Sabtu, 25 November 2017

Celotehan Untukmu, Guruku

Mungkin ini hanya celotehan belaka
Dari seorang murid yang kau bantu menaiki tangga.
Waktu memang bisa memakan usia, tapi jasa tak bisa melebur begitu saja.
Kau ajarkan kehidupan, kau tenangkan resah karena ancaman zaman. Kau bantu langkah kaki ini mendekati impian. Sejengkal demi sejengkal, dengan keringat amanah.
Tak luput juga kau kenalkanku dengan Allah dan rasul-Nya. Kau tanamkan cinta pada Islam di jiwa. Kau serukan jihad, tak harus dengan darah.
Jika rasa terimakasih bisa di ucapkan dengan tulisan, bukankah tak ada yang istimewa dari sebuah perjuangan?
Namun, dengan apa lagi kubisa sampaikan kekaguman? Mungkin hanya sebaris kata yang mewakilkan perasaan.
Terimakasih untuk semua pengorbananmu, guruku.

Nur Jannah, S

251117

0 komentar:

Rabu, 22 November 2017

Sakit Malam Itu

Malam itu, tiba-tiba saja aku terbangun. Mataku mengerjap-ngerjap kaget. Perlahan, ada rasa sakit yang mulai menyergap kesadaranku. Sakit yang selama ini kuabaikan, sepertinya tak bisa lagi untuk saat ini. Bagai air hujan yang mengisi sumur tetes per tetes, akan ada saat dimana sumur itu penuh dan akan meluap. Mungkin itulah yang kurasakan sekarang. Dengan bermodal kata,

“ah, tidak apa-apa.”

“ini tidak seberapa.”

“aku baik-baik saja.”

Hingga akhirnya aku tak sadar bahwa bukannya mengobati, kata-kata itu malah semakin menumpuk perihnya. Dan malam itulah, sakitnya tak bisa lagi tertahankan.


Aku merintih di tengah keheningan. Menahan beribu-ribu tombak yang bergantian menusuk. Ingin mengadu, tapi kepada siapakah kusalurkan pedih? Aku hanya bisa berteriak dalam hati, hingga tanpa sadar air mataku mengalir. Awalnya hanya setetes yang kuusap dengan ujung jariku. Tapi semakin lama tangisku semakin deras hingga membasahi bantalku. Dadaku sesak mengatur nafas yang tak karuan. Kepalaku pening karena meemaksa agar suara tangisku tidak pecah. Saking tidak tahannya, kuambil kain di lemari dan mengikat kepalaku dengan erat. Namun semua itu tidak ada gunanya. Saat itulah aku sadar, memang benar lirik sebuah lagu yang berbunyi


“lebih baik sakit hati daripada sakit gigi”



Semalam suntuk hingga pagi menjelang, aku tak bisa tertidur. Mataku sembab karena terlalu banyak menangis. Sedangkan bantalku sudah basah semua seakan ketumpahan air. 


Nur Jannah, S

211117


0 komentar:

Senin, 20 November 2017

You'r Step


Saat kuliah ditanya, "kapan wisuda?"
Setelah wisuda ditanya,
“udah kerja?”
“punya penghasilan berapa?”
“kapan nikah?”
“udah punya anak?”
“anaknya berapa?”
“anaknya dapat ranking berapa?”

Begitulah pertanyaan tidak akan ada habisnya sampai kita meninggal. Sadar atau enggak, sebenarnya kita tengah melewati setiap step-step perjalanan dunia. Itu adalah step yang akan dilewati oleh setiap manusia. Namun jika kalian liat ujungnya, bukankah tujuan kita hanya satu? MATI.

Yah, kita hidup memang menunggu mati. Bisa dibilang semua fatamorgana dunia yang sering kali melalaikan ini adalah intermediet dari proses reaksi kita dengan kehidupan. Seorang dosen pernah berkata, “kita tak pernah tau di step mana penjelajahan kita dihentikan oleh Tuhan, jadi lakukan yang terbaik di step yang kalian jalani saat ini.”

Sebenarnya, ini adalah sindiran buat kita yang dilalaikan dengan step selanjutnya dibanding memikirkan step yang kita jalani saat ini. Misalnya kalian (termasuk saya) yang saat ini berada pada step ‘kuliah’ malah bingung mikirin nikah. Adakah? Tentu saja ada, termasuk saya. Padahal dengan ‘Get Married’ tidak serta merta kita menjadi seseorang yang sukses menyelesaikan sebuah misi kehidupan. Masih banyak misi yang harus dijalani setelah menyandang status ‘kawin’ di KTP.
Iya kalau kita sampai pada step nikah. Kalau tiba-tiba Tuhan menghentikan kita di step kuliah? Siapa yang tau.

Just do the best in your step now.

Tuhan adalah penulis skenario yang paling indah. Namun terkadang, kita masih saja sering meragukan. Jadi, yuk sama-sama bangun kepercayaan. Saling mengingatkan. Insyaallah gak ada yang dirugikan kok… ^_^

Nur Jannah, S

201117

0 komentar:

Jumat, 17 November 2017

Pemeran Utama dalam Kisahku (?)


Seperti biasa, jalanan kampus selalu ramai pada hari-hari aktif. Macet sana-sini tidak bisa terhindarkan. Pak satpam tampak mencari-cari waktu yang pas untuk men-stop mobil, agar beberapa mahasiswa bisa menyebrang. Maklum, bukan hari libur. Lihat saja kalau liburan, pasti jalanan tak akan seramai ini. Malang seakan kota yang tidak berpenghuni.
Aku duduk di taman depan rektorat seraya mendekap sebuah buku. Buku ini berbeda dengan buku diaryku yang lain. Tidak seperti diary yang aku tulis biasanya, tapi buku ini berisi surat-surat untuk seseorang. Seseorang yang entah sejak kapan aku mendoakannya. Yang kutau, bibirku reflek saja menggumamkannya.
“nglamun aja kerjaannya!” Tiba-tiba saja ada seseorang yang menjatuhkan pantatnya di sampingku. Terang saja aku terkejut dan hampir saja memukulnya dengan tas jika aku tak tau siapa yang ada di sana.
“Kak Alfan!” pekikku.
“nganggur itu, kerjain proposal kek belajar kek. Kok malah nglamun! Ntar klo udah deadline, bilangnya gara-gara dosen. Yang sibuklah, banyak permintaanlah bla bla bla.” Tukas kak Alfan.
“sembarangan! Ini tuh refreshing kak, REFRESHING!” balasku.
“alesan!”
“ya udah kalau gak percaya. Gak maksa kok!” kualihkan pandanganku ke arah jalan, sebal. Baru dateng, udah bikin orang emosi.
Yah, berada di semester akhir adalah tantangan terberat bagi setiap mahasiswa. Belum cukup dikejar-kejar pertanyaan ‘kapan wisuda?’, musti dihantui pertanyaan ‘kapan nikah’ juga. Gak sekalian juga pertanyaan ‘kapan mati?’. Begitulah hidup. Kebanyakan orang hanya melihat apa yang dihasilkan, bukan bagaimana cara menghasilkannya. Enteng banget nanya ‘kapan wisuda?’ kayak nanya kapan nasinya matang? Yang sini berjuang mati-matian, disemprot dosen iya, dikejar-kejar dosen iya, diabaiin iya, suruh ini suruh itu ‘iya’ aja deh pokoknya. Cari aman. Itu masih proposal, belum penelitian. Penelitian kimia murni tidak sama dengan kimia pendidikan. Kalau pendidikan, bisa hubungi sekolah dulu buat tempat penelitian, dan praktek ngajar di sana. Lha klo kimia murni? (kalau pensaran, silahkan cari tau sendiri. Mbah google biasanya lebih pintar.)
Aku tertegun saat melihat sepasang muda-mudi berjalan dengan menggenggam tangan masing-masing dengan erat. Si cowok tampak menceritakan sesuatu yang lucu hingga membuat si cewek tersenyum dan mencubit lengannya genit. Setelah itu mereka duduk di seberangku dengan jarak yang nyaris tidak ada. Dempeeet banget. Aku menghela nafas dalam.
“Astaghfirullahaladzim. Gak malu apa ya sama kerudungnya? Cubit-cubitan di kampus.” Cibirku.
“mereka suami istri.” Timpal kak Alfan.
“ha?!!!”
“kenapa kaget gitu? Biasa aja kali.”
“ya kegetlah! Masa masih kuliah udah nikah? Kakak tau darimana? Jangan-jangan cuma ngarang.” Tuduhku.
“emang ada peraturan, ‘kuliah dilarang nikah?’. Mereka anak fakultas sebelah. Nikah semester 5 kemaren. Jadi ceritanya, si cowok bilang kalau menyukai si cewek dari pertama masuk kuliah dulu. Semakin lama, rasa kekagumannya sama si cewek semakin bertambah. Perlu kamu ketahui dek, cowok itu paling sulit kalau menyembunyikan perasaan. Gak kayak cewek yang sukanya main sembunyi-sembunyian. Sampe nangis-nangis sendiri di kamar.”
Kak alfan melemparkan lirikan padaku. Nyindir. Tapi masa bodoh. Aku lebih  penasaran dengan kelanjutan cerita kak alfan.
Kak alfan yang tidak mendapati kejahilannya tidak terbalas olehku, melanjutkan ceritanya.
“jadi si cowok bilang pada si cewek. Karena ‘alhamdulillah’ si cewek ini insyaallah sholihah, dia bilang sama si cowok. Kalau si cowok memang benar-benar menyukainya, ia meminta si cowok bilang sama orang tuanya, bukan kepadanya. Dan si cowok menyanggupinya.”
“trus orang tuanya nyuruh mereka nikah?”
Kak alfan mengangguk. “ si cowok juga udah niatan serius sama si cewek. Sebenarnya ia mengungkapkan perasaannya bukan untuk mengajak si cewek pacaran, tapi balik lagi ke asal tadi. Cowok itu gak bisa lama-lama nyimpen perasaannya. Tapi untuk mengajak ke jenjang pernikahan, ia masih belum siap materi. Beruntung sekali orang tua si cewek tidak memberatkan hal itu dan menyuruh mereka menikah sederhana. Dan… begitulah kiranya kisah cinta halal mereka. Daripada zina, mending nikah. Apa-apa yang dilakukan bisa menjadi ibadah.”
“subhanallaaaaah. So sweeeet. Jadi pengen…”
“apa? nikah?”
Aku mengangguk mengiyakan. Jujur, kalau sudah suntuk masalah kampus rasanya pengen nikah aja.
Kak alfan mendaratkan penanya di jidatku. Aku merintih pelan.
“kenapa malah dipukul?”
“emang kamu kira nikah itu kayak main rumah-rumahan?!”
“ya kan enak kak. Pas ribet proposal gini, ada yang bantuin. Pas begadang, ada yang nemenin. Trus pas wisuda nanti, ada yang diajak foto bareng.”
“itu otak, apa tahu bulat sih! Kosong banget isinya.” Cibir kak Alfan. Aku memutar bola mataku, tersinggung. Bagaimana mungkin otakku disamain kaya tahu bulat? Nraktir tahu bulat aja gak pernah, udah main nyama-nyamain aja. Tapi bukankah pernyataanku tidak sepenuhnya salah? Ketika suntuk udah menyerang mikirin proposal ataupun penelitian, ada seseorang yang menepuk bahu kita memberi kekuatan. Saat dimarahin dosen habis-habisan, ada seseorang yang siap menjadi pengaduan. Saat badmood tiba-tiba nyerang, ada seseorang yang tiba-tiba nyiapin tiket bioskop buat nonton ayat-ayat cinta 2. Dan seseorang itu adalah orang yang halal bagi kita. Bukankah sangat romantis?
“Dek, sini deh tak bisikin.”
Aku mendekat mengikuti isyarat kak Alfan.
“hidup itu gak seperti novel yang kamu tulis. Yang tokoh utamanya selalu melakukan apa yang kamu inginkan. Apalagi membayangkan kalau ‘dia’ adalah tokoh utama dalam kisahmu. Menikah itu bukan hanya tentang mempersatukan dua insan yang kasmaran, tapi juga dua keluarga.”
Aku terdiam dan menarik kepalaku menjauhinya.
“tapi apa salah jika ingin menjadi yang halal untuk seseorang yang kita sayangi?” kutatap rerumputan di depan rektorat yang hijau, hasil dari kerja keras pak kebun tiap pagi dengan muram. Aku tiba-tiba saja teringat seseorang.
“siapa yang bilang salah? Itu adalah hal yang wajar. Tapi ingat, biduk permainan Tuhan tak bisa kau mainkan sesuai keinginanmu. Bisa jadi selama ini, ‘dia’ adalah seseorang yang selalu kau jadikan pemeran utama kisahmu. Namun siapa tau ternyata dia hanyalah figuran yang ada hanya untuk melengkapi ceritamu. Dan ternyata, ada pemeran utama lain yang telah disiapkan oleh Tuhan, dan itu bukan dia. Kalau seperti itu, bagaimana? Kamu tidak bisa menekan backspace untuk menghapus semua perasaanmu pada’nya’ yang ternyata hanya figuran sedangkan ‘sang pemeran utama’ dalam kehidupanmu menjemputmu dengan amanah yang dibisikkan oleh Tuhan.”
Aku semakin terdiam.
“iya, aku tau kak. Tapi bisa jadi dia adalah pemeran utama dalam kehidupanku. Siapa yang menduga?”
“itu namanya keras kepala dek. Memang seberapa yakin kamu dengan dia?”
Aku terdiam. Aku benar-benar tidak tau. Tiba-tiba saja topik pembicaraan kita beralih pada seseorang yang hampir memenuhi sepertiga hidupku. Orang yang sama, dengan rasa yang sama pula.
“keyakinanmu sama besarnya dengan keraguanmu. Karena itu kamu bingung. Iya kan?”
Aku mengangguk. Kak alfan tersenyum. Ada genangan di mataku. Perasaanku benar-benar campur aduk.
“dek, laki-laki yang baik tidak akan membuatmu bingung seperti ini. Gak ada lelaki yang tega membuat wanita yang dicintainya bingung, apalagi sampai menangis seperti ini. Kelemahan seorang laki-laki adalah ketika melihat air mata perempuan yang disayanginya. Selama ini, berapa banyak air mata yang kau jatuhkan untuknya? Berapa kali ia membuatmu bingung? Berapa kali ia menyakiti hatimu? Dan setelah semua itu, kamu masih tetap berpihak padanya? Jujur, aku menjadi ragu dengannya. Aku ragu, apakah ia memang menyayangimu atau hanya menjadikanmu pengisi waktu kosongnya. Jika ia benar-benar menyayangimu, ia akan ke rumah bersama orang tuanya.”
“kenapa kakak selalu menjelekkannya? Bukankah bisa jadi dia punya alasan tersendiri? Mungkin saja ia orang yang terlalu baik untuk mengungkapkan keinginannya bersamaku sebelum ia benar-benar siap? Mungkin saja ia tengah mempersiapkan diri untuk mengemban tanggung jawab yang lebih besar. Seperti yang kakak bilang kalau lelaki itu tidak bisa menyimpan perasaannya terlalu lama, karena itulah dia datang untuk menyalamkan rindu yang tak terbendung dan langsung pergi lagi ketika sadar bahwa tak seharusnya kita saling bersapa tanpa ikatan yang halal. Siapa yang tau? Kakak selalu saja memutarbalikkan keadaan dan menjadikannya jahat.”
“Karena aku tak mau kamu memanjakan perasaanmu. Hatimu sudah terlalu baik dengan selalu berprasangka baik tentangnya. Jika aku mengatakan hal yang baik juga, perasaanmu akan semakin dalam. Dan jika ternyata jalan Tuhan tidak sesuai dengan dugaanmu, rasa sakit yang kamu dapatkan akan semakin dalam. Karena itu, jika hatimu membelanya, aku akan menjadi orang yang menampiknya. Hanya dengan itu, kamu tidak akan terlalu sakit jika terjatuh jika ternyata tidak bersamanya.”
Aku menatap kak Alfan tak percaya. Jadi ini alasan kenapa kak Alfan tak pernah membelanya? Khawatir jika aku akan tersakiti lebih dalam lagi. Tapi apa yang dibicarakan kak Alfan juga benar. Belum tentu dia adalah pemeran utama dalam kehidupanku. Bisa jadi ada orang lain yang menurut Tuhan adalah yang terbaik untukku. Karena seperti dalam sebuah ayat, yang artinya sesuatu yang kita cinta belum tentu baik bagi kita. Dan sesuatu yang kita benci, belum tentu yang buruk buat kita. Tuhan sudah menyusun skenario kehidupan kita dengan baik, kenapa harus ragu? Serahkan semua pada-Nya.
Tuhan, jika ia memang orang yang tengah kau persiapkan untukku, dekatkan kami dalam ikatan yang Engkau ridhoi. Namun jika tidak, kumohon hapuskan perasaan ini dan ikatkan kami dalam persaudaraan Islam.
“aku yakin kamu udah mengerti dek. Iya kan?”
Kuusap air mataku dan tersenyum cerah. “insyaallah kak. Karena hidup ini bukan milikku, jadi kuserahkan setiap suratanku pada pemilik hidup.”
“siiip. Berhubung kamu udah normal lagi, ada salam dari ibu tadi.”
“apa?”
“ada yang ngajakin kamu ta’aruf. Lulusan pesantren, Al-Qurannya udah selesai.”
Mataku langsung membulat sempurna.
“siapa tau ternyata dia adalah seseorang yang menjadi objek dalam bukumu itu.”
Yah, buku yang berada di tanganku ini adalah buku yang sengaja ku tulis untuk calon imamku kelak. Satu-satunya buku yang kutulis untuk objek yang jelas, namun tidak tau siapa.

“jangan menghindar terus. Sekarang udah waktunya kamu mengikhlaskan hatimu untuk kisah yang baru. Inget pesan ibu? batasmu tahun ini. Tunggu saja sampai ada orang yang bisa masuk ke rumah. Tak peduli seberapa seriusnya orang-orang itu, jika mereka bukan jodohmu, mereka tidak akan bisa masuk ke rumah. Seperti anak pak Bisri yang bahkan sampai mengejar-ngejar ayah, menjanjikan ka’bah dan murid demi mendapatkan perhatianmu, ketika mereka datang ke rumah untuk mempertegas niat baik mereka, ternyata kita tidak ada di rumah dan jadinya mampir ke rumah budhe. Jadi bersiap-siaplah jika ternyata orang yang bisa masuk ke rumah bukan dia. Ucapan ibu jarang meleset.”
Aku menundukkan kepalaku. Entah kenapa, aku meragukan keputusanku sendiri.

Nur Jannah, S

161117

0 komentar:

Selasa, 07 November 2017

Hujan (bukan) Kenangan

Hasil gambar untuk hujan dan kucing

Aku tak tau, kenapa hujan sering kali diartikan sebagai kenangan.
Selain kenangan, ia bisa juga menjadi air mata.
Bukankah sejatinya hujan datang sebagai kasih sayang?
kenapa ia malah menjadi simbol luka?

Mungkin ia datang untuk menyapa rumput kering dipinggir jalan yang tak pernah kau perhatikan
atau untuk memeluk tanah gersang yang selalu kau sesalkan sembari menyumpah
atau mungkin ia datang untuk mengisi sumurmu yang tinggal sejengkal
Hujan mungkin datang untuk sekedar memandikan kucing liar yang tak pernah pergi ke salon perawatan
Siapa yang tau?
Seharusnya kalian bertanya sebelum menetapkannya sebagai terdakwa.
Karena hujan tak pernah mengabarkan kedatangannya.

Begitupun dengan rasa.
Ia datang tanpa mengetuk pintu.
Tiba-tiba saja tanpa sadar, ia telah duduk manis di singgahsana hatimu.
Tak tau kapan ia masuk, sedangkan mengusirnyapun kau tak mampu.
Hanya mengintip di sudut kerinduan, akankah ia menyapamu dalam ikatan yang ditetapkan oleh-Nya.

Nur jannah, S
071117

0 komentar:

Senin, 06 November 2017

Satu

Kenapa?
Kalut menggempar menyeruakkan keadaan
Tanah mengambang menyesakkan kehampaan
Ranah damai melenggangkan persamaan

Kaki terpatri pada kerah tak berdasar
Tangan tergenggam pada pena tak bertinta
Mata terpaku pada kabut tak tergambar
Dan resah terbungkam pada rinai yang tak terjamah

Sisakan senyum itu.
Sisihkan taring yang merengek tanpa arah.
DIA satu.
Dan rindang kasih yang samar menyatukan kita.

An051116

0 komentar:

Bukan Rantai

Ada seorang teman cerita,

“orang tuaku itu protektif banget mbak. Masa jam 7 aku harus ada di rumah? Padahal anak-anak tetanggaku ada yang pulang sampe malem juga gak parah-parah amat dimarahinya.”

Aku tersenyum. Jadi ingat, gimana dulu orang tuaku juga termasuk kategori orang tua yang ‘protektif’. Mungkin lebih parah dari yang diceritakan temanku. Bahkan, aku pernah menulis kalau aku seperti boneka mereka. Kejam ya? Emang. Orang yang nulis itu lebih kejam dari yang pernah kalian kira. Nah, kita akhiri curhat gak perntingku, ayo kita kupas lembaran-lembaran yang tersembunyi di sana.

Orang tuaku, rantaiku?
Wajar memang jika orang tua selalu memperhatikan gerak-gerik anaknya. Malah gak wajar kan kalau orang tua tidak mau tau apa yang dilakukan seorang anak?
Pas bayi dulu, sekecil apapun gerakan yang kita lakukan serasa seperti bunga yang merekah di musim semi mereka. Pas kita pertama kali membuka mata, pertama kali mengangkat tangan, pertama kali mengangkat ujung bibir ke atas –tersenyum maksudnya-, pertama kali tengkurap, dan pertama-pertama yang lainnya. Dan pernah gak saat pertama kali kalian berhasil menangkap capung di halaman rumah, kalian bakal berlari ke dalam dan berteriak,
“ibuuu, ayaaah!! Aku berhasil menangkap capung!”
“oh iya? Waaaah, hebat sekali.”
Setiap orang pasti akan senang saat orang memujinya. Manusiawi kok… Boleh gak ya aku bilang kalau munafik namanya kalau ada orang yang bilang tidak suka dengan pujian? Hehehe
Saat kita senang karena berhasil menangkap capung, aku yakin orang tua kita lebih bahagia daripada kita. Mereka bahagia karena mereka menjadi orang pertama yang kita beritahu. Namun seiring dengan umur kita yang semakin banyak, berita-berita pertama yang ingin didengarkan oleh mereka semakin jarang. Bahkan hampir tidak ada. Tentu saja mereka bersedih. Saat mereka bertanya, apa yang terjadi di sekolah? apakah temanmu baik? Pelajarannya tidak sulit kan? Dan bagaimana jawaban yang sering kita lontarkan?
“tidak ada apa-apa kok. Biasa aja.”
Dan itu adalah jawaban yang paling membuat kecewa. Mereka penasaran apa yang dilakukan anak mereka? Hal baru apa saja yang dilakukan? Dan ketika jawaban itu yang keluar, mereka akan mulai bertanya-tanya. Kemana seorang anak yang dulu selalu bersemangat mengabarkan berita-berita baru padanya? Mereka kehilangan sosok seorang anak yang sudah beranjak dewasa. Sedangkan pada posisi kita, kita merasa jerah dengan pertanyaan-pertanyaan yang mereka lontarkan tanpa bosan.

Nah, pasti itulah yang membuat dilema. Iya gak? Kita udah dewasa, dan bukan waktunya lagi dipantau 24 jam. Seperti kasus seorang temanku, dan teman-teman yang lain mungkin. Termasuk aku juga.

Mulai berpendapat.
Kalau ngaku udah dewasa, ya harus bertindak dengan alasan dong. Misalnya nih mau keluar kemana gitu, tapi masih diwawancari dulu sama embel-embel gak bakal dibolehin. Apa yang seharusnya seorang anak lakuin?
Bukan langsung teriak,
“aku udah dewasa pa, ma, bu, yah, bi, mi, pi. Gak usah ikut campur urusanku!” helloooow, kalian  gak bakal bisa sebesar itu tanpa campur tangan mereka guys. Sumpah aku pengen ketawa kalau ada anak yang ngaku dewasa tapi ngomongnya kek gitu.
Lebih baik, cari saat orang tua sedang santai. Terus bilang aja yang sebenarnya kalian inginkan di umur yang sudah banyak ini. Jelaskan, aku seperti ini yah, bu. Yakin 100%, cara itu lebih ampuh dan orang tua kita dapat lebih menerima dan mempercayai kedewasaan kita.

Jujur, sebenarnya lebih berat menjaga kepercayaan lho daripada minta dilepasin dari ‘rantai’ protektif orang tua kita. Kalau protektif kan semacam penjagaan secara fisik gitu ya. Tapi kalau kepercayaan itu masalah penjagaan hati. Kalau masalah fisik, paling-paling dimarahin, selesai. Tapi kalau hati? Ah, kalian tau sendirilah bagaimana ribetnya hati itu.

Jadi kalau menurutku, seorang anak itu bisa dewasa jika penjagaannya bukan secara fisik, tapi secara hati. Eak!
Tulisan ini bukan sok-sokan kok. Cuma berbagi pengalaman aja, siapa tau kita senasib seperjuangan serasa.
Yuk, mulai membangun kepercayaan denga orang tua kita. Jangan sama si ‘dia’ aja. Kalau bangun kepercayaan sama si dia, bisa aja dia selingkuh kan? Tapi kalau sama orang tua, apa ada orang tua yang selingkuh? Hehehe

An110717

0 komentar:

Guru (bukan) Profesi

Ada yang bilang padaku, katanya GURU ITU HANYA PROFESI dan jangan sangkut pautin dengan kehidupan pribadinya.

Whaaaat!!! Anda ciyuuuuuzzz??
Jika ada yang menganggap kalau guru hanya profesi yang ujug-ujugnya sebagai sumber penghasilan, kenapa gak jualan gorengan aja jeeeng?? Kan sama-sama profesi buat ngasilin uang.   Atau apa bedanya sama -maaf- pencuri yang juga ngasilin uang? Kan pencuri HANYA PROFESI.😄

Aku memang bukan seorang guru dengan setelan rapi dan bersepatu pantofel, namun gak ada salahnya kan jika aku mengorek sedikit keganjalan dari ungkapan itu?

Menurutku, guru itu bukan sekedar profesi. Tapi ada tanggung jawab moral yang berada di pundak kita. Jika ada orang tua yang denger guru anaknya bilang seperti itu, yakin deh bakal dipindahin tuh anak. Lha wong gurunya lho ngajar cuma buat cari uang! 😄

Jika ngomongin guru, rasanya ini tubuh merinding semua. Saking banyaknya hal-hal yang diperjuangin untuk murid-muridnya, sampe gak bisa nyebutin satu persatu. Guru itu tidak hanya menjadi pengajar, tapi juga panutan. Pernah dengar kata-kata,

Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.

Jadi seorang guru itu gak main-main. Selain jadi bahan omongan murid-muridnya (siapa yang gak pernah ngomongin guru dibelakang beliau, berarti murid terbwaaaik tiada tanding.😅), belum yang cerewetnya masyaallah, nakalnya nau'udzubillah, pinternya subhanallah, dan berbagai macam murid yang lain. Meskipun begitu, mereka punya tanggung jawab untuk 'mengertikan' murid-muridnya (Bukan hanya sekedar profesi lhoh ya... 😏). Itulah guru-guru yang ku kenal. Ibarat tangga, beliau-beliau adalah anak tangga yang mengantarkan kita sampai ke atas. Seberapapun jahatnya, killernya, sadisnya, swabarnya seorang guru, sebenarnya sadar gak sadar itulah anak tangga yang mereka bangun untuk kita.

Jadi, yuk don't forget them. Kalau sama si doi aja terus-terusan gagal move on, tapi sama guru-guru cepet banget move on nya. Gak kebalik?😂

Karena itu, sedikit banyak aku belajar dari mereka. Misalnya, tetep berangkat ke TPQ meskipun harus menerjang hujan. Eak! Sok-sokan!😂 Lhoh, kan udah dibilang aku belajar dari guru-guruku.😆
Kirain gak ada yang dateng, eh malah udah ada yang nungguin di sana. Bangga deh sama adek-adek, ato anak-anak ya?? Ah, apapun deh! Dapet jempol dua pokoknya.😁

Teruntuk guru-guruku, trimakasih buat anak tangga yang kalian buatkan untukku ya...  Meskipun terkadang kalian bangun dengan memotong tangan kalian.😢 Gak hanya guru di sekolah, tapi juga kalian yang pernah mengajarkanku hal sekecil apapun sadar ataupun gak sadar, terimaksih banyak.😚

An270717


0 komentar:

Jangan Jatuh Cinta pada Penulis

"Jangan jatuh cinta pada penulis, karena mereka adalah seseorang yang tidak bisa lepas dari kenangan mereka."

Jujur, bukankah kebanyakan orang memang tidak bisa melupakan kenangan?

Kenangan memang tidak bisa dihapus, tapi bisa ditutupi dengan kenangan yang lain. Kenapa juga khawatir dengan dia yang menjadi kenangan jika kalianlah yang menjadi kenyataan dan masa depan?
(Cieeee... Siapa nih? Gak ada padahal.)

Jadi, kalo pengen buat kenangan sama 'si penulis', gak usahlah pake rayuan gombal yang kalau denger serasa pengen muntah.
Perlu diketahui aja, mereka jauh lebih ahli kalau soal rayu-merayu daripada kalian. Just action! 

Kalian gak bakal bayangin deh berapa banyak macam rayuan yang telah mereka tulis. 

An060817

0 komentar:

Jangan Menyukaiku


Jangan menyukaiku tanpa mengenalku, karena kamu akan tertipu.

Jangan menyukaiku dengan menumpukan harapan-harapanmu padaku, karna kamu akan menyesali pilihanmu.

Jangan menyukaiku karena tulisanku, karena bisa jadi itu hanya palsu.

Jangan berharap terlalu jauh, karena aku hanya semu yang berbekal rindu.

~Nur Jannah, S~

0 komentar:

Ketika Aku Merajuk

Mungkin inilah pertama kali aku merajuk padanya.

Hal ini dimulai ketika aku mulai alpha dari keberadaanku. Bukannya menghindar, tapi aku hanya butuh waktu untuk men-taukid-kan perasaanku. E-mail darinya yang sengaja tak kubalas, bukan berarti aku tak memikirkannya. Justru kepalaku semakin penuh dengan jajaran huruf yang harus kutulis untuk membalasnya, atau beribu-ribu kata yang layak kuucapkan ketika bertemu dengannya. Salam dari teman-teman yang berkata kalau dia mencariku, membuatku gusar. Hingga akhirnya kuyakinkan diriku untuk mengambil langkah padanya. Namun, belum sempat aku mengeluarkan sepatah kata sapaan padanya, dia langsung berkata,

"Anna, kamu gak baca e-mail dari saya? Udah 2 minggu kmaren saya kirim."

Jleb! Tiba-tiba kakiku langsung lemas dan aku jatuh terduduk di atas lantai. Rasanya skenario yang udah aku persiapkan semalam suntuk runtuh sudah dengan kalimat yang ia katakan. Sepertinya ini adalah akhir dari diriku.

###

"Metode sintesis nya kamu ganti sol-gel aja ya. Pelajari lagi jurnal-jurnal dan segera menghadap saya. Mungkin ada sedikit yang harus kamu rubah di draft proposal sama judul kamu."

Deg! Jantungku serasa berhenti berdetak. Dirubah? Saat sudah hampir 5 kali revisi dan udah hampir tidak ada coretan merah lagi, tiba-tiba ngerubah judul?
Dan, apanya yang perubahannya cuma sedikit? Saat metode yang dirubah, mulai bab 1,2, apalagi 3, pasti banyak sekali perubahan. Mungkinkah ini aksi balas dendam?
Dan betapa bodohnya aku yang cuma bisa mengangguk-angguk seperti boneka kucing. Seharusnya aku menggeleng-geleng seperti anak bayi yang populer berkat aksinya menggelengkan kepala di jam dinding.

Seharusnya aku menanyakan hal ini padanya sebelum keluar ruangan dan menangis di pundak teman. "Bapak beneran tidak balas dendam kan? "

Apalah saya. Cuma mahasiswa biasa.

###

Ternyata mitos hindar-menghindari dosen benar adanya. Setelah kepatahan hatiku karnanya, rasanya bertatappun hati udah gak sanggup. Saat aku seharusnya berpapasan dengan beliau, kupilih jalan memutar agar kita tak bertemu. Tepat seperti pasangan yang tengah merajuk. Hanya saja objekku saat ini berbeda.
Entah kapan aku bisa menetralkan emosiku, yang jelas aku sudah bertekad untuk membalaskan dendamku dengan menyelesaikan revisianku dan perombakan besar-besaranku dalam satu malam.

Ada yang bilang kalau aku adalah pekerja keras.  Yah, aku adalah seorang gadis keras kepala yang akan berusaha sekeras mungkin untuk memperoleh apa yang aku inginkan. Dan saat aku sudah menata kiblat, aku bisa mengabaikan selatan dan utara.
Dan revisianku, selesai dalam satu malam.

Ketika aku merajuk
Nur jannah, S

*nya atau ia atau dia baca: beliau

0 komentar:

Gelapku

Selayaknya langit yang memiliki temaram dan terang, begitupun dengan manusia. Ada saat dimana seseorang berada pada sisi gelapnya. Saat itu, ia akan terpusat pada gejolak hatinya sendiri sedangkan orang lain tak akan pernah bisa mengintipnya.

Tak peduli seberapa sengit pertarungan hati dan pikirannya, semua itu tak akan tampak oleh mata yang lain. Begitulah posisiku saat ini. Gelap berkecamuk. Sedangkan kabut prasangka telah menutup mata mereka tanpa penjelasan nyata.

Apa lakuku? Tidak ada.
Saat mereka melihat seseorang dari kaca yang retak, tiadalah elok yang terlihat. Hanya gelap, rusak dan tak berharga.

Di titik ini, harapku pada seseorang mulai melambung. Seseorang yang nantinya dapat melihat terang saat sisi gelapku muncul. Seseorang yang tidak pernah melihatku dari kaca yang pecah, namun langsung menatap tepat di mataku.

Dan siapapun kamu, jalanku dan jalanmu kan bersua dipersimpangan hingga Tuhan berkehendak menghalalkanmu memelukku.

Hingga saat itu, biarlah gelap dan terangku mengkaburkan prasangka mereka. Karna aku yakin, matamu kan bisa melihatku dengan jelas.

Nur Jannah, S


0 komentar:

Aku Pamit

Aku pamit.

Kalimat yang ingin sekali kukatakan padanya. Padanya yang tlah lalu namun tak kunjung berlalu.
Tapi sayangnya rasaku bak benalu yang sulit lepas dari inangnya. Ia selalu berhasil melumpuhkan hasratku yang mencoba untuk terlepas dari bayangnya.

Aku pamit.

Hanya dua kata, namun berhasil membuat hatiku bergemuruh. Seakan ada pertarungan besar di sana. Pertarungan antara merelakan ataukah mempertahankan.

Dia adalah orang pertama yang menduduki singgahsana hatiku, pun meruntuhkannya. Seseorang yang kuharapkan menjadikanku yang terakhir. Seseorang yang kuharapkan setiap doa dalam sholatnya, akulah yang mengamini di belakangnya.

Namun, akankah harap tersampaikan tanpa ucap?
Akankah doa bersua di sepertiga malam?
Dan akankah ada pertemuan dalam akad?

Aku telah menunggu, namun kakiku sudah mulai lelah. Karena itu, haruskah kukatakan "Aku pamit" padanya?
Meskipun aku dan dia tak pernah bertamu. Hanya bertemu.
Yah, hanya saling mengetuk pintu lewat tatapan kalbu.


Nur Jannah, S
230917

0 komentar:

Sabtu, 04 November 2017

Cinta P(e)nd(e)nga(r)an Pertama

Aku masih ingat kali pertama ketika aku melihatnya.
Petang itu, aku memutuskan untuk berhenti di sebuah musholla pinggir jalan untuk sholat ashar. Bersama Raihan, teman seperjuanganku di kampus selama ini. Kukira setelah selesai sidang skripsi, urusanku dengan bidang akademis dan administrasi selesai, tapi ternyata masih ada revisi-revisi yang mesti kuselesaikan sebelum diperbolehkan daftar yudisium.
Perkara yang paling sulit ketika skripsi menurutku bukanlah menulis skripsinya, tapi meminta tanda tangan dosen. Hanya untuk beberapa coretan saja, terkadang aku harus menunggu berjam-jam. Belum lagi kalau sudah janjian, eh ternyata di PHP alias pemberi harapan palsu. Aku tau, kesibukan seorang yang memiliki kedudukan lebih tinggi sebanding dengan pangkatnya, tapi ada saat dimana aku merasa seperti lagunya Ayu Ting Ting yang berjudul “Sakitnya tuh di sini”. Hingga tak jarang aku sering pulang telat dan izin tidak bisa mengajar madrasah diniyah di rumah.
“kamar mandinya di mana nih Fat?” tanya Raihan seraya meletakkan tasnya dipojok ruangan. Aku menyandarkan ranselku di samping tas Raihan.
“gak tau juga. Sepertinya di samping deh.” timpalku. Aku memang belum pernah berhenti di musholla ini. Biasanya aku sholat di masjid kampus, atau masjid dekat rumah. Tapi entah kenapa hari ini aku membelokkan motorku dan berhenti di musholla ini. MUSHOLLA BAITURRAHMAN. Begitulah yang tertulis di dindingnya. Rumah kasih sayang. Yah, Allah pasti akan menurunkan berjuta kasih sayangnya untuk setiap hamba yang sholat, apalagi berjamaah di musholla. Mungkin begitulah maksud sang pemilik mushollah ini.
“Ayo anak-anak, nulis dulu. Kalau gak nulis, tak suruh hafalan lhoh ya…”
Sebuah suara diruangan samping membuatku tertegun. Suara yang entah kenapa mampu menghentikan detak jantungku sejenak. Aku mengintip ruangan sebelah yang dipisahkan dengan korden berwarna biru tua. Tampak bayang-bayang anak kecil berlarian di sana. Tubuh mungil mereka mengingatkanku dengan murid-murid madin di rumah. Ada sebuah bayang yang duduk di depan meja panjang dan berhadapan dengan seorang anak kecil.
“hayooo, huruf apa ini??” suara itu terdengar sayup-sayup di tengah guyonan anak-anak. Tanpa sadar, aku melangkah hendak mengintip siapakah pemilik suara itu. Entah kenapa seiring dengan bertambahnya langkahku, jantungku juga semakin memompa lebih cepat. Tapi aku tak bisa menahan rasa penasaran dengan siapakah perempuan yang berada di balik korden ini? Suaranya lembut namun tegas. Keras namun berwibawa. Lantang dan bijaksana.
“Fatih, kamu mau kemana? Katanya kamar mandi di sebelah sana?” tegur Raihan dan menunjuk arah yang membelakangiku. Aku langsung kikuk.
“eh, iya. Ayo!” ku susul Raihan dan berjalan di depannya. Semoga saja ia tidak sadar dengan niat ‘nakal’ ku barusan. Dia akan menertawakanku jika ia tau kalau aku tengah mengintip seorang gadis. Namun, aku sungguh penasaran dengan gadis itu.
Aku melihat beberapa pasang sandal di depan mushollah yang sepertinya memang disediakan untuk siapapun yang ingin menggunakannya untuk persiapan sholat. Kutelisik bekas sandal yang basah itu mengarah kemana. Kamar mandi musholla ternyata berada di sebelah kanan, yang berarti jika aku ke sana aku bisa mengintip sekilas paras gadis itu. Kira-kira bagaimanakah rautnya? Aku yakin dari suara dan tutur katanya ketika menasehati murid-muridnya tadi, ia memiliki kebijaksanaan seorang guru, keluguan seorang gadis, kasih sayang seorang ibu, dan kemanjaan seorang istri? Ah, kenapa tiba-tiba aku memikirkan hal-hal itu?
“Fatih?! kamu ngelamun apa?? Tadi buru-buru mau sholat, sekarang malah ngelamun sendiri!”
Untuk kesekian kalinya, Raihan berhasil membuatku salah tingkah.
#####
“walhamdulillahrabbil’alamiin. Al-Fatihah.” Kuusap wajahku dengan kedua tangan yang baru saja menghamba pada-Nya. Raihan menjabat tanganku dari belakang dengan bibir yang masih belum usai melafalkan surat Al-Fatihah. Tiada harap apapun yang kuinginkan selain ‘keterlambatan’ sholatku diterima oleh Allah. Yah, padahal manusia sering kali berkeluh kesah saat rezeki -yang sering kali maknanya disempitkan dengan uang- datang terlambat, tapi sholat selalu diakhirkan. Bukankah itu kurang adil?
“mau kemana Han?” tanyaku saat Raihan hendak mengangkat tubuhnya.
“pulanglah.” Jawab RaiHan yakin. Aku melirik suara bising dibalik korden biru itu. Kukira ketika ke kamar mandi tadi, aku bisa melirik’nya’. Tapi sepertinya bukan keberuntunganku, karena ketika lewat di sana aku hanya bisa melihat punggung-punggung anak kecil yang mengerubunginya. Dan rasa penasaranku masih belum terobati.
“tunggu bentarlah. Ngilangin capek dulu.” Alasan yang rasional menurutku. Iya kan? Aku yakin Raihan tidak akan curiga. Sekarang sudah hampir maghrib, dan sepertinya kelas TPQ akan segera berakhir. Aku akan menunggunya pulang. Menunggu pulang?
“Ah, seharusnya aku yang menjemputnya pulang.”
“siapa Fat?” sergah Raihan.
Aku membulatkan mataku. “eh, apa?”
“kamu tadi bilang, seharusnya kamu yang menjemputnya pulang. Siapa?”
Aku menggaruk alisku gusar, tak bisa memikirkan jawaban.
“ibumu?”
“eh, iya ibuku. Tadi telphon mau dijemput pas selesai dibaan.”
“lhah, klo gitu ayo buruan pulang. Kasihan ibumu nungguin.”
Duh. Ingin rasanya kubenturkan kepala kosongku ke dinding mushollah. Bisa-bisanya aku jadi sebodoh ini. Mungkin benar kata orang, jika sudah berhubungan dengan wanita, lelaki manapun bisa saja menanggalkan otaknya. Seperti yang kualami saat ini.
Raihan mengambil tasnya di pojok ruangan sedangkan pantatku masih menempel di lantai, dan enggan untuk kuangkat.
“ayo berdoa yok. Siapa yang mimpin doa?” suara itu membangunkan mataku.
“ISTI’DAADAN! PERSIAPAN! SIAP! BERDOA, MULAI!”
Allahummarhamna bil Qur’an
Waj’al hulanaa imaama(u) wa nuuroo(u) wa huda(u) wa rohmah
            “tunggu sebentar Han. Nunggu anak-anak ngaji pulang dulu.” Ujarku. Padahal ini cuma alasan agar aku bisa melihat gadis itu. Ada yang pernah bilang, kata mereka cinta itu dari mata turun ke hati. Sepertinya mereka harus munculin pepatah baru yang menyatakan kalau bisa saja cinta itu datang dari suara turun ke hati.
Allahumma dzakkirnaa minhumaa nasiinaa
wa ‘allilmnaa minhumaa jahilnaa war zuqnaa tilaawatahu
Raihan mengembalikan tasnya lagi dan duduk bersila seraya mengeluarkan hape. Aku bersorak dalam hati karena berhasil mengelabuhinya. Rasanya aku seperti mengkhianati sahabatku sendiri. Tapi tak apalah. Bukankah ‘calon istri’ harus diutamakan?
aanaa al laili wa athroo fan nahaar
waj’al hulana hujjataiii yaaa robbalaalamiin
“hati-hati ya… jangan lari-lari! Belajar lagi di rumah!” pesan suara itu menyejukkan hati. Segerombolan anak kecil mulai memenuhi halaman mushollah. Ada yang langsung pulang, ada pula yang mapir ke toko depan guna membeli jajanan. Ah, jadi teringat saat aku masih seumuran mereka.
Tiba-tiba napasku langsung tercekat ketika seorang gadis berjilbab abu-abu itu melintas di halaman musholla. Perawakannya tidak terlalu tinggi. Dari gaya berpakainnya aku yakin ia tidak neko-neko, sederhana. Ia tampak mampir ke toko depan. Aku bertanya-tanya, hendak membeli apakah dia? Gadis itu membungkukkan badannya sedikit seakan menyapa seseorang. Beberapa detik perempuan tua keluar dari sana seraya tersenyum. Tanpa ragu, gadis itu menjabat tangannya seakan hendak berpamitan pulang. Perempuan tua itu mengangguk seraya tersenyum, dan adegan berikutnya berhasil membuat jantungku langsung lemas.
Aku melihat sisa senyuman gadis itu saat berbalik menghadapku. Sekilas, sebelum ia langsung mengalihkan pandangannya.
“subhanallah, tatapan itu selembut suaranya.” Tanpa sadar, seulas senyum tersungging di wajahku. Ku buntuti gadis itu hingga ia memacu motornya meninggalkan musholla. Tak rela sedetikpun aku melewatkan geriknya.
“masyallah Fatih! Ternyata ini alasan kamu bertindak aneh dari tadi? Pantes saja, gara-gara cewek!”
Masa bodo dengan kemarahan Raihan. Aku akan menghadapinya nanti. Sekarang, biarlah dadaku merasakan rahmat terindah dari Tuhan. Cinta.
“jaga tuh pandangan! Anak orang kok di pelototin. Ingat, pandangan kedua itu haram hukumnya.”
“nah, makanya itu aku gak mau ngelepas pandangan pertamaku padanya sebelum ia benar-benar menghilang dari sana.” Balasku setelah benar-benar yakin kalau gadis itu sudah hilang di ujung jalan.
Raihan menggelengkan kepalanya.
“besok sholat di sini lagi yuk Han!” ajakku.
“ogah! Niatmu udah terkontaminasi!”

Aku tersenyum tanpa dosa. Sepertinya aku akan lebih sering mampir ke sini.

0 komentar: