Kamis, 13 Desember 2018

Ternyata dia cuma pelangi

Ternyata dia cuma pelangi. Yang sejenak hadir memberikan warna dalam lembaran kisah sederhanaku. Yang datang setelah hujan mengguyur jiwa dan mendung melingkupi kehampaan. Setelah tawa tak lagi terharap, ia memudar bahkan sebelum jariku tuntas membahasakannya.

Ternyata dia cuma pelangi. Yang menggerakkan goresanku menguraikan abjadnya. Merebahkan fikirku menelisik makna kehadirannya. Namun, saat kaki menjejak hamparan warna harapan, ternyata iramanya menjatuhkanku melewati parit ingatan.

Saat pertanyaan 'kenapa' yang tak pernah terlontar tak pernah mendengar jawaban 'karena', bahkan bibirpun seakan bisu dan telinga seakan tuli, hanya dugaan yang menemaniku dalam perlakuan yang berbeda darinya.

Ternyata dia cuma pelangi, bukan matahari yang seakan pernah mengisyaratkanku sebagai rembulan.

Kamu, terimakasih untuk semua ingatan, dan maaf untuk sebuah rasa yang sederhana dengan kisah yang tak sederhana.


0 komentar:

Minggu, 18 November 2018

UIN MALANG BUTUH UANG?



Sebenarnya, bukan tipeku mengomentari tentang suatu kinerja lembaga atau pemerintah lewat tulisan seperti ini. Tapi kali ini, jika aku tidak ikut ‘action’ dan hanya menjadi ‘pengamat’ di belakang layar seperti biasanya, sepertinya aku tak ubahnya seperti patung di pinggir jalan. Tak ada gunanya. Karena itu aku menulis ini untuk meneriakkan suaraku, juga suara teman-temanku yang lain.
Ini tentang pembayaran UKT/SPP yang (sangat) dimajukan.

Semenjak aku di UIN, pembayaran UKT selalu terletak di hari akhir ujian semester hingga liburan hampir usai. Tapi gak tau kenapa, tiba-tiba aja pembayaran UKT semester ini dimajukan. Mulai tanggal 19 Nov – 21 Des. Tentu saja aku shock! Anak-anak semester bawah (kimia) saja masih belum selesai praktikum, pembayaran UKT udah dimulai saja dan ditutup pas ujian semester juga belum selesai. Sedangkan (kami) mahasiswa veteran yang berbesar harap dapat mengejar sidang skripsi semester ini, malah harus kalang kabut memikirkan cara  agar tidak ikut bayar UKT semester depan. Bayangkan saja, kami sudah habis banyak buat penelitian dan tanggungan laboratorium, malah di-pepet sama pembayaran UKT hanya untuk daftar yudisium. It’s mean, seakan kami memberikan uang pada UIN dengan percuma. Padahal kami sudah tidak ikut perkuliahan, pun tidak ikut memakai bahan-bahan kimia dan fasilitas lab yang lain. Tapi kamu harus bayar UKT penuh. It’s not fair, right?

Beberapa temanku, sudah berusaha untuk meminta keringanan ke rektorat, tapi semua hasilnya nihil. Mereka ditolak.

Sebut saja jika soal sidang memang urusan kami. Tapi yang dipermasalahkan adalah waktu pembayaran UKT yang tidak wajar. Apa UIN BUTUH UANG? Sehingga meng-eksploitasi mahasiswanya lewat pembayaran yang dimajukan. Jika bagi mereka yang termasuk keluarga kalangan atas, mau kapanpun pembayaran UKT juga tak masalah. Tapi bagi kami? Mendapatkan uang untuk pembayaran UKT tak seperti memetik daun mangga di depan rumah. Kami hanya mahasiswa yang masih bergantung pada pundak orang tua. Memikirkan bagaimana mereka memeras keringat untuk biaya makan saja, kami sudah tak tega. Bagaimana mungkin kami mendesak pembayaran UKT setelah habis-habisan dengan biaya penelitian?

Jika saja UIN dapat menjawab, ingin sekali aku bertanya, “Kamu kenapa?”

Salam.
Siti Nur Jannah
(Kimia 2014)

0 komentar:

Kamis, 15 November 2018

Untukmu yang Pengen Lulus


Ah, udah lama rasanya gak cuit-cuit di sini. Yah, kemarin-kemarin hanya bersembunyi dibalik prosa-prosa sih. Selain itu, ada rantai yang seakan menarik tanganku tiap kali ingin bercengkrama lebih banyak di sini. (Apaan ya alay gini bahasanya. Hahaha).

Baiklah. Alasan aku nulis ini, adalah untuk kalian yang ingin segera lulus atau dalam tahap akhir menuju kelulusan. Bisa dibilang ini adalah curhatan yang mengkambing hitamkan tulisan. Atau bagaimanapun kalian menganggapnya, terserah. Yang jelas, ini untuk kalian yang berada dalam fasa perjuangan sepertiku. Kita sehati kawan. (Emotion peluk sambil nangis).

Kalian pasti pernah mengalami, pas jalan dikit, ditanya “kapan lulus?”
Belok kanan dikit, ditanya “kapan sidang?”
Kiri dikit, ditanya “kapan wisuda?”
Iya nggak?
Yaaah, itu memang hak netizen untuk bertanya, dan nasib kita untuk mendapat pertanyaan. Okelah. Sah-sah saja mereka bertanya, tapi tidak semua orang berhak untuk menghakimi hidup orang lain. Right?

Society kita adalah society yang mengedepankan hasil. Orang tidak peduli seberapa keras kamu berusaha. Selagi apa yang kau hasilkan menjanjikan, mereka akan menganggapmu sebagai orang yang lebih. Meskipun keringat yang kau keluarkan lebih banyak, meski usaha yang kau kerahkan lebih besar, jika hasilnya tidak memuaskan bagi masyarakat, semua itu gak ada artinya. Seperti halnya kuliah nih. Mereka gak pernah tuh nanya apa yang kuteliti di lab. Seberapa pentingkah penelitian itu dilakukan? Kira-kira dampak apa yang bakal berpengaruh dalam masyarakat? Seberapa sulitkah? (Kecuali penguji utama, pembimbing dan konsultan. Mereka adalah orang-orang yang paling banyak bertanya).

Yang mereka pedulikan hanya satu. Foto memakai toga, ditemani ayah bunda. Sama pasangan kalau yang ada. Hhh, kalau foto pake toga aja mah semua bisa. Padahal yang paling penting bukan foto pake toganya, tapi perjuangan yang dilakukan sebelum memakai toga.

Akhir-akhir ini, teman-temanku di sini mulai kalang kabut soal wisuda karena batas pembayaran UKT udah semakin dekat. Siapa coba yang gak pengen segera lulus? Siapa yang gak pengen segera sidang dan wisuda? Siapa yang pengen bayar UKT cuma buat daftar wisuda?
Akhirnya, status-status galau mulai memenuhi story-ku. Aku juga galau, tapi gak buat di story. Di twitter. (Sama aja ya? Hahaha).

Begitulah. Jadinya aku mulai adu mulut dengan pikiran dan hatiku, hingga akhirnya muncullah tulisan-tulisan ini. Boleh saja kita berencana, tapi bukankah tidak semua hal bisa dipaksakan? Tidak semua hal bisa dirancang lalu tak meleset perkiraan. Kita bukan pemilik waktu, juga bukan pemilik kehidupan. Dan lagi, “lulus” sebenarnya hanyalah duniawi kawan. Udahlah, gak papa meskipun gak lulus semester ini. Gak papa meski harus bayar UKT lagi cuma buat daftar wisuda. Gak usah terlalu mengejar tanggal, yang notabennya kita mengejar dunia. Bersyukurlah. Bersyukur karena Allah masih masih ngasih kita mata buat begadang di depan laptop ngerjain skripsi. Masih ngasih kita mulut, meskipun terkadang digunakan untuk mengeluh, gak hanya presentasi. Masih ngasih kita kaki buat kejar-kejaan sama dosen sedari pagi sampe sore hari. Masih ngasih kita akal untuk berpikir tentang kemaslahatan (mungkin) setelah kita lulus nanti. Masih ngasih kita hati, yang seringkali tersakiti saat konsultasi (ini curhat). Dan yang paling penting, masih ngasih kita napas yang seharusnya kita gunakan untuk memperbaiki diri.

Pernah bayangin gak jika tiba-tiba Allah ngehentiin langkah kita dan kita gak bisa menelusuri bumi lagi? Banyak hal yang kita hasratkan, tapi Allah bilang, “STOP!” dan semuanya akan berhenti. Tidak seperti di jalan raya. Jika lampu berwarna kuning, berarti pertanda untuk siap-siap berjalan lagi. Namun jika Allah yang memberikan kita lampu merah, dunia yang bakal kita jelajahi bakal berbeda lagi.

Subahanallah wal Hamdulillah wa Lailahaillallah Allahuakbar

Jadi temen-temen, yuk kita tata niat kembali. Yuk kita perbaiki hasrat kembali. Tidak apa-apa meskipun (dianggap) terlambat dibandingkan orang lain. Tidak apa-apa meskipun tidak seperti orang lain. Orang lain hanya penilai di dunia, tapi Sang Penilai sebenarnya adalah Allah. Buat apa jika banyak tambahan huruf dibelakang nama tapi nilainya kosong di hadapan Allah?

Yuk sama-sama berjuang.
Tahap juang itu, berjuang sendiri – diperjuangin – berjuang bareng deh. Hahaha

Salam sayang,
Siti Nur Jannah

0 komentar:

Senin, 12 November 2018

Malang, 12 November 2018


Sore tadi, aku buru-buru pulang dari kampus. Langit mendung, dan aku tak mau merelakan tubuhku terguyur hujan atau lebih parahnya laptop dalam tas dipunggungku kenapa-napa. Saat ini, laptopku adalah prioritas. Banyak hal yang tersimpan di dalamnya. Selain tulisan-tulisanku, naskah skripsi adalah penentu hidup dan matiku di bangku kuliah yang sudah mulai menyesakkan ini.
Motor kupacu, dan kuterjang kendaraan di depanku selincah yang aku bisa. Kepalaku sebenarnya penat. Sedari pagi aku menunggu dosen, yang ujung-ujungnya malah tak bisa ditemui. Apalagi kejadian menyebalkan ketika satu pesatu –yang mengaku- temanku menyerobot antrian ketika kutinggal sholat. Yah, kadang statu teman memang tidak ada artinya jika berhubungan dengan hal-hal seperti ini. Daripada adu mulut, aku memilih untuk diam saja. Dan ketika hampir giliranku maju, ternyata dosenku hendak pergi. Apalah daya? Besok aku harus ujian bahasa arab, sedangkan aku harus daftar akhir pekan ini jika ingin lulus di semester ini.
Pusing? Tentu saja. Tapi sembari berjalan, aku mulai menoba menenangkan diriku sendiri. Jika aku terus-terusan kepikiran seperti ini, bukannya memberi solusi malah membuatku semakin tersiksa. Benar bukan? Akhirnya aku mulai menat hatiku kembali lalu menyerahkan semuanya pada Allah. Waktuku memang mepet, tapi Sang Pemilik Waktu adalah Allah.
Maksud hati ingin beli makan dulu sebelum balik asrama, tapi kekhawatiran akan laptopku lebih besar. Akhirnya aku kembali dulu ke asrama, menaruh tas, lalu keluar dengan jalan. Saat itulah pikiranku mulai bercengkerama kembali. Tentang mendung.
Ah, aku lupa hendak menuliskan apa. Padahal aku sudah mewanti-wanti akan menulisnya. Tapi beginilah jika ide diterminalkan dulu, akhirnya ada yang nyangkut. Seingatku, tentang mendung yang belum tentu hujan lalu aku menghubungkan dengan perasaan. Ah, aku ingat. Tentang mendung yang kumaksud dalam perasaan ini adalah pacaran. Meskipun langit mendung, belum tentu hujan. Meskipun pacaran, belum tentu ke pelaminan. Intinya beegitulah. Padahal aku tadi merangkai dengan kata yang lebih baik, malah jadinya frontal seperti ini. Ya sudahlah cerita hari ini.

0 komentar:

Rabu, 07 November 2018

Malang, 7 November 2018


Mbak, gak ke kampus? mau minta ajarin.
Mbak Anna,ke kampus jam berapa? Mau minta anterin.
An, ke kampus gak?
Mbak Anna, dicari Pak Anton.
Mbak, disuruh ke kampus sekarang.
Mbak, disuruh konsul setengah 4.


Hhh, maksud hati ingin beristirahat sejenak, tapi panggilan berdatangan. Karena itulah aku bersyukur ada hujan deras yang tak kunjung berhenti ini. Jadi aku punya alasan untuk tidak ke kampus. Ah, seakan hujan berada di pihakku saja.

Akhir-akhir ini, aku memang seperti amplop dan perangko dengan kampus. Rasanya tiap pagi sape sore, di kampuuuus terus. Setiap orang, pastipunya titik jenuh kan ya? karena kemarin-kemarin dipaksa, akhirnya kayak kehilangan kesadaran gitu meskipun di kampus. Konsul ya konsul, revisi ya revisi. Tapi seakan ada yang hilang. Kosong. Rasanya beraaaat banget, sampe pengen nangis. Makanya hari ini niat gak ke kampus, eh malah banyak panggilan. Hhh,

Nah kan kemarin aku sempat patah hatii dry. Kirain aku bakal daftar minggu ini kan ya, eh konsultanku gak mau ngonsuli. Mintanya minggu depan aja. Kan terlanjur patah hati, ya udahlah nenangin diri dulu. Soalnya aku juga kejar-kejaran sama waktu dry... Klo gak cepet-cepet, aku musti bayar spp lagi. Dan aku gak mau. Lha kalau diundur, tentu saja waktuku semaki meepet kan?
Belum lagi harapan orang-orang di rumah yang pengennya cepert selesai. 
Kemarin-kemarin sih, orang rumah masih sering nanya-nanya gitu kapan semhas? kapan sidang?
Secara, aku kan ya di sini juga banyak yang musti dipikirin, jadinya langsung down dan nangis deh. Hingga akhirnya aku bilang, kalau aku sudah berusaha keras. Di sini aku juga bekerja keras. Jadi kalau ditanya-tanyain terus, aku kepikiran dan jadinya tekanan. 

Ya gimana, namanya juga semester akhir. Emang sih, apa yang kurasaan gak sebanding dengan mereka, tapi kan setiap individu punya batas maksimalnya sendiri. Saat menjadi seorang anak dan pelajar, batas masalahku segini. Kalau jadi orang tua, batas masalahku juga bakal beda lagi. Iya kan dry?

Ya gitu deh. Semoga aja ini hujannya sampe isya. Biar aku gak usah ngelesi juga. Hahaha
Pkoknya hari ini aku gak pengen ngapa-ngapain dulu. Baru besok, Let's start again!

Bismillah, doain ya dry....

0 komentar:

Rabu, 31 Oktober 2018

Kertas Ujian MTK

"Pokoknya, kalau nilai matematikaku jelek, tanggung jawab kamu." Ucapnya ketika di perpustakaan saat itu.
"Loh? Kok gitu? Kamu yang ngerjain, kenapa aku yang tanggung jawab?" Balasku tidak terima. Tapi yang diprotes malah senyam-senyum seakan tidak mau tau. Kulemparkan lirikan tajamku padanya.
"Kalau begitu, nilai bhasa inggrisku, kamu yang tanggung jawab!" Aku balik menantang. Awalnya aku cuma menggertak saja, tapi ternyata dia malah menyanggupi.
"Setuju." Aku langsung lemas. Memikirkan matematikaku sendiri saja sudah kepayahan, bagaimana mungkin aku memikirkan untuk dia juga?
Tapi kesepakatan sudah terlanjur, dan aku terlalu malu jika harus membatalkannya sendiri.
---***---
Hari itu pas ujian akhir madrasah, dan bertepatan waktunya matematika. Sebelumnya, ia sudah kubikinkan rangkuman catatan rumus meskipun masih belum semuanya.
"Nanti habis ujian, tunggu di sini." Ucapnya sebelum masuk ke kelasnya. Karna itulah ketika semua anak sudah berhamburan keluar, aku menelisik mencari kepalanya. Lalu kulihat ia keluar dari kelas dan berjalan mendekatiku.
"Gimana?" Tanyaku tentang ujiannya.
Dia mengangkat jari jempolnya, dan tersenyum.
"Syukurlah, bisa semua?"
"Yang gak bisa kubuletin." Ujarnya seraya memberikanku kertas ujiannya sebelum kemudian berpamitan untuk kembali ke asrama duluan.
Namun, saat kulihat kertasnya, hampir semua nomor dia bulati! Hanya sekitar 10 nomor yang tidak ada coretannya. Aku langsung lunglai, seakan bebnku setelah akan semakin banyak.
Kemudian aku melihat tulisan di bagian kertas yang kosong. Tulisan yang memang sengaja ia berikan padaku, atau hanya dia tulis sembarang. Namun, hatiku berdesir ketika membacanya.


0 komentar:

Senin, 29 Oktober 2018

Persembahan Rasaku Untukmu


            “mbak nafa, ini dapat kiriman.” Kata Sarah, yang mengahdapngku di depan kamarnya saat aku  hendak ke kamar mandi.
           “kiriman? Dari siapa?” aku balik bertanya. Seingatku, aku tak pernah memesan barang online sebelumnya. Aku juga tak punya saudara jauh yang berinisiatif memberiku kejutan haidah tiba-tiba. Lalu, kiriman dari siapa?
            “kurang tau mbak. Tadi pak posnya bilang buat mbak Nafa gitu.” Sarah menyodorkan kotak sedang berbungkus warna coklat. Kulihat nama dan alamat penerimanya, memang benar namaku. Naflah Fakhirah. Alamatnyapun memang alamat asrama ini. Saat aku melihat nama pengirimnya, keningku mengkerut.
Imam mustofa? Siapa?
Aku memutar otakku mencari-cari file nama ‘Imam Mustofa’ yang mengirimku paketan ini. Tapi, nihil. Aku tak teringat siapapun. Malahan aku tak pernah merasa punya teman ataupun kenalan bernama imam mustofa. Ah, siapa pula orang ini.
            “bener buat mbak nafa kan?” Sarah mencoba memastikan.
            “iya sih…”
            “ya berarti emang buat mbak.”
            “gitu ya?”
            Meskipun nama disitu memang namaku, aku jadi ragu kalau paketan ini memang untukku.
            “ya udah deh. Makasih ya sarah…”
            “yuhu mbak.”
            Akhirnya kutaruh paketan itu di kamar sebelum aku bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Adzan maghrib berkumandang, sedangkan aku masih belum mandi karena baru selesai kuliah.
---***----
            Kulemparkan sajadahku sembarang ke atas kasur dan langsung merebahkan punggung di sampingnya. Subhanallah, rasanya seperti terlentang di atas sakura yang berguguran. Lelah karena sejak pagi hingga sore bak bola pimpong yang dilemparkan kesana kemari, akhirnya aku bisa menikmati nyamannya kasur lantai kesayanganku. Mataku terpejam, menikmati setiap titik tulangku yang mulai meluruskan diri mereka sendiri. Lalu aku teringat paketan ‘misterius’ tadi.
            Paketan itu masih berada di atas lemari, tempat dimana aku pertama menaruhnya tadi. Kubolak-balik kotak itu berharap bisa menerka-nerka apa isinya. Sembari duduk di samping pintu, kubuka setiap lapis kertas yang membungkusnya hingga akhirnya aku tau apa isinya.
            “buku?” aku bergumam sendiri, karena aku memang sendiri sekamar. Menurutku, ini lebih nyaman dengan suasana hatiku yang tak karu-karuan mendekati ujian akhir. Banyak yang bilang, suasana kamar itu tergantung suasana hati. Jadi saat sendiri sekamar, aku tak perlu sungkan jika harus membiarkan kamarku berantakkan.
            Surat dari Masa Lalu
            Itulah judul bukunya. Sebuah Novel, ditulis oleh Alfan Asyfi. Tunggu. Alfan Asyfi? Seakan aku pernah mendengar namanya. Tapi dimana?
            Kubuka bungkus novel yang masih baru itu. Dari sampulnya, novel ini diterbitkan oleh salah satu penerbit mayor di Yogyakarta. Wah, hebat sekali bisa tembus mayor. Aku saja masih bisa menembus penerbit indie saja. Diterbitin oleh penerbit mayor, adalah salah satu impian terbesarku. Aku ingin menjadi penulis yang tulisannnya bermanfaat dan dikenal dunia. Beruntung bisa best seller dan dijadikan film. Ah, kuharap ada malaikat yang lewat dan mengaminkannya. Semoga.
            Tiba-tiba, ada telpon masuk. Dari nomor yang tak ku kenal. Akhir-akhir ini, nomor ini memang sering menghubungiku, tapi tidak kurespon. Aku memang orang yang paling malas kalau disuruh balas nomor asing. Lha saat telphon dan kuangkat, malah tidak ada suara. Kan jadi malas.
            Daripada mengganggu terus-terusan, mending kubilang saja untuk tidak menghubungiku lagi. akhirnya kutekan tombol jawab.
            “Assalamualaikum. Maaf,”
            “Assalamualaikum.” Suara dari seberang sana membuatku batal untuk menyampaikan maksudku untuk berhenti menghubungiku. Suaranya berat, dengan sedikit getaran di sana. Entah getaran karena apa. Mungkin dia tengah sakit tenggorokan.
            “wa-walaikumsalam,” akhirnya aku menjawab.
            “Nafa?” suara itu tampak tak asing, seakan aku pernah mendengarnya.
            “iya benar. Ini siapa ya?”
            “paketannya udah sampe?”
            Kulihat kertas bungkus yang masih berserakan di lantai.
            “oh, ini yang ngirim paketan? Imam Mustofa?”
            Suara diseberang cekikikan. Lhah, bukannya dijawab kok malah tertawa? Aku jadi bingung.
            “iya, imam pilihan.” Jawabnya dengan senyum yang masih tersisa. Aku langsung memasang wajah datar. Orang ini siapa sih? Maunya apa coba?
            “maaf, bisa jawab to the point aja? kalau tidak, saya tutup.” tegasku.
            “kamu masih sama seperti dulu.” Ujarnya.
            Baiklah, aku mulai kehabisan kesabaran. Aku tidak suka meladeni orang asing yang ngajak ‘berantem’ gini.
            “maaf, saya…”
            “kamu tidak ingat aku?”
            “bisa langsung sebutkan nama?”
            “aku Alfan Naf,”
            Alfan. Alfan. Alfan. Siapa?
            “Maaf, Alfan yang mana ya?”
            “kita pernah seorganisasi di Lembaga Kader Dakwah dulu.”
            Lembaga Kader Dakwah? MA dulu? Aku mencoba mengingat-ngingat, hingga akhirnya menemukan satu nama.
            “Masyallah! kak Alfan?? Kak Alfan ketua LKD dulu?” seruku bangga karena berhasil mengingat. Biasanya aku adalah pelupa parah. Jadi saat mengingat sesuatu, merupakan sebuah pencapaian yang harus kubanggakan sendiri.
            “Alhamdulillah, masih ingat.” Jawab kak Alfan.
            “oalaah, kok gak bilang tho? Kan jadi gak enak. Maaf ya kak…”
            “ya ini kan udah bilang.”
            “ya lebih awal dong…”
            “emang kenapa kalau lebih awal? Biar lebih ramah gitu?”
            “ya mungkin. Hehehe”
            “janganlah, jangan ramah-ramah. Nanti yang nelpon terpikat semua.”
            “eiiih,  apaan coba! Oh iya, ini kak Alfan yang ngirim paketnya? Kok atas nama imam mustofa? Trus, ini bukunya kak Alfan yang nulis ya?” tanyaku penasaran.
            “jawabannya ada di buku.”
            “ha? Maksudnya?” kulihat buku yang saat ini berada digenggamanku.
            “ya udah, jawabannya tak tunggu seminggu lagi ya.”
            “jawaban apa?”
            “baik-baik di sana. Wassalamualaikum.”
            Lalu telphon dimatikan, sedangkan kepalaku penuh tanda tanya. Apa maksud dari kak Alfan? Dan apa hubungannya dengan buku yang dia kirim?
Tepat dihalaman pertama, kubaca tulisan persembahan yang sangat mengejutkanku.
            Tulisan ini kupersembahkan untukmu yang telah menjadi kisah sebelumnya dan kuharapkan menjadi kisah setelahnya, di hadapan-Nya. Naflah Fakhirah.
            What?!?! Apa ini maksudnya?? Buku ini dipersembahkan untukku? Kenapa? Kok bisa? kak Alfan? Aku benar-benar terkejut. Antara percaya dan tidak percaya, kak Alfan menulis buku untukku? Aku benar-benar tak habis pikir hingga kuselami setiap baris kata di depanku seketika. Hingga akhirnya aku faham, buku ini bercerita tentang perjalanan rasa kak Alfan, kepadaku. Perasaan yang menunggu jawabannya seminggu lagi.

 Malang, 291018


0 komentar:

Minggu, 28 Oktober 2018

LAST DAY


Hari itu, hari terakhir aku menghabiskan waktu di sekolah dengannya.
“LAST DAY”
Itulah nama acara kita hari itu. Acara yang memang dibuat untuk siswa-siswi kelas XII sebagai perpisahan. Ah, betapa benci aku dengan kata terakhir dan perpisahan. Aku masih ingat, ketika hari terakhir UNAS, aku dan dia bertemu di lorong sekolah. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, yang jika ingin bertemu salah satu memberi surat atau menitip salam terlebih dahulu. Tapi kali ini seakan kita tau kalau masing-masing dari kita harus bertemu terlebih dahulu sebelum pulang.
“jadi, ini hari terakhir?” tanyaku seraya menatapnya. Ia hanya balas menatapku tanpa mengatakan apapun. Sedetik, dua detik, tiga detik, ia tersenyum kecil lalu mengangguk. Sedangkan aku menunduk. Namun, karena tak mau tampak jelas jika aku sedih, akhirnya kuangkat wajahku dan tersenyum. Berusaha tersenyum lebih tepatnya.
“kamu, lancar?” tanyanya. Kuangkat kedua bahuku. Ia tersenyum. Lalu suasana hening kembali. Selama yang kuingat, baru kali itu aku dan dia tampak kikuk. Tak tau harus bicara apa. hanya terdiam, saling memandang sambil sesekali melihat hiruk pikuk teman-teman yang lain di sekitar kami. Tentu saja, ini adalah akhir dari perjuangan mereka di bangku SMA. Siapa yang tidak bahagia? Kecuali aku tentunya. Kebahagiaan karena telah menyelesaikan ujian, tidak lebih besar dari kesedihanku harus berpisah dengannya. Keheningan diantara kami pecah saat ada teman sekelasnya yang mulai menggodaku dan dia. Kami tertawa-tawa dan ikut membuat kebisingan. Ini hari terakhir, kenapa aku harus merusaknya dengan menunjukkan wajah tidak bahagia?
Sebelum pulang, ia memanggilku dan menghampiriku. Ia menimbang-nimbang dua kartu ujian di tangannya lalu memberikannya padaku. Aku terkekeh. Lalu kuberikan satu punyaku padanya. Sama seperti 3 tahun yang lalu, ketika aku juga mendapat kartu ujiannya di MTs.
Kembali ke acara Last Day.
Acara di dalam masih berlangsung, sedangkan aku memilih untuk melihat dari jendela. Yah, sebagai salah satu panitia aku memiliki beberapa tugas yang harus kuselesaikan dan kuawasi demi acara yang berjalan lancar. Ketika itu, dia menghampiriku. Berdiri di sampingku, tanpa mengatakan apapun. Beberapa saat, akhirnya kutolehkan kepalaku padanya seakan berkata, ‘baiklah, ada apa’.
            Ia mengeluarkan spidol dari saku celananya dan memberikan padaku. Kuangkat sebelah alisku.
            “kamu mau minta tanda tanganku?”
            “yaps!”
            Kulihat seragamnya masih bersih tanpa coretan sama sekali. Tapi dengan bodohnya aku masih bertanya, “dimana?”
            “di sini,” ia menunjuk sakunya yang tanpa bedge.
            “kenapa kok di saku? Istimewa ya? Dekat dengan hati?” ujarku berusaha menggoda.
            “iya,” jawabnya. Aku tertegun. Aku yang menggodanya, kenapa malah aku yang deg-degan? Secepat yang aku bisa, langsung kububuhkan tanda-tanganku disakunya.
            “kamu?”
            Kuberikan kerudung putih dengan pita pink di sekelilingnya pada Haidar. Kerudung yang baru saja kuambil dari asrama dengan lari-lari. Ini hari terakhir, aku juga harus bersiap-siap.
            Haidar mengambilnya. Namun bukannya menandatanganinya, ia malah membawa kabur kerudungku.
            “lhoh, kok dibawa kabur?? Tanda tangani!” ujarku dengan nada yang sedikit tinggi.
            “buat aku saja kerudungmu!”
            Yang benar saja! Masa ia mau pake kerudungku?!
            “kembaliin!” aku mencoba mengejar, tapi sungkan dengan teman-teman yang lain. Akhirnya aku memilih untuk membiarkannya. Haidar tersenyum penuh kemenangan.
---***---
            “ngapain?” tanya Haidar saat ia mendapatiku duduk di kursi kelas sebelah. Mungkin ia penasaran kenapa aku malah duduk di sini bukannya ikut acara.
            “gak ngapa-ngapain,” kututup diaryku yang tadi terbuka. Haidar melihatnya, lalu mengambil posisi di atas meja sampingku. Ia yang tinggi, membuatku tampak lebih kecil lagi. Biasanya, aku bakal langsung protes jika ia membuatku terlihat lebih pendek. Tapi tidak untuk saat ini. Aku lagi malas saja.
            Kami hanya terdiam tanpa berkata apapun, sedangkan pikiranku melayang entah kemana. Beberapa kali kulihat haidar melirikku, mungkin memastikan apakah aku sudah kembali pada diriku sendiri ataukah belum.
            “kamu kenapa?” tanyanya mencoba mengambil perhatianku.
            Jujur, saat itu aku benar-benar tidak tau apa yang sebenarnya kupikirkan. Kepalaku kacau. Karena sifatku yang memang terlalu pemikir, membuat masalah-masalah yang sebenarnya tidak terlalu penting ikut kalut di sana. Tentang apa yang akan kulakukan setelah kelulusan ini. Kuliah? Aku sudah hampir putus asa karena pendaftaran SNMPTN dan SP-PTAIN ku ditolak. Lalu kebimbangan apakah aku tetap di pesantren saja ataukah boyong? Dan lagi, perpisahan dengan Haidar. Aku masih belum yakin bisa berjalan sendiri tanpanya. Aku masih kejadian kemarin, saat ia ke Jakarta tanpa memberitahuku.
            “kamu dimana?” tanyaku. Padahal baru saja aku dapat kabar dari sahabatku kalau Haidar hari ini ke Jakarta untuk mengurusi regristasi penerimaannya di salah satu kampus negeri di Jakarta.
            Haidar diam. Tidak ada jawaban di sana.
            “kamu baik-baik aja kan?” Haidar malah balik bertanya.
            “kamu dimana?” kutanya lagi. Dalam hati, aku berharap kalau Haidar menjawabnya. Aku ingin dia bercerita yang sebenarnya padaku.
            “kamu gak papa?”
            “aku tau kamu dalam perjalanan ke Jakarta kan? kenapa gak bilang?”
            Ia diam lagi. Perasaanku sudah campur aduk. Kekhawatiranku semakin menjadi. Bagaimanakah dia? Apakah baik-baik saja? bagaimana jika terjadi apa-apa padanya?
            Tiba-tiba saja, aku terisak. Isakan yang langsung berusaha kusembunyikan.
            “aku gak mau seperti ini. Buat kamu khawatir.”
            Kembali pada Haidar dan aku yang berada di kelas.
            “yakin, gak mau cerita?” pancing Haidar.
            Aku menggeleng dan berkata, “aku harus berlatih untuk tidak bergantung padamu.”  Lalu tersenyum.
            Haidar membalas senyumku dengan ragu.
---***---
           Aku tengah berdiri di samping pintu ruang acara ketika kulihat semua panitia makan bersama seusai acara. Ah, masa-masa yang pasti kurindukan setelah ini. Melihat wajah tersenyum mereka membuatku ikut tersenyum. Kemudian aku melihat Haidar. Ada perasaan sedih yang menyusup diam-diam. Setelah ini, aku tak akan bisa melihatnya lagi. Kita tak bisa janji bertemu di perpustakaan dengan sesobek kertas lagi. Kita tak bisa berlomba-lomba berangkat pagi dengan manaruh bata di depan kelasnya lagi. Kita tak bisa bertukar karet gelang yang harus mengganti jika salah satu dari yang kita pakai putus. Kita tak bisa menyuruh yang lain untuk bertanggung jawab dalam mata pelajaran masing-masing lagi. Dia yang bertanggung jawab atas nilai bahasa inggrisku, aku yang bertanggung jawab atas nilai matematikanya. Kita juga tidak bisa tertawa bersama lagi. Kita tak bisa menyalahkan diri sendiri jika salah satu dari kita ada yang sakit. Aku juga tak bisa ia sembunyiin di balik tembok kelas lagi ketika ada guru yang lewat saat kelas sudah usai sedangkan ia masih ‘menyanderaku’ di sekolah. Ia juga tak bisa menggoda dan menjahiliku lagi. Tak bisa pula menitipkan sesobek kertas pada temanku yang berisikan ‘sandi’ yang sengaja ia buat khusus untukku katanya. Lalu berkata, ‘gak papa. Cuma seneng aja bisa liat kamu lagi’. Ah, aku bahkan tak bisa meyebutkannya satu persatu. Banyak kisah yang menjadi kenangan untuk diingat ketika bersamanya. Dan aku adalah orang yang paling sulit untuk melupakan kenangan.
            “Nafa! sini!” salah satu temanku memanggilku. Mengajakku makan.
            “iya, lanjutin aja!” balasku. Aku yang tak sadar jika Haidar sudah di depankupun membuat tertegun.
            “ayo ikut!” ajaknya.
            “gak usah. Makan aja dulu sana.”
            “ayo, kamu juga.”
            Aku tetap menolak. Seperti kehabisan kesabaran dan tak menerma penolakan, Haidar memegang lenganku, lebih tepatnya lengan bajuku dan menarikku. Mau tak mau akhirnya aku tergeret juga ke kerumuman. Teman-teman yang lain langsung memberikan space untukku dan Haidar. Karena tidak bernafsu makan, kujulurkan saja tanganku pura-pura mengambil nasi. Padahal aku tengah memperhatikan wajah-wajah yang setelah ini bakal jauh.
            Tiba-tiba, haidar menyenggol bahuku. Aku menoleh. Ia menjulurkan tangannya hendak menyuapiku. Aku langsung mundur.
            “kalau kamu gak makan, tanganku yang bakal datang.”
            Kupasang wajah cemberut padanya.
            “eh eh eh, kalian ini di tengah umum kok yaaa!” protes salah satu orang yang diikuti yang lain. Mendapati suasana yang tidak enak, ku serang ia dengan lirikan tajamku. Hebat sekali dia mengancamku dengan membuat orang lain salah paham. Jika kabar antara aku dan dia semakin parah, salahkan semuanya pada Haidar.
---***---

0 komentar:

Sabtu, 27 Oktober 2018

Dua Bulan Terakhirku di Malang (271018)

2 Bulan Terakhirku di Malang

Ah, pasti kau bertanya-tanya kan kenapa judulnya ekstrem banget? ^_^'
Enggak juga sih sebenernya, aku cuma ngadopsi dari film My Love from Another Star aja.
Selain itu, termasuk doa juga. Semoga ini adalah tahun terakhirku di Malang yang artinya kuliahku sudah selesai! Semoga. :)

Entah kenapa, tiba-tiba saja aku ngerasa kehilanga mood untuk menulis. Jujur kuakui, aku udah jarang sekali menulis, dan aku merindukannya. Seakan aku kehilangan diriku sendiri. :'(

Dulu, hampir gak pernah absen nulis di diary. Padahal masih pake bulpen. Sekarang, udah ada laptop malah manja diarynya gak pernah di isi. Maafin aku ya dry....

Makanya, ini blog daripada terabaikan juga, mending di isi dengan diary aja dah. Siapa tau aku bisa nemuin diriku lagi. Smoga.


0 komentar:

Selasa, 02 Oktober 2018

MA ato MTs?

"Jadi, kmarin ketemu sama pak Q dan pak A disuruh ngapain?" tanya pak M seraya menatap lurus mataku. Seperti tatapan cemburu seorang ayah ketika anaknya lebih akrab dengan ayah orang lain.

"Disuruh ngurusi buku puisi, sama manitiain acara di MA pak." jelasku.
"Selain itu? Gak disuruh hal lain?"

Disuruh apa? Batinku.
"Sama disuruh bina anak² yang suka nulis pak."
"Kalo disuruh ngisi kelas?"
"Masih belum pak. Saya gak dikasih tau kalau soal itu."
"Oh, ya udah." ucap pak M seakan terselip kelegaan di sana.

Kejadian hari ini mengingatkanku pada suatu perumpamaan. Ibarat yayasan adalah orang tuaku, sedangkan MA dan MTs adalah orang yang hendak memintaku. Seberapapun akrabku dengan MA, sedalam apapun aku ingin bersama dengan MA, bahkan MA adalah yang pertama memberiku amanah, jika MTs yang memintaku secara resmi ke yayasan, apalah daya MA yang hanya mengikatku tanpa pernyataan.
😔

Namun bagaimanapun, ini adalah pengabdian.
Bismillah... 🙏


0 komentar:

Selasa, 25 September 2018

MAKE UP MUSLIMAH




Sore tadi, aku telphon dengan ‘orang rumah’. Biasalah, curhat-curhat sambil berkeluh kesah tentang seluk beluk kehidupan kampus. Di tengah percakapan, ayah yang biasanya paling sedikit bicara, akhir-akhir ini menambah frekuensi bicaranya.
Ayah   : “sakiki Anna wes kudu mulai nggawe Make Up.” Sekarang, Anna harus mulai make Make Up.
Aku     : “damel nopo? Ngeten mawon lho mboten nopoo.”
Ayah   : “yo gak ngono. Moso teko Malang kaosan ambek rok dirangkepi training, totok omah. Nggaweo abang-abang iku lambene, wedakan, alisan, klambian sing apik, nggawe parfum.”
Aku     : “ngge mben mawon lek pon nikah…”
Ibu       : “niku lho ayah, lek pon nikah terose…”
            Rasanya bersyukur dibelain ibu. Hehehe
Ayah   : “yo gak ngono pisan,”
Aku     : “ayah, wonten Make Up mboten wonten tandingane blass. Merk terkenal, luar negeri, kalah sedanten.”
Ayah   : “opo?”
Aku     : “Make up yang lipstiknya dengan senyuman dan perkataan jujur, pemerah pipinya dengan rasa malu, bedaknya dengan air wudhu, bajunya dengan ketaqwaan dan parfumnya dengan akhlak yang baik. Itu sudah lebih dari cukup ayah…
Ibu       : “MAKE UP MUSLIMAH. Iya kan Anna?”
Aku     : “ngge buk! Betul sekali!”
Ayah   : “kalah wes lek diserang ibuk sak anake”
            Lalu kami tertawa.
Nah, dari cerita panjangku tadi, –padahal masih lebih panjang, hehehe- aku tak mau jelasin apapun. Karena aku yakin kalian sudah mengerti tanpa aku njelasin. Kalian tau kan, perempuan itu pengennya dingertiin? *lhoh, apaan sih! Hahaha
Pada intinya, boleh-boleh saja kita pake make up merk apapun. Pake perawatan A-Z atau skincare yang di beranda facebook udah kayak salon kecantikan (Hehe), karena pada dasarnya perempuan memang ingin cantik. Tapi jangan lupa juga, ada Make Up yang musti kita gunakan juga sebagai muslimah. Agar yang cantik gak hanya terlihat saja, tapi yang tak terlihat juga. Kecantikan sejati, hanya bisa dilihat oleh hati yang sejati juga. Jadi jangan bangga kalau ada kaum adam yang memuji kecantikanmu, karena mereka hanya mengagumi apa yang mereka lihat dari mata saja, bukan dari hati mereka.

Let’s be beauty with muslimah way! ^_^

0 komentar:

Kamis, 23 Agustus 2018

Kartu Ujian

"tau gak, aku habis kena hukum gara-gara ini!" adunya ketika jam istirahat. Ia menunjukkan kartu ujian diniyah kepadaku.

"lhah kok bisa?"

"ya aku lupa bawa. Ketinggalan di kamar. Dan akhirnya aku disuruh ngerjain di depan sendiri." Ia tampak menerawang kejadian tadi semalam. Aku terkekeh.

"ya salah sendiri gak dibawa. Klo ujian itu, kartu ujian harus dibawa. Ntr dikira kamu ilegal." balasku dengan bibir yang masih menyisakan senyum.

Tiba-tiba ia menyodorkan kartu ujiannya padaku. Aku bingung.
"lhoh, kok dikasihin aku?"
"iya, bawa aja."
"kenapa?"
"biar aku kena hukum lagi." Ia menjawab dengan wajah datar.

Aku menepuk dahiku pelan. 🤦🏻‍♀


0 komentar:

Rabu, 15 Agustus 2018

Gelang Karet

Saat itu, dia datang memakai karet gelang hijau dan merah di tangannya.

"ih, cowok masa pake gelang. Gelang karet lagi," cibirku dengan  memasang wajah jijik.

Dia terkekeh sebentar sebelum kemudian melepas 'gelang'nya. Aku lega karena dia sadar kalau 'pemandangan' tangannya akan terlihat aneh dibanding ketika memakai jam tangan.
Tapi, tanpa kusangka ia malah menyodorkan karet berwarna hijau kepadaku.
"kesukaanmu, warna hijau kan?" ucapnya. Sedangkan aku menatap bingung.

"maksud kamu, aku musti pake ini gitu?"

Dia mengangguk.

Aku ragu untuk menerima, tapi ia jelas tidak mau penolakan. Akhirnya, kuambil juga karet hijau itu dan memakainua di tangan kiriku. Sedangkan ia memakai yang berwarna merah.

"besok, kamu bawain aku yang warna ijo. Aku bawain kamu yang warna merah." bilangnya.

"trus, buat apa?"

"ya kita pake. Kalo karetku putus, kamu yang ganti. Klo karetmu yang putus, aku yang ganti."

Aku menelan ludah. Serius? Pake gelang kareet?!?!

Besoknya, aku benar-benar membawakannya karet gelang yang kudapat dari pembungkus nasi, begitupun dengannya. Lalu aturan pemakaian karet gelangpun terus berlanjut.


0 komentar:

Senin, 30 Juli 2018

Just (1)


Gadis itu menarik napas panjang lalu menatap pemuda yang berada di depannya, “lebih baik aku jauh darimu tapi bisa menjaga diriku daripada aku bersamamu namun harus menggadaikan kehormatanku.”
Pemuda itu tampak terdiam sejenak, seakan mencoba mencerna pernyataan yang baru saja ia dengar dan tidak pernah sedikitpun terbesit di hatinya.
“tapi bukankah kita memiliki rasa yang sama?” tanya pemuda itu seakan mengajukan banding.
“lalu?”
            Pemuda itu langsung membisu. Semilir angin menggerakkan poninya yang berantakkan ke arah samping. Terbesit harapan agar angin itu juga membawa kegelisahan hatinya menjauh. Ia benar-benar tidak bisa mengendalikan hatinya yang campur aduk. Menatap gadis yang berdiri di depannya saat ini saja mengacaukan pikirannya. Ia tak menyangka akan pernyataan dan pertanyaan dari bibir gadisnya ini. Gadisnya? Bolehkah ia menyebutnya gadisnya?
            “apakah tidak ada pilihan lain?”
Gadis itu menggeleng, “jika rasa yang kau miliki memang tulus, kau tak akan memintaku bersamamu dengan cara seperti ini.”
“lalu dengan cara seperti apa agar kamu percaya?”
Gadis itu dan si pemuda saling memandang. Tatapan mereka bertemu.
“maksudmu, aku harus….”
Gadis itu mengangguk, “tidak ada pembuktian cinta selain dengan pernikahan.”
Suasanapun hening kembali. Terdengar pemuda itu menarik napas dalam sedangkan si gadis tampak menatap kosong ke arah langit. Entah apa yang mereka pikiran, bukankah tidak ada yang tau bagaimana hati seseorang selain Tuhan?
Yah. Mungkin mereka tengah berbicara pada Tuhan. Mencari jawaban atas segala kebimbangan maupun meminta kekuatan atas segala keputusan. Siapa yang tau?

0 komentar:

Jumat, 20 Juli 2018

Hari Libur Ibu

"Aku klo pulangan gak ngapa-ngapain mbak. Bajuku yang nyuci juga ibuk," cerita si A dulu.

Aku dulu sempat berpikir, "ah, enak banget ya." Bayangin coba klo di rumah cuma makan, tidur, nonton tv, maen hape aja. Nikmat mana yang gak menggiurkan??
Soalnya ketika pulang, aku tidak pernah seperti itu. Malah kebalikannya. Semua pekerjaan rumah, diserahin padaku kecuali masak, bareng sama ibuk. Jadi bisa dibilang, pulangku bukan buat istirahat tapi pengalihan pekerjaan lain. 😅

Kembali pada temanku tadi.
Tapi setelah dipikir-pikir, ngerasa gimana gitu gak sih klo nganggur di rumah? Pas ibuk nyuci, malah nonton tv. Pas ibuk nyapu, malah maen hape di atas kursi.
Alasannya,
"Kan aku udah capek belajar terus di sekolah, makanya pas pulang ya aku mau istirahat".

Never mind if you want to take a rest and didn't do anything. But, pernah bayangin gak sih klo ibuk yang bilang mau istirahat?
Tiba-tiba pagi buta ibuk bilang,
"Nak, hari ini ibuk libur dulu jadi ibu ya." Kocak gak? 😆

Ayolaaaah. Entah kalian jadi siswa, mahasiswa, PNS, Tani atau pekerjaan apapun pasti ada liburnya. Tapi jadi ibuk itu gak ada liburnya coy!!

Masa iya, pas di rumah bukannya bantuin ibu malah nambahin pekerjaannya?

Pulang, itu bukan hanya untuk liburan dan menghibur diri sendiri. Tapi untuk memberikan waktu pada ibuk agar istirahat barang dua hari atau tiga hari. Toh setelah itu, apa mungkin kalian bakal bantuin? Enggak kan?

Maybe, ketika kamu di kampus atau di pondok yang notabennya kamu hidup sendiri, you can do anything you want. Mau nyucinya seminggu sekali kek, pake loundry kek, mau ngelipet selimut jam 12 atau jam 12 masih selimutan, whatever! It's your life. But if you in house, you are a son. You are a daughter. Kamu adalah seorang anak yang seharusnya bersikap seperti seorang anak.

Coba bayangin klo anakmu nanti ngelakuin apa yang pernah kamu lakuin sama neneknya, kan humoris banget! Tinggal bilang,
"Rasain tuh! Udah dibilangin!"
😁

Maafkan klo ngomongnya rada kasar. Kesel aja pas inget ada yang ngomong gitu dengan bangganya. Seakan dunia berkiblat padanya saja. Trus pengen nulis deh.
Hehehe

Ya udah, gitu aja.
Salam,
Siti Nur Jannah

Pasuruan, 200718


0 komentar:

Sabtu, 14 Juli 2018

SURPRISE TERBAIK





Sekitar jam 7 WIB

.Dad

            Begitulah nama yang muncul di layar hapeku. Kuangkat,

            “Assalamualaikum?”

            “wa’alaikumsalam. Anna yo opo?” suara ibu.

            “napane buk? Hehehe”

            “penelitian,”

            Mendengar kata penelitian, langsunglah cerita mengalir lagi dengan sendirinya. Padahal kemarin aku sudah menceritakannya, tapi entah kenapa aku bercerita kembali. Ah, semoga saja ‘dia’ yang nanti bersamaku tidak akan bosan mendengarkan ceritaku meskipun sudah kuulang berkali-kali. Bukankah suatu hal yang sangat membahagiakan dan menyedihkan kerap kali kita ceritakan berulang-ulang?

            “berarti dino iki Anna lapo?” tanya ibu.

            “balas dendam buk. Kulo mboten kajenge medal kamar pokoke!

            Yaps! Hari-hari kemarin dari pagi sampe ashar di kampus, trus langsung meroket ke TPQ sampe maghrib. Jadi hari libur adalah pembalasanku untuk tidak melakukan apapun.

            Ibuk tertawa. “iyo wes, minggu mene sido mole kan?

            “engge buk,” Adikku ada acara di sekolah, aku harus pulang. Aku tak mau ketinggalan momen penting dari keluarga. Setelah itu telphon ditutup.

           

Sekitar jam 10 WIB

            .Dad

            Ibuk telphon lagi? ada apa?

            “assalamualaikum, Anna?”

            “ayah? Wonten nopo?” ternyata ayah. Memang sih, ayah dan ibu hanya menggunakan nomor ayah jika menelponku karena nomor ibu jarang sekali di isi pulsa.

            “yo opo penelitiane?”

            “kulo pon cerios teng ibuk…”

            “ayah yo pengen ngrungokno teko Anna,”

            Aku tertawa kecil. Lalu akupun bercerita kembali.

            “yo wes, suwon ya Anna. Ati-ati, Assalamualaikum,” pamit ayah.


Sekitar jam setengah 2 WIB.

            .Dad

            Telphon lagi??

            “anna?”

            “ngge ayah?”

            “opo warung sing ndek mburine UIN sing enak  murah iku? Nelongso?”

            “ngge, nopoo?”

            “ayah kangen sambele nelongso,..”

            “ngge teng mriki taaaa!!! Mbenjeng lho, kale ibuk kale adek-adek…” ada sedikit paksaan di sana. Kalian tau kan, orang yang merindu itu bisa berubah ganas jika ingin bertemu. (Hehehe)

            “ngonoa?”

            “nggeeee!!”

            “iyo wes insyaallah, mene sore ya….”

            “nggeee!!!” semangatku.

            “langsung ngguyu-ngguyu ngonoe Anna,”

            “ngge seneng ta disambangi. Ayah kan ngge lami mboten teng Malang.” Jawabku dengan bibir manyun, meskipun ayah tidak bisa melihatnya.

            “iyo wes,”

            Telphon ditutup lagi.


Sekitar jam setengah 3 WIB.

            .Dad

            Telphon lagi??

            “anna?”

            “ngge?”

            “Ayah ndek Malang, mari mbenakno handycam. Ayok nang nelongso.”

            “LHOH!! Sakiniki?”

            “iyo. Iki wes ndek taman balai kota, kate nang Anna. Tak enteni ndek nelongso wes ya,”

            “saestu ta ayah?!! Kulo dereng ados….”

            “gak usah ados wes, ayah kesusu…”

            “tapi mbenjeng teng mriki male kale ibuk kale adek-adek ngge?”

            “insyaallah, tak enteni ndek nelongso ya…”

            Ada kebahagiaan sekaligus sedikit kekecewaan karena ibu dan adek-adek tidak ikut. Padahal dari dulu aku sangat ingin makan bersama di nelongso.

            Telphon mati lagi. Aku langsung lari ke kamar mandi, mandi. Masa iya mau gak mandi? Percayalah, jadwal mandi semakin lambat jika sudah liburan. hahahah


            Di Nelongso…

            Kutelphon ayah.

            “ayah teng pundi?”

            “ayah ndek ndukor, nggolek nggen.”

            Nyari tempat? Ngapain? Cuma berdua mah bisa dimana aja.

            “kulo teng ngandap,”

            Beberapa saat kemudian, ayah turun dari tangga dalam dan menyusulku. Aku langsung mencium tangan ayah dan kedua pipi. Namun belum selesai aku bersalaman, hal yang mengejutkan terjadi!

            “DORR!!!” aku melihat adekku yang laki-laki lalu adekku yang perempuan. Menyusul kemudian ada ibuuuuk!!! Ada anaknya paman yang sering diasuh ibuk semenjak ibunya meninggal dan anaknya pamanku yang satunya.

            Satu kata, SPEECHLESS!!! Aku gak bisa ngomong apa-apa!!! Saking terkejutnya dan gak bisa definisiin bagaimana rasanya, ditulisan inipun aku juga tidak bisa membahasakannya.

            “surprise jare ayah. Maeng gak oleh kondo-kondo lek ibuk ambek adek-adek melok.”

            Aku melirik ayah yang tersenyum sambil menggerakkan kedua alisnya sedangkan adek-adek tertawa keras seakan berhasil dengan rencana mereka. Aku?? Aku tak bisa bilang apapun. Kalian bisa membayangkannya sendiri jika mau. Bertemu dengan keluarga yang sangat kalian rindukan, bagaimanakah rasanya?!?!

            Sudahlah. Aku tak perlu panjang lebar menjelaskan perasaanku. Yang jelas hari ini, malaikat telah berhasil menyampaikan kebahagian dari Tuhan padaku.


Malang, 14 Juli 2018



*maafkan kalau bahasasnya kurang tertata atau kalang kabut, karena aku hanya ingin segera menuliskannya saja.


0 komentar:

Senin, 09 Juli 2018

Pengakuanku



            Ah, sudah lama rasanya aku memendamnya tanpa berani mengungkapkan. Bukan karena tidak mau, tapi aku takut membuatmu meresahkanku lagi. Dan aku tidak mau itu. Bukankah akhir-akhir ini hari-harimu lebih tenang? Maksudku, tanpa kehadiranku.

            Baiklah. Darimana aku harus berterus terang? Atau aku katakan saja tanpa perlu memikirkan?

            Cinta? Memang satu hal yang rumit bukan? Kau adalah orang yang mengenalkanku pada kata ‘cinta’ dan membantuku menyelami perasaan itu dengan segala kerumitannya. Tunggu, aku tak mau membahas masa lalu. Karena aku khawatir akan terjaga sepanjang malam, bahkan malam-malam setelah ini juga jika harus menceritakan kisah ‘kita’ dari awal.

            Aku masih ingat, saat kali kedua kau menelponku (karena yang pertama adalah ketika aku tengah menangis di kamar karena sebuah masalah. Maaf, karena membuatmu mendengar tangisanku). Kali kedua, setelah aku dan kamu berpisah jarak dan jarang sekali memberi kabar. Lalu kamu bercerita tentang kisah yang tlah lalu, bersamaku. Kau jelaskan jawaban dari setiap pertanyaan yang tidak bisa kutanyakan langsung padamu dahulu dan hanya kutulis dalam bukuku. Kau terangkan setiap kisah yang tersembunyi dari mataku, yang tak bisa kau ceritakan dahulu. Bahkan kau beberkan rasa cemburu yang kau pendam dahulu. Terbesit dibenakku,

Kenapa kau tidak mengatakannya dari dulu? Jika kau katakan, mungkin cerita kita akan berbeda.

Sandainya kau tau, itulah pengakuan yang selama ini selalu ingin kudengar dan kunantikan. Dan ketika itulah rasa itu muncul kembali. Seperti matahari yang tertutup kabut tebal, lalu kabut itu tersingkap dan matahari bersinar lagi dengan terangnya. Ia tak pernah hilang, hanya saja kupakasakan kabut untuk menutupnya lebih tebal karena aku juga tidak bisa mengatakannya padamu.

Setelah itu, entah bagaimana kisah kita mulai terukir kembali. Bahagia? Tentu saja. Tapi aku juga menangis. Tangis penyesalan karena pernah menyakitimu. Tangis penyesalan karena kenapa aku tidak lebih terbuka? Tangis penyesalan kenapa aku selalu memendam semuanya? Tangis penyesalan kenapa aku memilih diam dan menunggu? Tangis penyesalan kenapa aku tidak berani berbicara padamu?

Mungkin karena itulah jika kau dapati diriku yang berbeda, karena aku tak mau mengulang kebodohanku kembali. Aku harus belajar bukan?

Tapi ternyata menjalani kisah ketika angka depan umurku 1 dan 2 berbeda. Dulu, asalkan dengan kamu, sudah tidak ada yang aku pikirkan lagi. Namun sekarang, menjalani hubungan yang entah  aku tak tau apa namanya ini sangat menguras pikiranku. Rasanya ada perang besar di hatiku. Di satu sisi, aku bahagia. Tapi di sisi yang lain ada yang berbisik kalau ini tidak seharusnya aku lakukan. Aku bahagia, tapi Tuhan tidak suka. Allah tidak ridho. Itulah yang membuat diriku kadang tidak seperti di dunia, tapi dunia serasa menumpuk di pikiranku.

Itu juga alasan kenapa aku selalu memaksakan kepastian padamu. Tapi ternyata, kamupun tak bisa memastikanku. Seandainya kau tau, kalau aku lebih sering menyalahkan diriku sendiri daripada mencari pembenaran dari apa yang kulakukan.

Beriring dengan waktu, aku merasakan pengabaian. Seakan tentang ‘rasa ini’ hanya aku yang peduli. Lalu, tiba-tiba aku merasa menjadi parasit dalam kehidupanmu. Aku merasa menjadi duri yang datang kembali. Dan aku menyalahkan diriku lagi.

Mungkin kau telah memiliki pilihan lain, hanya saja kedatanganku membuatmu ragu. Hingga akhirnya kau bingung, dan aku membuatmu khawatir kembali. Karena itulah, aku memilih pergi. Bukan karna rasaku sudah hilang atau kau sudah tak berarti lagi, sungguh bukan. Tapi karena aku tak mau menjadi duri yang menghalangi jalanmu. Aku tak mau menjadi batu sandungan ketika kamu melangkah.

Izinkan aku pergi, dan kembali pada Tuhan. Maafkan jika selama ini, kehadiranku telah menjarakkanmu dengan Tuhan. Maafkan, jika waktumu tersita karena kedatanganku. Akan kupatahkan hatiku sendiri, lalu berserah pada-Nya. Ku ikhlaskan dirimu, seseorang yang telah lama bersemayam di hatiku. Tak perlu lagi kau khawatirkan diriku. Melangkahlah lebih jauh, aku tak akan menghambatmu lagi. Pergilah dengan pilihanmu yang lain, aku tak akan menarikmu lagi. Harapanku sudah kutitipkan pada Tuhan. Saat ini, akan kusembuhkan hatiku bersama Tuhan hingga nanti Dia akan memberiku penyembuhan dengan perantara seseorang yang halal. Meskipun masih terbesit seorang penyembuh itu adalah kamu, namun aku akan menghapusnya seiring waktu. Semoga.

Dan, aku mendoakanmu. Kamu orang baik, dan kamu berhak dapat yang lebih baik.  Doakan yang terbaik untukku, untuk ‘kita’.

Bismillah. Aku mengikhlaskanmu. ^_^



0 komentar:

Selasa, 03 Juli 2018

(Bukan) Cinderella - Kehilangan Bross


Hasil gambar untuk cinderella islami            
Pukul 15.30 WIB.
            Kulirik jam di handphoneku dengan gusar sebelum kemudian beralih pada pintu yang masih belum terbuka.
            “kenapa mbak?” tanya Lia, teman sekelasku.
            “udah setengah empat,”
            “mau ke TPQ ya?”
            Aku mengangguk mengiyakan. Mataku sudah tidak fokus antara jam dan pintu rumah ustadz. Hatiku juga tidak tenang, khawatir anak-anak sudah datang dan menungguku.
            Yah, beberapa saat yang lalu aku memang sepakat dengan Lia untuk ke rumah ustadz sebelum ke TPQ, silaturrahmi. Tapi siapa yang menduga kalau ternyata pintu tertutup saat aku datang. Biasanya pintu rumah ustadz selalu terbuka. Jadi aku dan Lia menunggu di depan pintu setelah menekan bel. Sekitar 15 menit aku menunggu, namun tidak ada jawaban. Aku mulai curiga.
            Tanpa pikir panjang, kubungkukkan badanku agar bisa mengintip ke dalam rumah. Tidak sopan memang, tapi masa bodo lah, keburu waktu. Di dalam rumah gelap dan kosong, seperti tidak ada penghuninya.
            “ada apa mbak?” tiba-tiba suara laki-laki mengagetkanku. Sontak langsung ketegakkan tubuhku kembali. Pura-pura tidak bersalah. Lia terkekeh pelan. Kubulatkan mataku padanya.
            “maaf mas, ustadz ada?” Lia bertanya pada laki-laki yang biasanya membantu ustadz.
            “tadi sudah dihubungi?”
            Aku menepuk dahiku. Bodohnya!!!
            Aku memang sengaja tidak mengabari ustadz karena selama ini saat aku ke sana, ustadz selalu ada. Jadi aku dan Lia langsung berangkat saja.
            Aku dan Lia saling bertatapan lalu tersenyum kuda. Masnya ikut tersenyum.
            “sepertinya keluar semua mbak. Mau saya telphonkan?”
            Lia menatapku, meminta persetujuan.
            “aku harus berangkat. Aku sendirian Li…” ujarku dengan wajah memelas.
            “gak usah mas, makasih. Kapan waktu kita ke sini lagi, insyaallah.”
            “oh, iya mbak.”
            Setelah masnya masuk, aku langsung memacu motorku ke TPQ. Aku gak mau membuat anak-anak menunggu. Karena aku tau, menunggu itu melelahkan. (Lhah, jadi curhat). Namun seberapa cepat aku pake motor, masih saja dikira lambatnya teman-teman. Pernah suatu waktu aku dibonceng temanku dengen kecepatan kuda. Sudah kubilang aku takut, malah semakin di gas. Jadilah aku menutup mata selama di jalan, dan kalian tau pas turun? Yah, tanpa sadar nangis! Malu? tentu saja.
            Ada sedikit kelegaan ketika gang TPQ sudah terlihat. Agar segera sampai, jadilah kutambah sedikit gasku. Dan tanpa kuduga, tasku putus dan jatuh di jalan dengan suara berdebum!! Aku kaget dan langsung menepi, sedangkan tasku tertinggal di belakang. Beberapa orang yang berpapasan denganku tadi melihat ke arahku ketika ta situ jatuh. Duh, malunya. Memang sih, ta situ memang sudah putus. Karena tidak ada jarum di kos, jadinya aku pake bross buat ngaitin talinya. Salahku juga karena semua keperluan TPQ tak masukin disitu semua. Mulai dari absen, jilid-jilid, berkas-berkas, buku syahriyah, notaris dan lain-lain. Sangkaku biar kumpul di tas kecil itu semuanya. Jadi kalau mau berangkat, tinggal ngambil tasnya. Gak perlu bongkar-bongkar lagi. Makanya meskipun sudah putus masih tak pertahanin. (Entah kenapa pas nulis kalimat sebelumnya kok baper ya. Hahaha).
            Ketika hendak mengambil tasku, dari kejauhan ada seseorang yang membawa tasku dan berjalan ke arahku. Setelah mendekat, ia memberikannya padaku. Entah kenapa rasanya seperti di sinetron-sinetron. Hahaha
            “ini mbak, tasnya,” ucap lelaki itu dengan tersenyum.
            “iya mas, makasih,” jawabku dengan tersenyum juga. Tersenyum malu sebenarnya.
            “lain kali hati-hati,” lanjutnya.
            Ah, modus lelaki. Pikirku. Aku hanya mengangguk pelan lalu berjalan menuju motorku. Tak cukup waktu untuk membetulkan tali tasku, akhirnya ke selipkan saja tasku dengan jas hujan lalu segera memacu ke TPQ.
            Mereka pasti menunggu.
            ***
            “gak usah lari-lari kalau pulang. Nanti jatuh!” teriakku saat anak-anak berdesak-desakkan di pintu musholla demi pulang duluan. Padahal siapa yang keluar dari pintu duluan tidak menjamin akan sampai di rumah duluan. Ah, entahlah. Aku dulu mungkin juga seperti itu.
            Teringat tasku yang putus, akhirnya kuperiksa keadaan’nya’. Benar saja, talinya putus. Tapi tunggu, brossnya mana ya?
            “ah, mungkin hilang pas jatuh tadi,” simpulku dan mulai bersiap-siap pulang setelah membereskan semuanya.
            Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu musholla, seakan pintu rumah saja.
            “assalamualaikum,”
            Aku mendongakkan wajah.
            “waalaikumsalam?” jawabku dengan wajah yang bertanya-tanya. Ada apa?
            “ini bross kamu ya?”
            “eh?”
            Aku mendekat dan memicingkan mata. Bross hijau dengan bentuk daun itu, memang milikku!
            “soalnya tadi saya nemu di jalan pas tas kamu jatuh tadi.”
            “i-iya mas, itu punya saya.”
            Untuk kesekian kalinya, ingin rasanya kubungkus wajahku dengan kresek hitam.
            “kok tau saya di sini?” tanyaku penasaran.
            Lelaki itu tersenyum. Senyum yang mencurigakan. Jangan-jangan……….
            “motornya. Saya tadi liat parkir di depan.”
            “oh,” aku tertawa aneh.
            Saat itulah aku berpikir. Mungkin bukan Cinderella saja yang harus kehilangan sepatu kacanya lalu menjadi cerita. Siapa tau nanti ada selain Cinderella yang kehilangan bross lalu menjadi cerita?
            Hahaha. Imajinasi liarkupun mulai kemana-mana. Sedangkan laki-laki itu sudah pergi dari hadapanku.

Malang, 03 Juli 2018

0 komentar: