Huruf A Yang tak Pernah Kudengar dari Ayah
Aku ingin mempunyai ayah yang lebih baik
Itulah harapan terbesarku jika Tuhan mau untuk sekedar mendengar doaku. Doa yang selalu kupanjatkan setiap hari tanpa pernah absen sekalipun.
Hari itu ayah mengantaku ke sekolah dengan motor bututnya. Ia mengucapkan sesuatu yang tak pernah bisa aku pahami barang sepatah katapun. Suaranya berdengung tak jelas seperti nyamuk-nyamuk di rumahku. Bahkan ku kira tidak ada bedanya antara suara ayah dengan suara nyamuk-nyamuk itu. Membuatku seakan ingin menutup telingaku erat-erat. Aku bosan dengan suara ini. Suara yang sama yang selalu aku dengar setiap harinya. Ayah menggerakkan tangannya seperti mengusir sekawanan lebah. Membuat bulatan dengan kedua tangannya, menyentuh perutnya, kemudian mengacungkan jempol kanannya sembari menyeringai. Aku tak mengerti apa yang ia lakukan. Ia mengerucutkan bibirnya yang tak akan pernah bisa mengeluarkan bunyi A sekalipun ia berusaha. Meskipun begitu, aku tak yakin ayah memang tahu huruf A. Suara dengungan tak jelas dan gerakan-gerakan aneh itu tak kunjung ia hentikan. Aku muak. Aku lempar helm yang kubawa kepangkuan ayah dengan keras dan berlari memasuki sekolahku. Tak kuhiraukan tatapan ayah yang memandang kepergianku. Aku tak peduli. Seandainya saja bisa, aku tak mau mempunyai seorang ayah yang bisu.
Mereka sering berkata rumahku adalah surgaku. Kata-kata itu tidak berlaku untukku. Bagiku, rumahku adalah neraka yang terburuk. Jika aku berada di rumah, keinginan pertamaku adalah sesegera mungkin keluar dari sana bagaimanapun caranya. Dengungan tak jelas ayah selalu saja tertangkap oleh gendang telingaku. Katika makan, santai bahkan tidurpun dengungan ayah tak pernah absen untuk singgah di saluran telingaku. Seandainya saja bisa, aku ingin sekali membungkam mulut ayah. Ayah berada diperingkat teratas untuk daftar-daftar orang-orang yang paling menyebalkan dalam hidupku.
Kukira, aku bisa merasa tenang dan tentram jika aku tidak berada di dalam rumah. Bayangan bisa menghirup udara yang bebas tergambar jelas dipikiranku. Dan sepertinya di sekolah aku bisa mewujudkan itu semua. Khayalan itu masih kuyakini sampai suatu saat ketika aku duduk di bangku kantin, ada yang memukul punggungku cukup keras dan meninggalkan sesuatu di sana. Aku mengumpat pelan dan mengambil sobekan kertas yang melekat di punggungku.
BISU Itulah yang tertulis di atas sobekan kertas itu dengan huruf besar yang bisa membuat orang yang berdiri 2 meter dariku dapat membacanya dengan jelas. Ada sesuatu yang menjalar cepat dari ujung kaki hingga ubun-ubunku. Ku kepalkan tanganku meremas kertas itu hingga tak berbentuk. Aku tatap segerombalan anak-anak yang tertawa dipojok kantin itu dengan tatapan paling tajam yang pernah aku lemparkan. Tanpa kuduga, tatapanku itu bukannya membuat mereka takut, namun malah membuat mereka tertawa semakin keras. Aku ingin berlari menghampiri segerombolan anak-anak itu dan memukul mereka membabi buta. Tapi siapalah aku? Hanya seorang anak penjual mie ayam di pinggir jalan dan anak seorang ayah yang bisu. Tak hanya itu. Setiap kali aku berjalan, mereka tak pernah memanggil namaku. Mereka hanya mau memanggilku dengan sebutan “BISU”. Bahkan setiap kali aku memasuki kelasku, mereka terlalu baik hati dengan menuliskan tulisan “BISU” dengan sangat besar dipapan tulis. Dan kedatanganku adalah yang paling ditunggu-tunggu untuk ditertawakan. Tak ada yang aku lakukan selain menghapus tulisan itu dengan hati miris juga teriris. Hatiku seakan tertusuk oleh mata pisau paling tajam yang pernah ada. Kenapa Tuhan membiarkanku hidup untuk dipermalukan seperti ini?! Kenapa Tuhan tidak segera membunuhku saja?! Aku tak mau hidup!!
Hari-hariku sedikit berubah ketika aku bertemu seorang preman dipinggir jalan. Aku tak butuh ayah yang tak pernah tau apa yang kuinginkan. Aku hanya butuh orang yang mengerti akanku. Dan preman itu adalah orangnya. Kuceritakan semua yang kualami padanya setiap pulang sekolah hingga malam menjelang. Kulelehkan air mataku dalam setiap kisah yang kupaparkan. Aku sungguh bahagia karena masih ada orang yang bisa membuat hatiku lega setelah sekian lama aku tercekik oleh kehidupanku sendiri.
Ayah marah besar ketika mendapatiku selalu pulang malam. Ia mengoceh dengan dengungan tak jelasnya. Tangannya bergerak-gerak cepat, menghantam angin disekitarnya. Menyentuh perutnya, memukul tangan satu ke tangan yang lain masih tetap dengan dengungan yang memekikkan telingaku itu. Kilatan marah terpampang jelas dimatanya. Wajahnya berubah merah menahan amarah. Jarinya menunjuk ke atas kemudian mendekap dadanya dan mengelusnya pelan. Aku tak peduli dengan apa yang ia bicarakan. Aku tak tahu dan aku tak pernah mau tahu. Ayah marah ketika aku hanya menatapnya tanpa berkomentar apapun selain menggeram pelan. Aku tahu ayah marah, tapi aku lebih marah lagi. Aku tak akan seperti ini jika ayahku sempurna. Aku membencinya lebih dari apapun.
“aku tak mau punya ayah bisu sepertimu!” itulah yang aku ucapkan sebelum aku membanting pintu dan pergi dari rumah. Aku tak menghiraukan teriakan tak jelas ayah yang memanggilku. Meskipun aku tak benar-benar yakin ayah bisa memanggil namaku. Aku tak mau tahu. Aku hanya membutuhkan preman itu. Aku membutuhkannya lebih dari apapun.
Berhari-hari aku tak pulang. Aku tak menyangka preman yang menurutku berhati malaikat itu hanya memanfaatkan kelemahanku saja. Ia menyuruhku mengamen di jalanan, menjadi pemulung, bahkan pengemis. Aku menolak ketika ia memaksaku mengedarkan narkoba di sekolahku. Ia marah. Ia mencengkram tanganku. Aku meronta-ronta dan menggigit tangannya keras. Ia mengumpat-ngumpat dan menyumpahiku sebelum kemudian ia melempar kepalaku dengan batu besar ketika aku berlari. Ada yang mengalir dipipiku, berwarna merah pekat dan berbau amis. Aku tak menghiraukannya. Darah itu bercampur dengan air mataku. Hanya satu yang kupikirkan saat itu, aku ingin pulang. Dan semua gelap ketika aku melihat pintu rumahku dan menabraknya keras. Aku baru ingat kalau sekarang adalah hari ulang tahunku.
v
“anakku sekarang berulang tahun, itulah yang di ceritakan ayahmu” papar tetanggaku yang seorang dokter itu. Aku hanya terdiam memperhatikannya, menunggu apa yang ia ucapkan setelahnya. Dan tetanggaku itupun mulai bercerita.
“Pagi itu, ayahmu bercerita padaku. Keinginan terbesarku adalah membahagiakan anakku bagaimanapun caranya. Aku ingin selalu ada untuknya. Semenjak ibunya meninggal, ia semakin kurus. Aku tidak berhenti untuk menyuruhnya makan yang banyak setiap ia hendak masuk ke dalam sekolahnya. Agar ia menjadi anak yang pintar. Tidak sepertiku yang bodoh dan tidak mngerti apa-apa. Meskipun aku hanya seorang penjual mie ayam di pinggir jalan, aku tidak mau anakku merasakan hal yang sama sepertiku nantinya. Aku hanya berharap ia tidak lagi bermimpi buruk tentang ibunya. Aku ingin ia bermimpi indah. Karena aku tidak bisa membiarkan ia menangis setiap kali ia teringat ibunya. Aku berusaha menghiburnya dengan bercerita padanya bagaimana ia tumbuh mulai kecil hingga ia dewasa seperti sekarang ini. Ia hanya diam saja saat aku bercerita. Mungkin ia tidak menyukai ceritaku”.Tetanggaku mengambil nafas panjang sebelum ia melanjutkan ceritanya lagi.
“Ia berkata ia tidak ingin mempunyai ayah yang bisu sepertiku. Hatiku terasa sakit. Aku jadi mengerti kenapa selama ini ia tidak pernah mendengarkan apa yang aku katakan. Ia tidak mau mempunyai ayah sepertiku. Aku bodoh karena baru menyadarinya. Anakku memang lebih pantas memiliki ayah yang lebih baik dariku. Berhari-hari ia pergi dan tak kunjung kembali. Aku selalu menunggunya setiap malam, berharap ia mengetuk pintu rumahku. Namun, sampai hari ini ia tidak pulang-pulang juga.
Hari ini anakku ulang tahun. Aku tetap berharap anakku pulang ke rumah. Aku ingin menunjukkan betapa aku sangat merindukan dan menyayanginya. Aku memang tidak bisa seperti ayah yang lainnya, yang selalu bisa menuruti apapun yang diinginkan oleh anak mereka. Dan yang lebih penting lagi, mereka bisa berbicara sedangkan aku tidak. Ayahmu menceritakan itu semua pagi-pagi ketika ia berjualan.” tetanggaku menatap lekat ke arahku. Tanpa komando apapun, ia langsung menarik suaranya lagi.
“ayahmu sangat senang saat mendengar pintu rumahnya bergerak. Ia sangat yakin kalau itu adalah kamu. Aku yang berada di samping ayahmu hanya mengikuti ayahmu saat ayahmu berlari menghampiri pintu. Namun, senyuman yang ia kembangkan seketika lenyap. Ayahmu panik mendapati darah yang mengaliri wajahmu. Ia langsung mengangkatmu dan menggendongmu berlari menuju rumah sakit ini. Ia berteriak kepada petugas rumah sakit untuk segera mnyelamatkanmu. Ia anakku! Selamatkan dia. Aku punya banyak uang. Ambil semuanya asalkan selamatkan anakku. Ku mohon. Itulah yang dia katakan pada petugas rumah sakit dengan air mata yang mengalir deras dan membasahi pipinya. Darah yang mengalir ditubuhmu saat ini adalah darah ayahmu. Kau kehilangan banyak darah. Ayahmu menyuruh agar dokter mengambil darahnya sebanyak yang kamu perlukan. Sekalipun ia harus kehabisan darah, ia tidak peduli asalkan kamu selamat”. Tetanggaku itu menundukkan kepalanya. Matanya berkaca-kaca. Aku heran kenapa ia menangis seperti itu. Dan aku baru sadar, ternyata aku menangis lebih deras daripada dia.
Tetanggaku memberikan sebuah surat kecil untukku dan membukakannya.
Maafkan ayah tidak bisa seperti ayah yang lainnya. Tidak bisa memberikan apa yang kamu ingin kan. Tidak ada ayah yang sempurna, tapi cinta ayah sempurna sayang…… Selamat Ulang Tahun.
Aku memejamkan mataku erat-erat. Mengingat apa saja yang kulakukan pada ayah selama ini dan semua yang ayah lakukan padaku. Sepertinya, bukan aku yang tidak pantas mempunyai ayah seperti ayahku. Tapi, ayah yang tidak pantas mempunyai anak sepertiku. Ayahku berhati malaikat. Hatiku semakin teriris ketika melihat ayah yang terbaring di ranjang sebelahku tersenyum dan menggerakkan bibirnya tanpa suara. Meskipun ayah tak pernah bisa mengucapkan huruf A, aku yakin dengan apa yang terucap dari isyarat bibirnya.
“anakku…….”
*Cerpen ini telah diterbitkan dalam 'Antologi Cerpen' bertemakan 'Ayah' oleh 'Penerbit Genom'
0 komentar: