Jumat, 17 November 2017

Pemeran Utama dalam Kisahku (?)


Seperti biasa, jalanan kampus selalu ramai pada hari-hari aktif. Macet sana-sini tidak bisa terhindarkan. Pak satpam tampak mencari-cari waktu yang pas untuk men-stop mobil, agar beberapa mahasiswa bisa menyebrang. Maklum, bukan hari libur. Lihat saja kalau liburan, pasti jalanan tak akan seramai ini. Malang seakan kota yang tidak berpenghuni.
Aku duduk di taman depan rektorat seraya mendekap sebuah buku. Buku ini berbeda dengan buku diaryku yang lain. Tidak seperti diary yang aku tulis biasanya, tapi buku ini berisi surat-surat untuk seseorang. Seseorang yang entah sejak kapan aku mendoakannya. Yang kutau, bibirku reflek saja menggumamkannya.
“nglamun aja kerjaannya!” Tiba-tiba saja ada seseorang yang menjatuhkan pantatnya di sampingku. Terang saja aku terkejut dan hampir saja memukulnya dengan tas jika aku tak tau siapa yang ada di sana.
“Kak Alfan!” pekikku.
“nganggur itu, kerjain proposal kek belajar kek. Kok malah nglamun! Ntar klo udah deadline, bilangnya gara-gara dosen. Yang sibuklah, banyak permintaanlah bla bla bla.” Tukas kak Alfan.
“sembarangan! Ini tuh refreshing kak, REFRESHING!” balasku.
“alesan!”
“ya udah kalau gak percaya. Gak maksa kok!” kualihkan pandanganku ke arah jalan, sebal. Baru dateng, udah bikin orang emosi.
Yah, berada di semester akhir adalah tantangan terberat bagi setiap mahasiswa. Belum cukup dikejar-kejar pertanyaan ‘kapan wisuda?’, musti dihantui pertanyaan ‘kapan nikah’ juga. Gak sekalian juga pertanyaan ‘kapan mati?’. Begitulah hidup. Kebanyakan orang hanya melihat apa yang dihasilkan, bukan bagaimana cara menghasilkannya. Enteng banget nanya ‘kapan wisuda?’ kayak nanya kapan nasinya matang? Yang sini berjuang mati-matian, disemprot dosen iya, dikejar-kejar dosen iya, diabaiin iya, suruh ini suruh itu ‘iya’ aja deh pokoknya. Cari aman. Itu masih proposal, belum penelitian. Penelitian kimia murni tidak sama dengan kimia pendidikan. Kalau pendidikan, bisa hubungi sekolah dulu buat tempat penelitian, dan praktek ngajar di sana. Lha klo kimia murni? (kalau pensaran, silahkan cari tau sendiri. Mbah google biasanya lebih pintar.)
Aku tertegun saat melihat sepasang muda-mudi berjalan dengan menggenggam tangan masing-masing dengan erat. Si cowok tampak menceritakan sesuatu yang lucu hingga membuat si cewek tersenyum dan mencubit lengannya genit. Setelah itu mereka duduk di seberangku dengan jarak yang nyaris tidak ada. Dempeeet banget. Aku menghela nafas dalam.
“Astaghfirullahaladzim. Gak malu apa ya sama kerudungnya? Cubit-cubitan di kampus.” Cibirku.
“mereka suami istri.” Timpal kak Alfan.
“ha?!!!”
“kenapa kaget gitu? Biasa aja kali.”
“ya kegetlah! Masa masih kuliah udah nikah? Kakak tau darimana? Jangan-jangan cuma ngarang.” Tuduhku.
“emang ada peraturan, ‘kuliah dilarang nikah?’. Mereka anak fakultas sebelah. Nikah semester 5 kemaren. Jadi ceritanya, si cowok bilang kalau menyukai si cewek dari pertama masuk kuliah dulu. Semakin lama, rasa kekagumannya sama si cewek semakin bertambah. Perlu kamu ketahui dek, cowok itu paling sulit kalau menyembunyikan perasaan. Gak kayak cewek yang sukanya main sembunyi-sembunyian. Sampe nangis-nangis sendiri di kamar.”
Kak alfan melemparkan lirikan padaku. Nyindir. Tapi masa bodoh. Aku lebih  penasaran dengan kelanjutan cerita kak alfan.
Kak alfan yang tidak mendapati kejahilannya tidak terbalas olehku, melanjutkan ceritanya.
“jadi si cowok bilang pada si cewek. Karena ‘alhamdulillah’ si cewek ini insyaallah sholihah, dia bilang sama si cowok. Kalau si cowok memang benar-benar menyukainya, ia meminta si cowok bilang sama orang tuanya, bukan kepadanya. Dan si cowok menyanggupinya.”
“trus orang tuanya nyuruh mereka nikah?”
Kak alfan mengangguk. “ si cowok juga udah niatan serius sama si cewek. Sebenarnya ia mengungkapkan perasaannya bukan untuk mengajak si cewek pacaran, tapi balik lagi ke asal tadi. Cowok itu gak bisa lama-lama nyimpen perasaannya. Tapi untuk mengajak ke jenjang pernikahan, ia masih belum siap materi. Beruntung sekali orang tua si cewek tidak memberatkan hal itu dan menyuruh mereka menikah sederhana. Dan… begitulah kiranya kisah cinta halal mereka. Daripada zina, mending nikah. Apa-apa yang dilakukan bisa menjadi ibadah.”
“subhanallaaaaah. So sweeeet. Jadi pengen…”
“apa? nikah?”
Aku mengangguk mengiyakan. Jujur, kalau sudah suntuk masalah kampus rasanya pengen nikah aja.
Kak alfan mendaratkan penanya di jidatku. Aku merintih pelan.
“kenapa malah dipukul?”
“emang kamu kira nikah itu kayak main rumah-rumahan?!”
“ya kan enak kak. Pas ribet proposal gini, ada yang bantuin. Pas begadang, ada yang nemenin. Trus pas wisuda nanti, ada yang diajak foto bareng.”
“itu otak, apa tahu bulat sih! Kosong banget isinya.” Cibir kak Alfan. Aku memutar bola mataku, tersinggung. Bagaimana mungkin otakku disamain kaya tahu bulat? Nraktir tahu bulat aja gak pernah, udah main nyama-nyamain aja. Tapi bukankah pernyataanku tidak sepenuhnya salah? Ketika suntuk udah menyerang mikirin proposal ataupun penelitian, ada seseorang yang menepuk bahu kita memberi kekuatan. Saat dimarahin dosen habis-habisan, ada seseorang yang siap menjadi pengaduan. Saat badmood tiba-tiba nyerang, ada seseorang yang tiba-tiba nyiapin tiket bioskop buat nonton ayat-ayat cinta 2. Dan seseorang itu adalah orang yang halal bagi kita. Bukankah sangat romantis?
“Dek, sini deh tak bisikin.”
Aku mendekat mengikuti isyarat kak Alfan.
“hidup itu gak seperti novel yang kamu tulis. Yang tokoh utamanya selalu melakukan apa yang kamu inginkan. Apalagi membayangkan kalau ‘dia’ adalah tokoh utama dalam kisahmu. Menikah itu bukan hanya tentang mempersatukan dua insan yang kasmaran, tapi juga dua keluarga.”
Aku terdiam dan menarik kepalaku menjauhinya.
“tapi apa salah jika ingin menjadi yang halal untuk seseorang yang kita sayangi?” kutatap rerumputan di depan rektorat yang hijau, hasil dari kerja keras pak kebun tiap pagi dengan muram. Aku tiba-tiba saja teringat seseorang.
“siapa yang bilang salah? Itu adalah hal yang wajar. Tapi ingat, biduk permainan Tuhan tak bisa kau mainkan sesuai keinginanmu. Bisa jadi selama ini, ‘dia’ adalah seseorang yang selalu kau jadikan pemeran utama kisahmu. Namun siapa tau ternyata dia hanyalah figuran yang ada hanya untuk melengkapi ceritamu. Dan ternyata, ada pemeran utama lain yang telah disiapkan oleh Tuhan, dan itu bukan dia. Kalau seperti itu, bagaimana? Kamu tidak bisa menekan backspace untuk menghapus semua perasaanmu pada’nya’ yang ternyata hanya figuran sedangkan ‘sang pemeran utama’ dalam kehidupanmu menjemputmu dengan amanah yang dibisikkan oleh Tuhan.”
Aku semakin terdiam.
“iya, aku tau kak. Tapi bisa jadi dia adalah pemeran utama dalam kehidupanku. Siapa yang menduga?”
“itu namanya keras kepala dek. Memang seberapa yakin kamu dengan dia?”
Aku terdiam. Aku benar-benar tidak tau. Tiba-tiba saja topik pembicaraan kita beralih pada seseorang yang hampir memenuhi sepertiga hidupku. Orang yang sama, dengan rasa yang sama pula.
“keyakinanmu sama besarnya dengan keraguanmu. Karena itu kamu bingung. Iya kan?”
Aku mengangguk. Kak alfan tersenyum. Ada genangan di mataku. Perasaanku benar-benar campur aduk.
“dek, laki-laki yang baik tidak akan membuatmu bingung seperti ini. Gak ada lelaki yang tega membuat wanita yang dicintainya bingung, apalagi sampai menangis seperti ini. Kelemahan seorang laki-laki adalah ketika melihat air mata perempuan yang disayanginya. Selama ini, berapa banyak air mata yang kau jatuhkan untuknya? Berapa kali ia membuatmu bingung? Berapa kali ia menyakiti hatimu? Dan setelah semua itu, kamu masih tetap berpihak padanya? Jujur, aku menjadi ragu dengannya. Aku ragu, apakah ia memang menyayangimu atau hanya menjadikanmu pengisi waktu kosongnya. Jika ia benar-benar menyayangimu, ia akan ke rumah bersama orang tuanya.”
“kenapa kakak selalu menjelekkannya? Bukankah bisa jadi dia punya alasan tersendiri? Mungkin saja ia orang yang terlalu baik untuk mengungkapkan keinginannya bersamaku sebelum ia benar-benar siap? Mungkin saja ia tengah mempersiapkan diri untuk mengemban tanggung jawab yang lebih besar. Seperti yang kakak bilang kalau lelaki itu tidak bisa menyimpan perasaannya terlalu lama, karena itulah dia datang untuk menyalamkan rindu yang tak terbendung dan langsung pergi lagi ketika sadar bahwa tak seharusnya kita saling bersapa tanpa ikatan yang halal. Siapa yang tau? Kakak selalu saja memutarbalikkan keadaan dan menjadikannya jahat.”
“Karena aku tak mau kamu memanjakan perasaanmu. Hatimu sudah terlalu baik dengan selalu berprasangka baik tentangnya. Jika aku mengatakan hal yang baik juga, perasaanmu akan semakin dalam. Dan jika ternyata jalan Tuhan tidak sesuai dengan dugaanmu, rasa sakit yang kamu dapatkan akan semakin dalam. Karena itu, jika hatimu membelanya, aku akan menjadi orang yang menampiknya. Hanya dengan itu, kamu tidak akan terlalu sakit jika terjatuh jika ternyata tidak bersamanya.”
Aku menatap kak Alfan tak percaya. Jadi ini alasan kenapa kak Alfan tak pernah membelanya? Khawatir jika aku akan tersakiti lebih dalam lagi. Tapi apa yang dibicarakan kak Alfan juga benar. Belum tentu dia adalah pemeran utama dalam kehidupanku. Bisa jadi ada orang lain yang menurut Tuhan adalah yang terbaik untukku. Karena seperti dalam sebuah ayat, yang artinya sesuatu yang kita cinta belum tentu baik bagi kita. Dan sesuatu yang kita benci, belum tentu yang buruk buat kita. Tuhan sudah menyusun skenario kehidupan kita dengan baik, kenapa harus ragu? Serahkan semua pada-Nya.
Tuhan, jika ia memang orang yang tengah kau persiapkan untukku, dekatkan kami dalam ikatan yang Engkau ridhoi. Namun jika tidak, kumohon hapuskan perasaan ini dan ikatkan kami dalam persaudaraan Islam.
“aku yakin kamu udah mengerti dek. Iya kan?”
Kuusap air mataku dan tersenyum cerah. “insyaallah kak. Karena hidup ini bukan milikku, jadi kuserahkan setiap suratanku pada pemilik hidup.”
“siiip. Berhubung kamu udah normal lagi, ada salam dari ibu tadi.”
“apa?”
“ada yang ngajakin kamu ta’aruf. Lulusan pesantren, Al-Qurannya udah selesai.”
Mataku langsung membulat sempurna.
“siapa tau ternyata dia adalah seseorang yang menjadi objek dalam bukumu itu.”
Yah, buku yang berada di tanganku ini adalah buku yang sengaja ku tulis untuk calon imamku kelak. Satu-satunya buku yang kutulis untuk objek yang jelas, namun tidak tau siapa.

“jangan menghindar terus. Sekarang udah waktunya kamu mengikhlaskan hatimu untuk kisah yang baru. Inget pesan ibu? batasmu tahun ini. Tunggu saja sampai ada orang yang bisa masuk ke rumah. Tak peduli seberapa seriusnya orang-orang itu, jika mereka bukan jodohmu, mereka tidak akan bisa masuk ke rumah. Seperti anak pak Bisri yang bahkan sampai mengejar-ngejar ayah, menjanjikan ka’bah dan murid demi mendapatkan perhatianmu, ketika mereka datang ke rumah untuk mempertegas niat baik mereka, ternyata kita tidak ada di rumah dan jadinya mampir ke rumah budhe. Jadi bersiap-siaplah jika ternyata orang yang bisa masuk ke rumah bukan dia. Ucapan ibu jarang meleset.”
Aku menundukkan kepalaku. Entah kenapa, aku meragukan keputusanku sendiri.

Nur Jannah, S

161117

0 komentar: