Minggu, 04 September 2016

Penanti yang Tak Sadar

“Kenangan-kenangan itu selalu hadir. Hadir dalam ingatan yang tak pernah kuundang. Seandainya saja bisa, ingin rasanya kusisihkan ingatan ini bersama dengan angin. Namun, semakin aku bergerak untuk menjauh, semakin cepat pula kenangan itu menjajari langkahku. Apakah aku harus menyalahkanmu yang memberikan kenangan ini ataukah aku harus menyalahkan diriku yang tak bisa melupakannya?”
“Nafa, ke kantin yuk!” teriak suara dari belakangku. Aku yang masih menulis keterangan dosen di papan tulispun hanya menganggapnya angin lalu.
“Nafa.” suara yang tidak asing itu memanggilku lagi. Seperti biasa, aku tak menghiraukannya dan berkonsentrasi pada tulisanku kembali.
“Nafa, ada yang nyariin kamu.” Ujar suara itu seraya mengetuk pundakku dari belakang. Kontan aku langsung menolehkan kepalaku, karena Naila, temanku, berkata kalau sekarang ia ingin mengambil novel yang ia pinjamkan padaku. Tapi, bukannya mendapati Naila, aku malah merasakan ada benda runcing tumpul yang seakan berjalan di pipi kananku membentuk garis lurus panjang berwarna hitam disusul dengan suara tawa yang sepertinya bisa didengar seluruh kampus.
“Fatih! Kamu apa-apaan sih!” teriakku marah. Bukan karena ia berhasil membuat coretan dipipiku, tapi karena alasan lain. “berhenti bersikap seperti itu!” lanjutku. Fatih menghentikan tawanya dan menatap lurus padaku.
“kenapa? Karena apa yang aku lakukan mengingatkanmu pada ‘dia’?”
Dia. Yah, dia yang dimaksud Fatih adalah Haidar. Sahabat sekaligus seseorang yang selalu memenuhi pikiranku hingga sekarang.
“sekarang dia dimana? Di Bandung ya? Kuliah kan?” tanya fatih seraya memutar-mutar pena dijarinya. Aku menatap fatih tajam dengan pikiran yang secara otomatis berjalan ke masa dimana saat aku dan Haidar menghabiskan waktu bersama. Dan setiap kali ingatanku itu muncul dalam kepalaku, saraf motorikku langsung mengirimkan implus yang membuat hatiku langsung berkecamuk. Antara marah, terluka, rindu yang selama ini kupendam dan rasa yang tak pernah bisa kuungkapkan. Khawatir kalau amarahku keluar tanpa kendali, aku segera memasukkan bukuku ke dalam tas dan beranjak dari tempat dudukku meninggalkan fatih yang menatapku penuh selidik.

“Naf, ini dari Fatih! Aku balik duluan ya.” Ucap Risma buru-buru seraya menyodorkan lipatan kertas kecil di atas bangkuku dan berjalan cepat meninggalkan kelas.
Aku membuka kertas yang diberikan Risma padaku.
ISTIRAHAT. PERPUSTAKAAN.
Aku tercekat melihat tulisan yang kini tertangkap oleh retinaku. Kata-kata ini, sobekan kertas seperti ini, sering aku dapatkan saat aku bersama Haidar. Aku tak pernah melewatkan sekecil apapun ingatan yang aku rangkai bersamanya di perpustakaan. Namun, hanya ada satu kejadian yang terekam dengan jelas di kepalaku.
29 Desember 2013
“apa sih tujuan kamu nulis?” tanya haidar yang duduk bersila disamping bangku perpustakaan, di depanku. Aku yang tengah mengerjakan tugas Fisika yang akan dikumpulkan setelah jam istirahat usaipun langsung menghentikan coretan tintaku dan mengalihkan pandanganku pada haidar. Aku terkejut. Tak biasanya haidar menanyakan hal seperti itu padaku.
Haidar menatapku tanpa bergeming seakan menunggu jawabanku. Saat haidar seperti ini, aku tau ia tengah serius. Akhirnya akupun meletakkan penaku dan memberikan seluruh perhatianku padanya.
“entahlah. Pada awalnya aku hanya suka menulis. Saat menulis, aku bisa membahasakan perasaanku dengan bebas karena aku tak pandai mengungkapkan perasaanku lewat ucapan. Tapi semakin lama, aku tak ingin hanya menulis untuk diriku sendiri. Aku ingin tulisanku dibaca oleh orang lain. Membuat orang lain tersenyum karena tulisanku, membuat orang lain berubah menjadi lebih baik karena tulisanku, dan membuat orang lain termotiasi karena tulisanku. I want change this world with my word.” Ujarku panjang lebar. Entahlah, jika menyangkut tentang tulisan, aku adalah orang yang paling sensitif.
Aku melihat Haidar yang tersenyum seraya menganggukkan kepalanya mengerti.
“hari ibu kemarin, kamu ngasih apa sama ibu?” tanya haidar merubah alur pembicaraan. Dan seperti biasa, aku adalah orang yang mudah teralihkan. Karena itulah haidar sering memarahiku, dan bahkan tak jarang menjahiliku.
“eh, cuma puisi gitu. Gak bisa ngasih apa-apa sama ibu.” Jawabku dengan menundukkan pandanganku. Yah, untuk seseorang yang sudah mengandungku, merawatku sedari kecil, selalu ada kapanpun dan dalam keadaan apapun diriku, sebuah puisi tak berarti apapun. Mungkin seperti satu butir pasir dalam seluruh samudera.
“Lhoh! Nafa!! nama kamu ada di sini!!” pekik Lia yang sedari tadi memang duduk diseberang bangkuku dan haidar. Kontan saja aku menolehkan kepalaku pada Lia dan menatapnya tak mengerti. Seakan membaca keraguanku, Lia langsung berjalan ke arahku dengan membawa selembar koran ditangannya.
“tuh, liat.” Lia menggelar korannya di depanku dan menunjuk kalimat yang tertulis di bawah kolom Cerpen.
NAFLAH FAKHIRAH (Siswa kelas XII IPA MA Darut Taqwa sekaligus santri di Pondok Pesantren Ngalah Purwosari)
Masih belum percaya dengan apa yang tertulis disana, aku membaca cerpen yang dimuat disana. Awalnya aku masih ragu dengan cerpennya karena aku tak pernah merasa mengirim cerpen ke media manapun. Bahkan aku juga tak pernah membiarkan sembarang orang membaca tulisanku kecuali…..
Aku menatap haidar yang tampak memarahi Lia. “kok kamu kasih tau sih. Mau aku buat kejutan.”
“ka…kamu…” ucapku terbata karena tak terasa air mataku sudah memenuhi kelopakku dan kata-kataku tercekat di tenggorokanku. Haidar balik menatapku dan melembutkan pandangannya.
“a…aku…”banyak yang ingin aku katakan padanya. Tapi entah kenapa tiba-tiba suaraku tidak mau keluar. Cuma air mata yang mengalir deras membasahi pipiku. Tak bisa berkata apapun, aku menenggelamkan kepalaku di atas Koran yang memuat cerpenku. Aku merasakan Lia mendekapku dari belakang dan menenangkanku.
“kado buat ibu, bisa ditambah lagi kan?” ujar haidar sedangkan aku masih belum bisa menghentikan air mataku.
“kamu, lanjutkan. Jangan pernah berhenti menulis.” Ucapnya kemudian. Aku mengangkat kepalaku dengan isak yang masih tersisa dan menganggukkan kepalaku dengan cepat.
Tentu saja. Tentu saja aku tak akan pernah berhenti menulis. Terimakasih selalu ada untukku, terimakasih karena selalu mendukungku. Terimakasih, karenamu aku lebih percaya dengan mimpiku.
Tes tes tes. Aku tersadar dari lamunanku saat merasakan air hangat dari mataku yang membasahi kertas dari Fatih. Haidar, aku merindukanmu. Aku segera menghapus air mataku saat mendengar getaran di sakuku. Satu pesan dari Fatih.
Kalau kamu nangis, datang ke perpustakaan.

“apa kamu kira kamu merindukannya?” tanya Fatih saat aku baru saja duduk di depannya, di perpustakaan.
“saat hati sesak seakan tak bisa bernafas, bukankah itu yang namanya rindu? Saat sekelebat wajah hanya bisa menari dibalik mata dan serasa ada beribu jarum yang menusuk jantung, bukankah itu rindu? Saat pandangan ingin mengejarnya meskipun tirai waktu menghalanginya, bukankah itu rindu?” Dulu saat ingin bertemu, cukup menunggu bel istirahat dan bel pulang sekolah. . Tapi sekarang bahkan mengucap hai saja rasanya berat.
“bukan. Kamu hanya merindukan saat-saat yang kamu habiskan bersamanya, kenangan yang kalian buat bersama, bukan dia.” Timpal Fatih yang terang saja berlawanan dengan nuraniku.
“kenapa kamu berkata seperti itu?”
“selama ini, kamu selalu menangis saat mengingat kenangan tentangnya. Kamu sedih karena kamu takut kenangan itu hanya kamu yang mengingatnya. Kamu selalu menampakkan senyum palsumu hanya karena ia yang dulu selalu ada buat kamu sekarang jauh darimu. Kamu selalu khawatir kalau dia akan melupakanmu saat kalian jauh. Kamu mengkhawatirkan sesuatu yang bahkan tak pernah ia rasakan sedikitpun.”
“tapi saat itu matanya…..”
“saat kapan? Kamu selalu memutar memory yang sama berulang kali tanpa mengingat kapan saat itu terjadi. Cinta itu bukan yang satu menanti dengan sabar dan yang satu gak sadar-sadar Naf. Sampai kapan kamu mau diperbudak oleh ingatanmu sendiri? Kamu selalu mempercayai apa yang ingin kamu percayai tanpa memperhatikan kenyataan yang terjadi. Jika dia mencintaimu, dia tidak akan membiarkanmu terombang-ambing seperti ini. Membuatmu kehilangan senyummu disaat ada orang lain yang bahagia dengan melihat senyummu. Cinta itu hanya bisa dibuktikan dengan dua hal, meng-HALAL-kan atau meng-IKHLAS-kan. Manakah yang ia lakukan untukmu?”
Aku terkejut sekaligus tak bisa menjawab Fatih. Tidak ada satupun yang Haidar lakukan dalam pilihan yang disebutkan Fatih. Akhirnya aku hanya terdiam.
“Sekarang kamu hanya punya dua pilihan. Membuka halaman selanjutnya ataukah menutup bukunya.” Tegas Fatih.

Rasa ini berawal dari persahabatan. Rasa yang aku tak tau kapan ia berawal sebagaimana aku tak tau kapan akan berakhir.

*cerpen ini telah diterbitkan dalam Antologi Cerpen bertemakan Rahasia Hati oleh Kekata Publisher

0 komentar: