktu lama, ayah sudah terjatuh dalam dunia bawah sadarnya. Sedangkan aku masih menatap ayah dengan hati yang teriris. Yah, aku melupakan satu fakta bahwa ayah pernah banting tulang sebagai loper koran dan pedagang asongan untuk menghidupi keluarga kami. Aku jadi teringat cerita ibu saat itu.
“Anna dulu masih enak. Meskipun ayah Cuma seorang loper koran, tapi ayah selalu nemenin Anna sejak kecil. Semenjak ayah jadi tukang shooting, penghasilan ayah memang jauh lebih tinggi dari loper koran. Tapi ayah jarang sekali berada di rumah. Pagi siang malaam di rumah orang kalau ada shooting kemanten. Belum lagi kalau si pengantin ngadain pertunjukkan wayang yang bisa saja sampai subuh. Sampai rumah udah lelah, trus harus edting video sendiri. Kasihan adik-adiknya Anna. Waktu dengan ayahnya menjadi kurang.” Cerita ibu saat aku membantu memasak di dapur.
“tapi enak adik-adik pengen apa-apa sekarang dituruti. Kalau Anna dulu minta mainan seharga 15.000 saja, bukannya dibelikan malah Anna mendapat cubitan di paha Anna. Sampai biru lagi.” ingatku saat dulu aku pernah meminta dibelikan mainan pada ayah. Itulah kali kedua ayah mencubitku. Dan pertama kalinya adalah ketika aku di ajak ke Mall, dan aku gak mau pulang padahal jam sudah malam. Yah maklum, untuk seorang anak kecil yang tak pernah pergi ke tempat seperti itu, bukankah hal yang wajar. Iya kan?
“lha saat itu ayah sedang kerja. Ayah dan ibu juga Cuma pegang uang 10.000. lha apa yang mau dibuat beli?Anna juga ngrengek terus gak mau dialihin. Jadi ya terpaksa ayah nyubit Anna.” Jelas ibu sembari memotong tempe menajadi bagian yang lebih kecil.
“hehehe… Anna kan gak tau kalau saat itu ayah sama ibu gak punya uang.” Aku memamerkan deretan gigiku yang tidak rata seperti deretan gigi ayah.
“dulu pas Anna masih kecil dan ayah sama ibu masih numpang tinggal di rumah nenek, Anna gak pernah telat minum susu. Ayah selalu nyisihin uang hasil loper korannya untuk membelikan susu untuk Anna. Bahkan uang susu untuk Anna lebih banyak daripada uang untuk makan ayah sama ibu. Pokoknya kebutuhan Anna yang terpenting. Ayah sama ibu bisa nyusul belakangan.” Cerita ibu. Aku mengupas bawang merah ditanganku dengan mata yang perih. Bukan, bukan perih karena reaksi bawang putih. Tapi perih karena hatiku yang seakan teriris.
Aku memandangi ayah yang tengan tertidur di sampingku dengan kepala yang terkatuk-katuk. Mata merah yang berada dibalik kelopak mata yang tertutup itu menyembunyikan kelelahan yang tak bisa terkatakan. Kasih sayang yang tersirat di dalamnya tak bisa tersalurkan lewat suara. Hanya uraian isyarat sayang yang tersampaikan bagi siapapun yang bisa membacanya. Selama sembilan belas tahun kebersamaanku dengan ayah, ternyata aku hanya bisa melihat topeng ketegaran yang ayah pasang di rautnya. Aku tak bisa membaca arti sebenarnya dibalik topeng yang ayah kenakan. Aku hanya egois dengan memaksakan semua kemauanku agar selalu dituruti olehnya. Bahkan aku tak melirik sedikitpun kemauan yang berusaha ayah sampaikan padaku lewat tatapan teduhnya. Dan ketika ayah hanya memintaku untuk ‘memijatnya’, aku malah mengeluarkan tandukku seakan ingin menyerangnya. Padahal sudah berapa banyak permintaan yang telah aku ajukan padanya? berapa banyak keringat dan air mata yang kukeluarkan dari ayah untuk memnuhi segala kebutuhanku? Seberapa banyak usaha yang ayah kerahkan hingga aku bisa kuliah di salah satu Universitas Negeri terkenal di Indonesia ini meskipun ayah dan ibu hanyalah lulusan Sekolah Menengah Pertama? Aku merasa menjadi anak paling bodoh karena tak segera menyadari kasih sayang ayah dan ibu yang selalu tersirat dibalik emosi mereka. Aku seringkali mendewakan keegoisanku di atas kasih yang kusalurkan untuk ayah dan ibu lewat prestasi-prestasi yang berusaha kuraih untuk membuat mereka tersenyum.
Tanpa sadar ada air hangat yang menetes dari sudut mataku membasahi pipiku. Kusandarkan kepalaku di bahu ayah dan mendekap satu tangannya dengan erat. Kupejamkan mataku saat ayah terbangun. Berusaha menyembunyikan air mataku.
“lhoh, sudah sampai Anna? Apa ayah sudah lama tertidur?” tanya ayah dengan mata yang masih merah. Entah karena baru bangun ataukah karena begadang, yang jelas mata merah itu akulah yang menyebabkannya. Mata merah yang dipaksakan ayah untuk bekerja keras agar kuliahku dan sekolah adik-adik tetap lancar.
Aku menggelengkan kepalaku lemah dan tersenyum pada ayah sebelum kemudian mendekap lengannya lebih erat lagi.
Ayah, kalungan rindumu, maaf karena terlambat menyadarinya.

#cerpen ini telah diterbitkan oleh IDM Publishing

0 komentar: