Senin, 06 November 2017

Bukan Rantai

Ada seorang teman cerita,

“orang tuaku itu protektif banget mbak. Masa jam 7 aku harus ada di rumah? Padahal anak-anak tetanggaku ada yang pulang sampe malem juga gak parah-parah amat dimarahinya.”

Aku tersenyum. Jadi ingat, gimana dulu orang tuaku juga termasuk kategori orang tua yang ‘protektif’. Mungkin lebih parah dari yang diceritakan temanku. Bahkan, aku pernah menulis kalau aku seperti boneka mereka. Kejam ya? Emang. Orang yang nulis itu lebih kejam dari yang pernah kalian kira. Nah, kita akhiri curhat gak perntingku, ayo kita kupas lembaran-lembaran yang tersembunyi di sana.

Orang tuaku, rantaiku?
Wajar memang jika orang tua selalu memperhatikan gerak-gerik anaknya. Malah gak wajar kan kalau orang tua tidak mau tau apa yang dilakukan seorang anak?
Pas bayi dulu, sekecil apapun gerakan yang kita lakukan serasa seperti bunga yang merekah di musim semi mereka. Pas kita pertama kali membuka mata, pertama kali mengangkat tangan, pertama kali mengangkat ujung bibir ke atas –tersenyum maksudnya-, pertama kali tengkurap, dan pertama-pertama yang lainnya. Dan pernah gak saat pertama kali kalian berhasil menangkap capung di halaman rumah, kalian bakal berlari ke dalam dan berteriak,
“ibuuu, ayaaah!! Aku berhasil menangkap capung!”
“oh iya? Waaaah, hebat sekali.”
Setiap orang pasti akan senang saat orang memujinya. Manusiawi kok… Boleh gak ya aku bilang kalau munafik namanya kalau ada orang yang bilang tidak suka dengan pujian? Hehehe
Saat kita senang karena berhasil menangkap capung, aku yakin orang tua kita lebih bahagia daripada kita. Mereka bahagia karena mereka menjadi orang pertama yang kita beritahu. Namun seiring dengan umur kita yang semakin banyak, berita-berita pertama yang ingin didengarkan oleh mereka semakin jarang. Bahkan hampir tidak ada. Tentu saja mereka bersedih. Saat mereka bertanya, apa yang terjadi di sekolah? apakah temanmu baik? Pelajarannya tidak sulit kan? Dan bagaimana jawaban yang sering kita lontarkan?
“tidak ada apa-apa kok. Biasa aja.”
Dan itu adalah jawaban yang paling membuat kecewa. Mereka penasaran apa yang dilakukan anak mereka? Hal baru apa saja yang dilakukan? Dan ketika jawaban itu yang keluar, mereka akan mulai bertanya-tanya. Kemana seorang anak yang dulu selalu bersemangat mengabarkan berita-berita baru padanya? Mereka kehilangan sosok seorang anak yang sudah beranjak dewasa. Sedangkan pada posisi kita, kita merasa jerah dengan pertanyaan-pertanyaan yang mereka lontarkan tanpa bosan.

Nah, pasti itulah yang membuat dilema. Iya gak? Kita udah dewasa, dan bukan waktunya lagi dipantau 24 jam. Seperti kasus seorang temanku, dan teman-teman yang lain mungkin. Termasuk aku juga.

Mulai berpendapat.
Kalau ngaku udah dewasa, ya harus bertindak dengan alasan dong. Misalnya nih mau keluar kemana gitu, tapi masih diwawancari dulu sama embel-embel gak bakal dibolehin. Apa yang seharusnya seorang anak lakuin?
Bukan langsung teriak,
“aku udah dewasa pa, ma, bu, yah, bi, mi, pi. Gak usah ikut campur urusanku!” helloooow, kalian  gak bakal bisa sebesar itu tanpa campur tangan mereka guys. Sumpah aku pengen ketawa kalau ada anak yang ngaku dewasa tapi ngomongnya kek gitu.
Lebih baik, cari saat orang tua sedang santai. Terus bilang aja yang sebenarnya kalian inginkan di umur yang sudah banyak ini. Jelaskan, aku seperti ini yah, bu. Yakin 100%, cara itu lebih ampuh dan orang tua kita dapat lebih menerima dan mempercayai kedewasaan kita.

Jujur, sebenarnya lebih berat menjaga kepercayaan lho daripada minta dilepasin dari ‘rantai’ protektif orang tua kita. Kalau protektif kan semacam penjagaan secara fisik gitu ya. Tapi kalau kepercayaan itu masalah penjagaan hati. Kalau masalah fisik, paling-paling dimarahin, selesai. Tapi kalau hati? Ah, kalian tau sendirilah bagaimana ribetnya hati itu.

Jadi kalau menurutku, seorang anak itu bisa dewasa jika penjagaannya bukan secara fisik, tapi secara hati. Eak!
Tulisan ini bukan sok-sokan kok. Cuma berbagi pengalaman aja, siapa tau kita senasib seperjuangan serasa.
Yuk, mulai membangun kepercayaan denga orang tua kita. Jangan sama si ‘dia’ aja. Kalau bangun kepercayaan sama si dia, bisa aja dia selingkuh kan? Tapi kalau sama orang tua, apa ada orang tua yang selingkuh? Hehehe

An110717

0 komentar: