Rabu, 07 September 2016

Harapanmu, Pilihanku

“kamu itu maunya gimana sih nak…” tanya ibu sembari duduk di bibir ranjangku. Aku yang masih menyembunyikan air mataku di balik bantalpun tak berani menatap ibu. Pikiranku masih melayang disaat aku melihat pengumuman seleksi ujian mandiri tulisku di salah satu Universitas Negeri yang kupilih.

Maaf. Anda tidak diterima dalam seleksi ujian.

Dan itu bukan pertama kalinya aku mendapati tulisan itu saat aku memasukkan PIN dan password ujianku. SNMPTN, SPAN-PTAIN, dan SBMPTN, semua menyatakan kalau aku gagal dalam seleksi ujianku. Dan tadi pagi, harapan terakhirku untuk memasuki Universitas Negeri yang kupilih hancur sudah dengan tulisan merah yang tertera disana. Aku jadi bertanya-tanya, apakah aku tidak diridhoi Tuhan untuk kuliah tahun ini? Setelah tak sengaja mendengar percakapan ayah dan ibu saat aku tertidur kemarin malam, aku jadi ragu untuk melanjutkan studiku ke jenjang perkuliahan. Jujur, keluarga kami bukan keluarga yang tak pernah kekurangan uang. Bahkan tak jarang ayah harus meminjam uang dari paman-pamanku untuk membiayai sekolahku dan kedua adikku. Ayah dan ibu memang menanggapi baik saat aku berkata ingin kuliah, meskipun sebenarnya mereka berpikir keras agar bisa membayar biaya pendaftaran kuliahku nantinya. Mungkin Tuhan tengah merencanakan sesuatu. Tapi bagaimanapun juga, dinyatakan gagal dalam seluruh jalur seleksi yang kulakukan, tentu saja membuatku frustasi dan meragukan diriku sendiri.

“nak… masih tinggal satu pengumuman lagi kan?” rayu ibu. Yah, memang tinggal satu pengumuman lagi. UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Tapi bukan disana aku ingin mendalami mata pelajaran yang kusukai. Kimia.

Tahun depan, mungkin aku akan mencobanya kembali. Disaat ayah dan ibu sudah mempunyai persiapan untuk biaya studi lanjutku. Mungkin saat itu Tuhan akan lebih meridhoi dan memperlancar jalanku. Aku meyakini itu.

###

“sekarang pengumuman seleksi mandiri tulis UIN kan?” tanya Haidar, sahabatku, dari seberang sana. Aku mengiyakan pertanyaan haidar dengan lemah. Yah, aku sudah tak penasaran dengan hasil ujian masuk universitasku lagi. Aku sudah memutuskan untuk melakukannya lagi tahun depan. Dan untuk mengisi kekosonganku setahun ini, aku akan belajar di pondok pesantren salaffiyah dan melanjutkan hafalan Al-Qur’anku yang sempat terhenti sembari menyiapkan ujian masuk universitas yang kuinginkan. Mungkin saja hafalanku bisa memberikan nilai plus saat aku kuliah nantinya. Barokah Al-Qur’an? Siapa yang tahu. Aku tak benar-benar melepas impianku untuk masuk kuliah, aku hanya menundanya. Itu saja.

“nomor ujian kamu berapa?” suara haidar memecah lamunanku.

“nomor ujian? Buat apa?” aku memaksakan suaraku untuk keluar. Meskipun aku sudah memantapkan pilihanku, tapi sejujurnya masih terselip kekecewaan luar biasa di benakku. Keinginanku untuk kuliah tahun ini, masih belum surut.

“sebutin aja nomor ujian kamu. Sini aku lihatin.” Yah, karena di rumahku tidak ada jaringan internet, haidarlah yang selalu memantau perkembangan seleksi PTNku. Bahkan dia juga yang mendaftarkan dan melihat hasil ujianku. Haidar memang sahabat yang paling berperan dalam kehidupanku. Kadar kepercayaan yang kuberikan padanya jauh lebih besar dibandingkan teman-temanku yang lain. Bisa dibilang, dia istimewa?? Atau mungkin lebih.

“kartu ujianku sudah aku buang haidar... Gak usah diliat. Lagian gak bakalan masuk juga. Aku sudah mengambil keputusan untuk tidak kuliah tahun ini.” jawabku setengah hati. Aku hanya tidak mau dia kecewa dengan keputusanku. Diam-diam aku iri dengan haidar yang sudah dinyatakan diterima di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

“gak kuliah kenapa?” aku mendengar suara Haidar yang menyembunyikan kekecewaannya. “ayolaaah… kasih tau nomor ujian kamu. Prodi yang kamu pilih kimia kan?” lanjutnya.

“udaah. Gak papa haidar… biar tahun ini ayah sama ibu fokus pada adik-adik dulu. Adik-adik juga butuh biaya banyak. Aku bisa tahun depan. Lagian setahun nanti aku juga gak diam di rumah saja kok. Aku melanjutkan hafalanku di pesantren salaf. Tahun depan aku susul kamu.” Jawabku pura-pura tegar. Padahal mataku mulai kabur. Ada genangan yang memenuhinya.

Ayo Nafa… kamu bisa. Kamu harus yakin dengan pilihamu sendiri. Ayah dan ibu sudah mendukungmu kan? jadi, apa lagi yang membuatmu goyah? Yakinku pada diriku sendiri. Tapi entah kenapa air mataku mengalir semakin deras saat haidar menerima keputusanku dengan berat.

"Baiklah kalau itu memang benar-benar keputusanmu. Tapi aku meragukannya." Aku dapat mendengar helaan nafas kecewa haidar.

“yang aku ingat nomor ujianku belakangnya 144.” Ucapku sebelum mengakhiri telephonku dan haidar.

###

“kamu di rumah kan?” tanya haidar dari balik telephon.

“iya. Di dalam kamar.” Jawabku seraya merebahkan punggungku di atas kasur.

“tapi kenapa ini rumah sepi banget ya? Ada orangnya gak sih? Assalamualaikum…” rancau Haidar yang membuatku mengerutkan keningku.

“Assalamualaikum…” ucap Haidar. Tapi tunggu, kenapa aku juga mendengar suara orang mengucap salam seraya mengetuk pintu rumahku? Tak mau penasaran, akupun mengangkat tubuhku ke ruang tamu dan mengintip siapa yang berada di balik pintu. Seketika aku terkejut saat mengetahui siapa yang berada dibalik pintu dengan telephon yang masih berada di telinganya. Haidar.

“ka… kamu, ngapain? Ada apa?” tanyaku terbata setelah aku membuka pintu. Seperti biasa haidar memamerkan senyumnya seakan dia tak bersalah sedikitpun. Seakan tiba-tiba muncul dirumahku tak cukup membuat jantungku hampir copot. Aku bahkan lupa tak menjawab salamnya.

“boleh aku masuk dulu?” Haidar membangunkan keterkejutanku dan membuatku salah tingkah. Bagaimanapun juga, belum ada seorang laki-lakipun yang pernah datang ke rumahku. Sendirian? Dia sungguh berani di saat kedua orang tuaku ada di rumah. Tapi aku bertanya-tanya, apa yang membuatnya nekad datang ke rumahku di saat aku dan dia masih berstatus santri di pesantren yang sama.

“ini pengumumannya, dan ini persyaratannya.” Haidar memberikan dua lembar kertas kepadaku. Aku menerimanya dengan ragu, tak mengerti.

“yang kimia. Nomor ketiga.” Pandu haidar. Aku membelalakkan mataku saat mendapati namaku ada disana. NAFLAH FAKHIRAH. Kenapa namaku ada disana? Aku melihat kertas yang diberikan haidar lagi.

PENGUMUMAN PESERTA LOLOS SELEKSI UJIAN MASUK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

Aku melemparkan pandanganku pada Haidar.

“aku tunggu keputusanmu sekarang. Daftar ulang terakhir besok, kalau kamu masih bingung, aku bisa nganterin kamu. Dari sekian banyak pendaftar, cuma 13 orang yang diterima. Bayangkan orang ke 14 yang seharusnya masuk jika kamu tidak ada.”

“ada apa ini?” tanya ayah yang keluar dari ruang tengah dan diikuti ibu. Haidar mencium punggung tangan ayah dan ibu seraya tersenyum sopan.

“ini pak, mau nganterin ini.” haidar menunjuk kertas yang berada di tanganku. Segera aku memberikan kertas itu pada ayah dan ibu yang duduk disampingku.

“itu pengumuman penerimaan mahasiswa baru di UIN Malang. Dan Alhamdulillah Nafa keterima di jurusan kimia.” Jelas haidar, singkat. Penjelasan yang langsung membesarkan harapanku untuk kuliah. Aku menunggu tanggapan ayah, karena bagaimanapun juga ayah memiliki peran terbesar dalam mengambil keputusan bagiku.

“lhooh, gimana ya. Nafa mau mondok di pesantren salaffiyah. Mau ngelanjutin hafalan Al-Qur’annya.” Jawaban ayah membuat harapanku seketika menciut.

Haidar tampak mengambil nafas panjang dan memamerkan senyumnya lagi. “kan bisa sambil kuliah pak. UIN Malang juga universitas yang bagus pak. Nafa beruntung bisa keterima disana.”

“Nafa. Ayo ikut ibu.” Ibu memegang lenganku, meninggalkan haidar dan ayah yang tampak serius membicarakanku, kuliahku. Aku tau haidar tengah merayu ayah. Karena ayah yang memiliki keinginan yang lebih besar agar aku melanjutkan hafalanku saja. Selama ini Haidar belum pernah gagal merayuku jika ada yang ia inginkan. Dan semoga hal itu berlaku untuk ayah juga.

“bagaimana Nafa?” tanya ibu saat kami sudah sampai di dapur.

Aku menundukkan kepalaku dalam-dalam. Aku sungguh bingung. Aku tak tau apa yang harus aku lakukan.

“ibu tau Nafa khawatir biaya kan? gak usah khawatir. Yang penting Nafa gimana? Kuliah?” tanya ibu sembari memegang pipiku. Aku merasakan air hangat mengalir dipipiku dan jatuh ditangan ibu. “turuti kata hati Nafa.”

“Nafa… pengen kuliah bu…” ungkapku diringi dengan isakku.

###

Selamat, sudah menjadi mahasiswa.^_^

Kubaca SMS dari haidar dengan kebahagiaan yang tidak bisa terkatakan. Haidar. Sahabat yang tak bisa kubahasakan dengan kata-kata lagi. Sahabat yang sudah mengenalkanku dengan kehidupan, mengajarkanku cara untuk bangkit dari keterpurukan, memunculkan senyumku kembali di setiap tangis yang kuuraikan padanya, mendukung setiap pilihan yang terbaik untukku, dan sahabat yang membuat mimpiku semakin dekat. Sahabat yang tanpa kusadar sudah menumbuhkan benih-benih kasih sayang yang tak seharusnya keselipkan dalam persahabatan kita. Sahabat yang setiap pilihannya, seakan menjadi keputusan yang tak bisa kutolak.

PROFIL PENULIS

Penulis yang memiliki nama lengkap Siti Nur Jannah ini adalah mahasiswa jurusan kimia di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Sejak 13 Agustus 1996, ia dibesarkan dalam keluarga sederhana di Pasuruan, Jawa Timur. Ia juga alumni Pondok Pesantren Ngalah di Pasuruan. Penulis juga merupakan santri di MHB Darul Hikmah Malang. Penulis bisa dihubungi di akun FB: An Na (Siti Nur Jannah) atau e-mail: anna.naflah@gmail.com

0 komentar: