Kamis, 14 Desember 2017

Kamis, 14 Desember 2017

ndang uruken arek-arek cek ndang mole!”
Bayangkan ketika kalian ngajar, tiba-tiba denger teriakan itu dari luar? Aku aja sampe mastiin berkali-kali apakah memang seperti itu kalimat yang dikatakan oleh ibu itu. Dan ternyata, memang itulah yang dikatakan. Tiba-tiba saja hatiku miris. Bagaimana mungkin si ibu tega mengatakan hal yang seperti itu?
Jujur kuakui, aku memang bukan orang situ. Aku hanya pendatang yang mengemban amanah untuk mengajar anak-anak mengaji. TPQ kita juga belum berbadan hukum karena kita masih mbabat alas. Apalagi aku juga berada di semester tua yang masih kalang kabut dengan kuliah. Tapi, mengatakan hal seperti itu apa tidak kejam?
Yaah, tapi mau gimana lagi. Kita juga tidak hidup sendirian. Ada yang suka, ada juga yang benci. Seandainya aku jadi ibu itu, bukankah merasa senang jika mushollanya dijadikan tempat ngaji?
Pernahkah kalian menjumpai tempat yang berisi anak-anak dalam keadaaan sepi? Kecuali tempat yang anak-anaknya tidur semua. Bukankah anak-anak memang identik dengan keramaian? Malah itu yang seringkali membuat kita merindukan mereka. Iya kan?
Nah, komentar jahat itu keluar karena anak-anak ramai. Bahkan tiap kali ngajar, pasti  diawasi terus. Kalau keliatan ramai sedikit langsung diparani dan anak-anak dimarahi. Bahkan kemaren anak-anak sampai nggerumbul semuanya di belakang saya. Ada yang langsung sembunyi juga. Gak cukup puas, pas kita pulang kadang ya dihadang. Astaghfirullah…
Ibu itu memang sangat perhatian sama kita.
Kalau boleh berpikiran jahat, mungkin si ibu tua itu tengah kesepian. Bayangkan saja dari pagi njaga toko depan musholla sendirian. Dari yang kutau, anak-anak beliau juga sudah dewasa dan berumah tangga semua. Makanya itu beliau mencari hiburan dengan berurusan sama anak-anak.
Aku jadi berpikir. Mungkin inilah yang membuat anak-anak yang sudah dewasa terkadang ragu untuk melakukan sesuatu. Karena dari kecil, ada orang dewasa yang seringkali membatasi kreatifitas mereka. Bukankah seharusnya kita membiarkan anak-anak yang memasuki usia ‘golden age’ untuk menjelajahi dunia mereka?
Kalau aku sih, oke oke aja mereka ramai asalkan masih dalam ranah wajar. Wong mereka lho gak sampai mecahin kaca musholla. Kalau mereka coret-coret tembok, mecahin kaca musholla, ngahancurin lantai musholla, baru tuh aku bakal marah besar. Selama mereka masih bermain dan ramai savety, biarin aja. Biarkan mereka survive. Dan lagi, kalau sampai bermain fisik dan berkata kotor, jangan ditanya deh. Langsung bertindak deh. Kalau dibilangin gak mempan, disamperin, tak pegang kedua tangan mereka, dan tak dudukin disampingku sampai ngaji selesai. Hahaha
Hukuman terberat untuk anak-anak itu bukan pukulan atau cubitan atau ocehan. Tapi ketika mereka tidak bisa melakukan apa yang mereka suka atau mereka inginkan. Itu adalah hukuman yang paling menyiksa. Jadi, kalau misalnya nih anak-anak kalian atau murid kalian gak nurut sama kalian, sita aja barang yang mereka suka. Misalnya mereka suka main tablet, trus disuruh sholat atau ngaji gak mau. Sita aja tabletnya tiga hari atau seminggu. Sepertinya hukuman itu lebih efektif deh, Hahaha
Lhoh. Ini tulisan kok jadi parenting ya. Padahal niatnya tadi curhat. Hahaha
Yaaah, intinya empati aja deh. Gak perlu nyalahin ibu itu juga. Mungkin niatnya baik, tapi kita yang masih belum tau. Terkadang saya juga kuwalahan ngadepin anak-anak, tapi anak-anak yang ramai itu bukan nakal. Mereka hanya berjiwa bebas. Dan kita gak bakal tau kan anak yang ‘berjiwa bebas’ itu bakal terbang setinggi apa?

So, sabaaar, ikhlaaas. Insyaallah akan ada hasilnya kok. Karena anak-anak lebih mengenal bahasa kasih sayang daripada bahasa yang lainnya. ^_^


Nur Jannah, S
141217

0 komentar:

Selasa, 12 Desember 2017

Teruntuk Adik-Adik Tingkatku

Teruntuk adik-adik tingkatku yang manis.

Alhamdulillah, hari ini kalian sopan sekali ya. Sampai saya terkejut dan serasa pengen ngambilin kitab akhlak.
Kalian sangat peduli sekali sekali sama nilai, sampai dibelain rombongan ke asisten buat ngambil laporan. Saya kira tadi kalian mau ngajak aksi bela Palestina.
Saya terharu, kalian sampe nunjukin jari telunjuk kalian yang ternyata masih bisa lurus dan berbicara dengan nada tinggi. Semoga saja jari kalian tetap lurus ya. Sepertinya kalian mesti ikut paduan suara deh. Jika suara tinggi kalian tidak dimanfaatkan, kan sia-sia. Iya nggak?

Adik-adik tingkatku yang lugu.

Kita tau, kalian diam-diam membicarakan asisten di belakang. Iya kan?
Mau kukasih tau rahasia?
Ngurus proposal, revisi, laporan PKL dan hal lain di luar kampus aja udah melelahkan, buat apa kita nambah beban dengan ngurusi praktikum kalian?
Tapi sebagai kakak tingkat, kita juga mikir. Kasihan juga kalian praktikum tanpa ada yang ngedampingi. Apa perlu tahun depan kita usulkan praktikum tanpa asisten aja?

Jadi asisten itu gak mudah dek. Gak senganggur yang kalian kira. Kami mesti preparasi bahan-bahan kalian dan melakukan semua percobaan sebelum kalian praktikum. Jika ada yang tidak berhasil, kita harus mengulang dan menganalisa kira-kira apa yang membuat percobaan tidak berhasil. Setelah itu kita juga mesti nyari penyelesaiannya. Udah segitu aja? Enggak.
Waktu praktikum yang bisa kita gunakan untuk mengerjakan hal-hal lainnya, kita ikhlaskan untuk kalian yang terkadang praktikum seperti maen-maen. Jika ada kesalahan praktikum, siapa yang disalahin? Asisten. Jika praktikan rame, siapa yang disalahin? Asisten.
Selesai praktikum, kalian bisa santai. Tapi tidak dengan asisen. Kita mesti ngoreksi pre-tes dan laporan kalian yang ngerjainnya ngasal pokoknya ngumpulin.
Tulisan kalian yang bagus seringkali membuat kita ber-istighfar. Apalagi bakat mengarang kalian yang sepertinya bisa aja nyandingi Habiburrahman. Sebenarnya bisa saja kita memberikan nilai sekenanya agar laporan kalian segera dinilai. Tapi bukankah terlalu kejam jika tidak melihatnya satu-persatu? Jadilah kita berusaha menahan diri untuk tidak membanting laporan kalian yang isinya ngawur. Kita mengusahakan untuk memberikan apresisai nilai buat usaha kalian. Tapi jika nilai kasih sayang kita memang tidak sebanding dengan kengawuran kalian, mau gimana lagi?
Pas tau nilainya jelek, yang disalahin juga asisten. Bilangnya ngerjainnya sampai berdarah-darahlah, udah nyari dimana-mana gak ketemulah. Kalau emang gak ada, tulis aja gak ada. Gak usah ngarang trus ngambil daftar pustakanya orang dek. Daripada ngambil nama pengarang buku yang di dalamnya tidak ada tulisan yang kalian jadikan rujukan, mending rujukannya nama kalian aja sendiri deh. Misal, (Jannah, 2017). Kan lebih keren. Iya nggak?

Yang disalahin siapa? Asisten lagi.
Subhanallah. Kalian memang semangat sekali memperhatikan kami dek.

Teruntuk adek-adek tingkatku yang lucu.
Tahun depan, jangan daftar asisten ya dek. Meskipun dipaksa jangan deh. Kami khawatir nanti adik-adik kalian juga memperlakukan kalian seperti kami. Malah lebih parah.

Salam.

Asisten terjahat kalian.

2 komentar:

Sabtu, 09 Desember 2017

Hujan dan Lampu

Hasil gambar untuk hujan malam
Tiba-tiba terbangun tengah malem, trus denger hujan deres gitu mungkin kita mikirnya sama.
“ah, hujan ya.”
Trus tarik selimut lagi dan memejamkan mata. Tapi beda ceritanya kalau hujan deres dibarengin sama mati lampu! Jantung langsung dag dig dug gak karuan. Mau mejamin mata niat tidur, eh malah matanya aja yang terpejam tapi tubuhnya sadar sepenuhnya. Mau bangunin mbak-mbak, kok ya tega banget nyari teman sengsara. Hahaha
Tapi Alhamdulillah, beruntung sekali. Setelah hampir satu jam setengah bolak-balik badan, utek-utek hp akhirnya lampu nyala. Rasanya ingin melonjak girang! Sepertinya Tuhan menjawab rintihanku. Thanks God. Gak ada yang paling TOP MARKOTOP selain Engkau deh. ^_^ Jangan-jangan, ini siasat agar aku menyapa Engkau lebih awal ya?
Ke-PD-an banget. Hehehe
Dosa aja 7kali lipat gunung Everest, mau berharap lebih dekat. :’D

Dari sini aku belajar beberapa hal.
Saat diberi ‘hujan deras’ ketika siang hari, kebanyakan kita menggerutu karena tidak bisa melakukan aktivitas yang direncanakan. Seringkali bukan ada kata-kata, ‘kejebak hujan’? Seakan hujan adalah hal buruk yang tidak kita inginkan. Dan ketika malam hari, kita bersyukur karena hujan dapat membuat menarik selimut lebih dalam dan tidur lebih nyenyak.
Pernah kah kalian berpikir arti hujan dari sudut pandang orang lain yang tidak seberuntung kalian?
Bagi mereka, bisa jadi hujan di siang hari adalah anugerah. Mereka bisa mandi secara gratis tanpa harus membayar tagihan air. Mereka bisa minum air bersih tanpa harus membeli air minum atau madahi air ke botol dari sungai yang sudah bekas apa saja.
            Untuk mati lampu, sebenarnya banyak hal yang diisyaratkan jika saja kita mau sedikit memikirkannya. Hanya saja, sebagian besar dari kita termasuk saya lebih memilih menggerutu dan menyalahkan kenapa lampu harus mati daripada termenung dalam kegelapan. Right?
Tapi jujur, saya memang takut gelap. Bahkan tidurpun, lampu wajib nyala. :D

Balik lagi.
Nah, dari kegelapan itu aku mendapatkan sesuatu. Ketika mata kita terpejam, bukankah kita mendengar lebih banyak? Mungkin jika kita mematikan lampu-lampu kemerlap dunia, hati kita akan mendengar lebih banyak. Tidak berlomba-lomba memasang tiang lampu paling tinggi agar kemilau mereka lebih terlihat dibandingkan yang lain. Sedangkan mereka yang bahkan lampu saja tidak punya dan nunut cahaya dari mereka yang memiliki lampu, semakin tenggelam dalam kegelapan karena sang pemilik lampu semakin meninggikan tiangnya.
Saat ini, siapa yang tidak ingin terlihat lebih terang? Siapa yang tidak ingin terlihat menonjol? Siapa yang tidak ingin menjadi pusat perhatian?
Hasil gambar untuk gambar tiang lampu jalan malam
Karena terlalu buta dengan bagaimana pandangan orang lain terhadap kita, kita jadi lupa kalau kita juga harus memperhatikan orang lain. Bukan, bukan mereka yang memiliki tiang lebih tinggi. Tapi mereka yang meringkuk kedinginan tanpa seberkas cahaya. Jadikan mereka yang memiliki tiang lebih tinggi dengan banyak lampu sebagai motivasi. Namun, buatmu….
Rendahkan tiangmu, dan menyalalah lebih terang. ^-^

Sekian.

Nur Jannah, S
081217

0 komentar:

Jumat, 08 Desember 2017

Melepasmu

Hasil gambar untuk gambar burung merpati terbang
“akui saja, kamu terluka kan?” tanya –reka- kak Alfan yang langsung membuatku terdiam dan menghindari tatapannya yang seakan menuduhku. Ia menatapku seperti seorang pembohong.
“aku baik-baik saja kak. Ini keputusanku. Bukan, ini keputusan kami.”
Kami? Sejak kapan aku dan dia menjadi kami? Sejak pertama kali ia menitipkan salam padaku dari seorang teman, ataukah sejak hati saling berpaut tanpa menegaskan ‘kau milikku dan aku milikmu’? Aku penasaran, sejak kapankah dua orang yang saling merasa bisa menjadi kami? Jika kata kami hanya untuk mereka yang telah mengatakan ‘Aku cinta padamu, aku menyukaimu dan aku menyayangimu’, berarti aku dan dia tidak pantas menyandang kata kami. Karena aku ataupun dia tak pernah mengatakannya. Tapi kenapa dengan cerobohnya aku menggunakan kata itu?
“aku tau kamu tidak baik-baik saja. Mulutmu menghianati hatimu, dan akalmu memaksa hatimu untuk mengikuti yang kau katakan. Jika terus-terusan seperti ini, tubuhmu yang bakal menunjukkan yang sebenarnya. Kalau kamu, terluka.” Kak alfan menekankan kata ‘terluka’.
Aku tertunduk. Kak alfan benar. Sejak tadi pagi, tiba-tiba lambungku kambuh. Sakit sekali hingga aku melipat tubuhku seraya merintih. Dokter yang menyarakanku untuk tidak terlalu kelelahan dan kepikiranpun jadi teringat. Apa ini protes tubuhku?
Ku hela nafas dalam.
“terkadang, aku juga bingung kak kenapa rasa ini bisa bertahan. Selalu muncul pertanyaan kenapa dan bagaimana? Aku tidak pernah meminta agar perasaan ini tetap ada. Apa mungkin Tuhan yang menjaganya untukku? Ataukah dia yang meminta Tuhan agar perasaan ini tetap ada? Kata mereka, bertemu adalah salah satu jalan agar cinta dapat terjalin. Tapi kita bahkan tidak pernah bertemu. Bagaimana mungkin rasa itu tetap ada?”
“kalian bertemu. Dalam doa. Kamu masih mendoakannya kan?” Sela kak Alfan.
Doa? Mungkin saja. Kebiasaan doaku sejak dulu, membuatku sulit menghilangkan namanya meskipun dengan sadar. Jadi kubiarkan saja doa itu mengalir. Toh, tidak ada ruginya mendoakan orang. Iya kan? Tapi, apakah dia juga mendoakanku?
Kak alfan mebenarkan posisi duduknya.
“aku ingin tau. Apa sebenarnya yang membuatmu menyukainya. Jujur.”
“eh?” pertanyaan kak Alfan membuatku terkejut. Aku memutar otakku, mencari-cari aspek-aspek pada dirinya yang membuatku melabuhkan rasa. Tapi semakin mencari, aku malah tidak menemukannya. Apa yang membuatku menyukainya?
Kak alfan masih menunggu jawabanku.
“saat kamu menyukai seseorang, kamu harus punya alasan kenapa kamu menyukainya.”
Benarkah? Jika kita menyukai seseorang karena alasan, jika alasan itu hilang, bukankah hilang juga rasa itu?
“alasanku menyukainya karena tidak ada alasan. Jika aku menyukainya karena kelebihannya, jika kelebihannya tidak ada rasa suka itu akan menghilang. Dan jika aku menemukan keburukannya, rasa itu akan beralih menjadi kebencian. Selama ini, aku menemukan beberapa kelebihannya yang membuat rasaku semakin bertambah. Aku juga menemukan kekurangannya yang membuatku tidak suka. Tapi aku tidak membencinya. Tak terhitung berapa kali aku merasa tersakiti dan bahagia bergantian. Bukankah seharusnya aku lelah dengan itu? Tapi entahlah. Rasa itu tetap ada, tanpa alasan. Aku hanya percaya padanya. Hati ini, mempercayainya. Dekat dengannya dapat menambah kedekatanku dengan-Nya juga.” Pikiranku memutar kisah yang pernah ia torehkan di atas kertasku. Mengingatnya saja membuatku tersenyum sendiri jika itu kisah indah. Jika kisah yang memalukan, ingin rasanya kuputar waktu dan menggantinya dengan kisah yang lebih ‘wajar’. Dan jika teringat kisah yang membuatnya terluka, kutundukkan wajahku menyesal. Sepertinya semua lukanya adalah salahku. Aku yang telah menghilangkan senyum di wajahnya dan mengusik ketenangannya bersama Tuhan.
Kak alfan menarik satu ujung bibirnya.
“rugi sekali! Ia telah kehilangan orang yang tulus menyayanginya.”
Kuangkat wajahku. Tulus? Bagaimanakah sebenarnya perasaan yang tulus itu? Jika memang seperti yang kak Alfan duga dari setiap ceritaku, berarti…..
“tidak kak. Bukan dia saja yang kehilangan orang yang tulus menyayanginya. Tapi aku juga kehilangan orang yang tulus menyayangiku.”
“jika kalian saling kehilangan, kenapa saling melepas?”
“karena kami tau, bukan begini jalan yang diridhoi Tuhan.”
Kak alfan tersenyum.

***

Siapa tau jalan yang ditentukan oleh Tuhan?
Perkara melepaskan adalah hal yang paling sulit. Apalagi jika yang dilepaskan telah saling melekat dalam hati. Yang melepas masih tersisa tentangnya, dan yang dilepas juga tidak utuh karena masih ada bagian dari dirinya yang tertinggal di hati seberang. Jika seperti itu, basuh dengan kasih Tuhan. Ikhlaskan dirinya pergi dengan keutuhan. Jangan egois dengan mengambil sebagian dari dirinya. Biarkan ia terbang tinggi layaknya merpati yang tak pernah lupa jalan pulang. Jika memang kamulah tempat kembalinya, kalian akan bertemu kembali. Kita akan bertemu kembali.
Jika ternyata bukan aku tempat kembalimu, semoga kau menemukan tempat kembali yang jauh lebih baik. Doakan saja agar rasa tentangmu segera menghilang. Aku tak ingin menghianati ‘imamku’ kelak. Pernah menyayangimu sedalam ini, membuatku merasa bersalah padanya.
Bukan hanya aku saja yang tersakiti. Iya kan? Tapi kamu juga tersakiti. Karena itulah seharusnya sejak dulu kita melakukan hal ini. Mengikhlaskan. Mari saling percaya, jika skenario Tuhan lebih indah. Entah untuk kita atau masing-masing dari kita.

Jaga diri, dan tetap menjadi yang terbaik dan lebih baik lagi. ^_^

0 komentar:

Rabu, 06 Desember 2017

Krisis Identitas

Hasil gambar untuk krisis identitas
Aku heran. Apakah seseorang dinilai berdasarkan dimana ia tinggal?
Jika ia tinggal di pesantren, panggil mereka ‘anak pondok’. Kalau tinggal di kos/kontrakan, panggilnya ‘anak kos’. Kalau di rumah, jadi ‘anak rumah’. Kalian ngerasa gak sih kalau sebenernya kalimat-kalimat itu dapat memberikan sekat?
Wong sapi yang tinggal di ladang atau di kandang aja, mereka gak dapet sebutan ‘sapi ladang’ ato ‘sapi kandang’. Iya nggak?

Seperti yang kualami saat ini. Dua bulan yang lalu, aku masih mendapat gelar ‘anak pondok’. Gegara pindah ke kos (jangan tanya kenapa aku pindah, karena that’s my choice. Dan aku yakin ini yang terbaik), jadilah labelku sekarang ‘anak kos’. Sebenarnya aku tidak terlalu memikirkan, toh hanya sebutan. Tapi, aku jadi bingung ketika ada yang bilang,
Mbak Anna iki arek kos, tapi koyok arek pondok. Aku sing arek pondok, malah koyok arek kos.
Lhah, kan saya jadi krisis identitas. (hahaha)

Memang benar. Kebanyakan dari kita sering kali menilai seseorang hanya dengan mata telanjang. Kalau anak pondok, pikirannya yang bagus-bagus. Kalau anak kos, pikirannya yang gak bagus amat. Kalau anak jalanan, pikirannya yang jelek-jelek deh. Apalagi kalau denger ‘anak punk’ atau ‘anak tril-trilan’, pikiran tambah jelek kuadrat deh!
Iya nggak?
Dari ini aku belajar.
Boleh jadi seseorang tinggal di tempat yang berbeda-beda. Tapi satu yang tidak bisa berubah, “karakter”.
Misalnya seseorang tinggal di kos atau kontrakan, tapi kalau dia memiliki ‘karakter santri’, siapa yang tau?
Atau seorang guru yang mengajar di sekolah, tapi juga giat dalam membuka usaha. Bukankah beliau memiliki karakter pengusaha?
Atau seorang pengamen yang paginya mengamen di lampu merah sedangkan kalau malam membantu anak kampungnya belajar membaca, bukankah ia punya karakter pendidik?

Emang fungsinya istana sama gubuk apa sih? Sama aja buat berlindung dari hujan dan panas kan?
Jadi, berhentilah menilai seseorang dari tempat dimana ia tinggal. Tapi nilailah dari cerminan kehidupan yang ia lakukan.
Wong sapi aja gak dibedakan berdasarkan mereka tinggal dimana kok. Masa manusia yang punya akal masih mbeda-mbedain orang?

Sekian.

Salam.
Nur Jannah, S

061217

0 komentar:

Selasa, 05 Desember 2017

Pasir dan Langit




ISTIRAHAT
PERPUSTAKAAN

Begitulah tulisan di atas sobekan kertas yang tadi pagi diberikan Saidah. Dari siapa lagi kalau bukan Haidar? Seorang sahabat ‘gila’ yang semakin lama semakin menularkan ‘kegilaannya’ padaku.
Ku saut dua buku yang tak pernah absen di tanganku. Satu buku Diary, dan satu buku yang berisi tulisan-tulisan, baik cerpen ataupun novel yang masih OTW. Maklum, di pesantren akses dengan computer atau barang-barang elektronik lainnya terbatas. Jadi hanya pena dan kertas yang menjadi wadahku meluapkan segala emosi.
“Naf, mau kemana??” seorang teman mencolek bahuku. Aku langsung berjingkat. Jujur, sebisa mungkin aku tidak melakukan kontak fisik kecuali dengan teman sejenis dan keluargaku.
“Kebiasaan! Gak usah pegang-pegang kenapa sih!” Hardikku.
Zainal, teman seperjuangan organisasiku, memasang wajah meminta maaf. Aku luluh.
“ada apa?” tanyaku dengan alis yang hampir bertemu, masih kesal.
“temenin minta tanda tangan kesiswaan ya buat proposal acara Diklat Jurnalistik?”
Aku langsung menghela nafas.
“sendirian emang gak bisa?”
Zainal memamerkan deretan giginya layalnya iklan pasta gigi. “gak berani.”
Aku mendengus dalam hati. Jujur, zainal memang memiliki rasa tanggung jawab yang gak diragukan lagi. Tidak salah jika kakak senior memilihnya sebagai ketua KIR laki-laki. Tapi satu kelemahan zainal, ia kurang piawai ngomong dengan lawan bicaranya, apalagi di depan umum. Mungkin inilah niatan kakak senior mendampingkanku yang bisa dibilang ‘banyak kata’ dengan zainal yang ‘tanpa kata’ untuk mengatur masa depan organisasi. Tapi sepertinya akhir-akhir ini zainal sudah mulai terbiasa ‘berbicara’. Mungkin karena setiap kali kumpul hari jumat, aku selalu memaksanya bicara di depan junior-junior kita. Awalnya ia menolak, tapi sepertinya kegalakanku lebih menyeramkan dibanding melawan kekalutannya menatap mata anak-anak.
“gak mau. Berangkat aja sama Ilyas.” Ilyas sekretaris KIR.
“ilyas gak bisa. Sama kamu ya? Ayolaah.” Zainal memelas.
“gak mau, berangkat aja sendiri! Aku juga ada perlu.” Tolakku. Aku hanya ingin zainal bergantung pada dirinya sendiri dan melawan ‘phobia’nya bertemu dengan orang. Selain itu, bukankah aku memang ada perlu? Yah. Haidar mungkin telah menungguku di perpus.
***
Tidak ada satu kepalapun yang kujumpai ketika sampai di pintu perpus. Mungkin Haidar masih ke asramanya sebentar. Entah untuk mengangkat nasi yang sudah masak, atau memidahkan jemuran yang sudah kering.
Tujuan pertamaku ketika memasuki perpus adalah tumpukan Koran di atas meja. Apalagi hari ini hari minggu, selalu ada rubrik special tiap hari minggu seperti cerpen, opini dan zodiac terkadang. Namun yang menarik perhatianku hanyalah kolom cerpen. Sambil melihat kolom itu, aku selalu berharap, nanti namaku yang akan ada di sana.
“Fakhirah, apa kabar?” sapa bu Susi, penjaga perpus yang sepertinya sudah hafal denganku.
“Alhamdulillah baik bu. Baru dari ngajar?”
“iya. Dari SMK kelas otomotif, isinya cowok semua. Ramenya masyaallah deh.” cerita bu Susi. Aku tergelak. Padahal hatiku terkagum dengan sosok pejuang ilmu. Kelak, aku ingin menjadi seperti mereka.
Kualihkan pandangan pada bukuku saat bu Susi juga terpaku di depan komputer perpus.
Jam 09.55 WIB
Waktu istirahat tinggal lima menit lagi, dan Haidar belum datang. Padahal aku sudah menulis sekitar 5 halaman.
Kemana sih nih anak! Ngajak ketemu di perpus, tapi dianya gak dateng-dateng! Awas aja kalo sampe ketemu! Jadi bubur, jadi deh!
Gerutuku dalam hati. Daripada telat masuk kelas, lebih baik aku balik saja. Biarkan Haidar mendapati perpustakaan yang kosong kalau dia benar datang. Kuangkat tubuhku beranjak dari tempat duduk yang sudah seperti bangku keduaku setelah bangku kelas.
Bu susi melemparkan senyum. Kubalas dengan senyum yang sedikit terpaksa. Jujur, aku merasa kesal. Bukan karena tidak bisa bertemu dengan Haidar, tapi karena ia yang tidak menepati janji. Keningku langsung berkerut ketika sepatuku yang tadi berada di depan pintu lenyap entah kemana. Hanya ada sepasang sepatu milik bu Susi, dan sepasang sepatu lain milik Liana, teman sekelas Haidar yang barusan masuk perpus.
Kuedarkan pandanganku menyapu sekeliling, namun nihil. Sepatuku seakan dimakan angin. Tiba-tiba saja aku terpikir kejahilan seseorang. Namun, bukankah kurang baik jika menuduh tanpa bukti?
Akhirnya ku tegaskan dugaanku dengan meminta pernyataan bu Susi yang sedari tadi berada di depan meja. Pasti beliau bisa melihat siapa saja yang melewati depan atau pintu perpus.
“Kenapa Nafa?” tanya bu Susi seraya menahan senyum. Peka sekali. Beliau seakan tau kalau aku tengah mengalami ‘pencurian’.
“sepatu saya gak ada bu. Bu susi tau?”
Aneh memang menanyakan sepatu pada gurunya sendiri. Namun, bukankah bertanya lebih baik daripada tersesat?
“coba cari lagi.” Bu Susi semakin menahan senyum. Entah kenapa perasaanku berkata, kalau Bu Susi tau sesuatu.
“Haidar ya bu?”
“ya nggak tau.” Bu Susi langsung tertawa.
Apa bu Susi menertawakan ‘kesengsaraanku’? Sungguh tega sekali. Tapi aku yakin, ini pasti ulah Haidar. Akhirnya kutanyakan pada Liana, apakah melihat Haidar? Amarahku semakin memuncak ketika mendengar kalau ternyata Haidar berada di kelasnya. Tidak salah lagi, tersangka pencuri sepatuku adalah Haidar. Siapa lagi?
Kupinjam sepatu Liana untuk ‘melabrak’ Haidar. Dia akan kutangkap!
***
“balikin nggak!” teriakku di depan kelas Haidar. Ada beberapa mata yang tampak memperhatikan kami. Siapa peduli? Aku malah berarap Haidar di massa. Biar saja. Bukankah ‘pencuri’ memang harus di adili? Tidak sekali ini saja dia ‘mencuri’ barang-barangku. Tak tehitung berapa kali ia tiba-tiba mengambil diary dan buku-bukuku, secara terang-terangan di depanku.
“gak ada di aku.”
Permainan kata. Aku sudah hafal.
“iya memang gak ada di kamu, tapi kamu yang naruh di tempat lain kan?”
“bukan di aku.”
“iyya, aku tau! Cepet kasih tau dimana kamu nyembunyiin sepatuku!”
Setelah ini kelasku waktunya pak Imron, guru paling ditakuti se sekolah. Dan aku tak mau disambut ‘semburan’ pak Imron karena telat masuk kelas.
“duuuh, Nafa sama Haidar tiap hari makin lengket aja.” Celetuk sebuah suara yang aku gak tau siapa, dan disambut dengan ‘ciyeee’ dari mulut-mulut yang lain. Jika saja aku tidak dalam keadaan terdesak, aku pasti akan melakukan pembelaan. Tapi aku tidak punya waktu untuk itu. Bel istirahat usai telah berbunyi beberapa saat lalu, sedangkan Haidar masih ‘kukeuh’ dengan kejahilannya meskipun teman-teman yang lain menyuruhnya memberikan yang kuminta. Akhirnya, jurus terakhirku keluar.
Memelas.
“kumohoon. Ini sepatu Liana, aku harus segera mengembalikannya. Sekarang aku waktunya pak Imron.” Kutundukkan wajahku lesu. Cara ini berhasil.
Haidar berjalan menuju tong sampah biru depan kelasnya dan memasukkan tangan ke sana. Saat Haidar mengeluarkan sesuatu dari sana, aku langsung menaikkan suaraku satu oktaf.
“Sepatuku, kamu taruh di tempat sampah!!!”
Haidar tertawa bangga karena berhasil menjahiliku untuk kesekian kalinya.
“siapa suruh nulis sampek gak liat kalau aku dateng ke perpus tadi. Ini pembalasan dendam.”
Dasar pendendam!
Ingin rasanya kukatakan itu padanya. Tapi kejahilan akan terus berlanjut jika aku tidak mengaku kalah.
“maaf, kamu tidak menegurku. Sekarang, sepatuku?” ku tengadahkan tanganku di depannya.
“balikin dulu sepatu Liana, tak bawain sepatu ke perpus.”
“serius?”
Aku ragu.
“janji, beneran gak bohong.” Kekunci mata Haidar. Ia serius.
“baiklah. Jika kamu bohong, kakimu yang bakal jadi korban.” Bagaimanapun aku juga merasa bersalah karena tidak menyadari kedatangannya tadi. Aku memang sering lupa waktu dan tempat kalau udah megang pena dan kertas.
Aku berjalan menuju perpus dengan Haidar yang berada beberapa langkah di belakangku.
“sudah ketemu yang ngambil naf?” Sambut bu Susi sambil tersenyum. Entah kenapa aku curiga bu Susi juga berperan dalam kejahilan Haidar.
“sudah bu.”
Ku ucapkan terimakasih pada Liana lalu menghampiri Haidar yang menunggu di depan pintu. Haidar tersenyum mencurigakan.
Benar saja. Kejahilannya masih belum sampai ekornya.
“mana sepatuku? Katanya mau kamu bawain ke sini!” Aku naik pitam untuk kesekian kalinya dalam kurun waktu kurang dari satu jam.
“aku bilang akan membawakanmu sepatu, bukan sepatumu.”
Tuhan, sabarkanlah hati ini.
Haidar melirik sepatunya dan melihatku padaku.
“jangan bilang…..”
“iya. Pake sepatuku.”
“yang bener aja! Sepatu kamu gedhenya dua kali kakiku!”
“kalau gitu ya gak usah pake sepatu. Orang aku berniat baik kok.”
Berniat baik apaan!!
“baiklah. Aku pake sepatumu.” Ucapku menyerah. Entah kenapa, Haidar selalu bisa memaksaku untuk menuruti kemauannya. Dan itu membuatku kesal.
Haidar melepas sepatunya dan mengeluarkan kakinya yang tidak berkaos kaki dan menginjak tanah.
“lhoh, kamu…”
“pake sepatuku, ato sepatumu gak bakal balik.”
Aku memegang kepalaku yang pening dengan tingkah Haidar. Bagaimana mungkin aku bisa bersahabat dengan orang se’gila’ ini??
Kakiku langsung tenggelam di sepatu Haidar. Saking besarnya, hingga jalanpun aku harus menyeretnya. Jangan bertanya apakah ada yang memperhatikan kami? Banyak!! Ada yang melihat aneh, ada yang tertawa dan adapula yang main ‘ciyee ciyee’. Oke fix! Hari ini, Haidar sudah mempermainkan emosiku. Namun langkahku langsung terhenti ketika melihat seseorang yang berada di antara teman sekelas Haidar, yang tengah bercengkrama di depan kelas mereka.
Fatih. Seseorang yang dengannya aku dan dia pernah menjadi ‘kita’ dan merangkai kisah bersama. Sudah sekitar dua tahun yang lalu, namun tak bisa kupungkiri kalau namanya masih memenuhi diaryku.
Tak sengaja, mata kami bertemu. Satu detik, dua detik, aku langsung mengalihkan pandanganku. Begitupun dengannya. Hatiku kalut. Antara rindu, perih dan kebimbangan yang tak berujung. Kisah kami Tarik ulur. Entah aku yang menarik, dia yang mengulur, atau dia yang menarik, aku yang mengulur. Begitupun seterusnya hingga hati ini lelah. Namun untuk menghilangkan sebuah rasa, aku tak kuasa.
Gambar terkait
Menyadari gerikku dan Fatih, Haidar mempersempit jaraknya denganku dan berbisik,
“kamu tau Naf? Kalian itu seperti langit dan pasir. Saling menatap tapi tidak bisa saling bertemu.”
Haidar benar. Aku dan Fatih hanya berkomunikasi dengan tatapan yang tak lebih dari tiga detik. Bagaimana mungkin aku bisa mengartikan tatapan yang sesingkat itu kecuali dengan dugaan-dugaan egois kalau tatapannya masih sama seperti pertama kali ia menatapku? Aku ingin tahu, namun pantaskah aku bertanya? Aku hanya ingin tau, apakah aku sudah tersapu bersih dalam ingatannya ataukah ada puing-puing kasih yang ia sembunyikan?
“Ya ampun, nafa sama Haidar! Kalian ini bikin iri aja tau gak!”
Komentar seseorang saat melihatku dan Haidar. Yah, aku yang menggunakan sepatu Haidar sedangkan Haidar bertelanjang kaki pasti berhasil memancing kata ‘so sweet’ keluar dari pikiran orang lain. Jujur kuakui, Haidar adalah ‘sahabat gila’ yang sangat baik dan paling mengerti. Tak jarang ia melakukan hal-hal sederhana yang membuatku geregetan dan terharu sekaligus.
Tidak ada yang namanya ‘persahabatan’ antara laki-laki dan perempuan.
Begitulah kata orang.
Aku memang bersama Haidar, tapi mereka tidak pernah tau jika hatiku menatap orang lain. Namun Haidar tau itu.
Yah. Layaknya pasir dan langit. Mungkin pasir memang berada di samping laut, tapi ia tengah menatap langit. Mereka tidak akan pernah bisa bertemu kecuali salah satu dari mereka bergerak. Entah pasir yang menunggu diterbangkan angin ke langit, ataukah langit yang turun dan menghampiri pasir. Jika tidak, mereka hanya akan terus menatap tanpa tau rasa dan rindu masing-masing. Selama yang mereka bisa.

Nur Jannah, S

051217

0 komentar:

Menyindirmu, Bulan

Hasil gambar untuk gambar bulan malam
Bulan…
Kau tau saat ini aku tengah menatapmu sinis?
Kau pamerkan terangmu hingga memakan temaram, itu baik.
Namun, sadarkah jika kau telah menyisihkan bintang-bintang disampingmu agar hanya dirimu saja yang tampak?
Banyak sekali mulut yang menyanjung terangmu, dan kau berbangga?
Padahal cahyamu hanya biasan dari mentari di belahan seberang dan bintang-bintang yang kau jarakkan.
Kau angkuh sekali bulan.
Mungkin telah banyak mata yang terlena dan mengagumimu, tapi tidak termasuk aku.
Dirimu tak ubahnya hanya sebongkah materi yang dapat menyerap cahaya.
Layaknya manusia yang hanya sebongkah tanah, namun dengan kepala penuh kelicikan.

Seharusnya kau segera bangun dan tersadar.
Sebelum tatapanku semakin tajam.

Nur Jannah, S
Subuh, 051217

0 komentar:

Sabtu, 25 November 2017

Celotehan Untukmu, Guruku

Mungkin ini hanya celotehan belaka
Dari seorang murid yang kau bantu menaiki tangga.
Waktu memang bisa memakan usia, tapi jasa tak bisa melebur begitu saja.
Kau ajarkan kehidupan, kau tenangkan resah karena ancaman zaman. Kau bantu langkah kaki ini mendekati impian. Sejengkal demi sejengkal, dengan keringat amanah.
Tak luput juga kau kenalkanku dengan Allah dan rasul-Nya. Kau tanamkan cinta pada Islam di jiwa. Kau serukan jihad, tak harus dengan darah.
Jika rasa terimakasih bisa di ucapkan dengan tulisan, bukankah tak ada yang istimewa dari sebuah perjuangan?
Namun, dengan apa lagi kubisa sampaikan kekaguman? Mungkin hanya sebaris kata yang mewakilkan perasaan.
Terimakasih untuk semua pengorbananmu, guruku.

Nur Jannah, S

251117

0 komentar:

Rabu, 22 November 2017

Sakit Malam Itu

Malam itu, tiba-tiba saja aku terbangun. Mataku mengerjap-ngerjap kaget. Perlahan, ada rasa sakit yang mulai menyergap kesadaranku. Sakit yang selama ini kuabaikan, sepertinya tak bisa lagi untuk saat ini. Bagai air hujan yang mengisi sumur tetes per tetes, akan ada saat dimana sumur itu penuh dan akan meluap. Mungkin itulah yang kurasakan sekarang. Dengan bermodal kata,

“ah, tidak apa-apa.”

“ini tidak seberapa.”

“aku baik-baik saja.”

Hingga akhirnya aku tak sadar bahwa bukannya mengobati, kata-kata itu malah semakin menumpuk perihnya. Dan malam itulah, sakitnya tak bisa lagi tertahankan.


Aku merintih di tengah keheningan. Menahan beribu-ribu tombak yang bergantian menusuk. Ingin mengadu, tapi kepada siapakah kusalurkan pedih? Aku hanya bisa berteriak dalam hati, hingga tanpa sadar air mataku mengalir. Awalnya hanya setetes yang kuusap dengan ujung jariku. Tapi semakin lama tangisku semakin deras hingga membasahi bantalku. Dadaku sesak mengatur nafas yang tak karuan. Kepalaku pening karena meemaksa agar suara tangisku tidak pecah. Saking tidak tahannya, kuambil kain di lemari dan mengikat kepalaku dengan erat. Namun semua itu tidak ada gunanya. Saat itulah aku sadar, memang benar lirik sebuah lagu yang berbunyi


“lebih baik sakit hati daripada sakit gigi”



Semalam suntuk hingga pagi menjelang, aku tak bisa tertidur. Mataku sembab karena terlalu banyak menangis. Sedangkan bantalku sudah basah semua seakan ketumpahan air. 


Nur Jannah, S

211117


0 komentar:

Senin, 20 November 2017

You'r Step


Saat kuliah ditanya, "kapan wisuda?"
Setelah wisuda ditanya,
“udah kerja?”
“punya penghasilan berapa?”
“kapan nikah?”
“udah punya anak?”
“anaknya berapa?”
“anaknya dapat ranking berapa?”

Begitulah pertanyaan tidak akan ada habisnya sampai kita meninggal. Sadar atau enggak, sebenarnya kita tengah melewati setiap step-step perjalanan dunia. Itu adalah step yang akan dilewati oleh setiap manusia. Namun jika kalian liat ujungnya, bukankah tujuan kita hanya satu? MATI.

Yah, kita hidup memang menunggu mati. Bisa dibilang semua fatamorgana dunia yang sering kali melalaikan ini adalah intermediet dari proses reaksi kita dengan kehidupan. Seorang dosen pernah berkata, “kita tak pernah tau di step mana penjelajahan kita dihentikan oleh Tuhan, jadi lakukan yang terbaik di step yang kalian jalani saat ini.”

Sebenarnya, ini adalah sindiran buat kita yang dilalaikan dengan step selanjutnya dibanding memikirkan step yang kita jalani saat ini. Misalnya kalian (termasuk saya) yang saat ini berada pada step ‘kuliah’ malah bingung mikirin nikah. Adakah? Tentu saja ada, termasuk saya. Padahal dengan ‘Get Married’ tidak serta merta kita menjadi seseorang yang sukses menyelesaikan sebuah misi kehidupan. Masih banyak misi yang harus dijalani setelah menyandang status ‘kawin’ di KTP.
Iya kalau kita sampai pada step nikah. Kalau tiba-tiba Tuhan menghentikan kita di step kuliah? Siapa yang tau.

Just do the best in your step now.

Tuhan adalah penulis skenario yang paling indah. Namun terkadang, kita masih saja sering meragukan. Jadi, yuk sama-sama bangun kepercayaan. Saling mengingatkan. Insyaallah gak ada yang dirugikan kok… ^_^

Nur Jannah, S

201117

0 komentar:

Jumat, 17 November 2017

Pemeran Utama dalam Kisahku (?)


Seperti biasa, jalanan kampus selalu ramai pada hari-hari aktif. Macet sana-sini tidak bisa terhindarkan. Pak satpam tampak mencari-cari waktu yang pas untuk men-stop mobil, agar beberapa mahasiswa bisa menyebrang. Maklum, bukan hari libur. Lihat saja kalau liburan, pasti jalanan tak akan seramai ini. Malang seakan kota yang tidak berpenghuni.
Aku duduk di taman depan rektorat seraya mendekap sebuah buku. Buku ini berbeda dengan buku diaryku yang lain. Tidak seperti diary yang aku tulis biasanya, tapi buku ini berisi surat-surat untuk seseorang. Seseorang yang entah sejak kapan aku mendoakannya. Yang kutau, bibirku reflek saja menggumamkannya.
“nglamun aja kerjaannya!” Tiba-tiba saja ada seseorang yang menjatuhkan pantatnya di sampingku. Terang saja aku terkejut dan hampir saja memukulnya dengan tas jika aku tak tau siapa yang ada di sana.
“Kak Alfan!” pekikku.
“nganggur itu, kerjain proposal kek belajar kek. Kok malah nglamun! Ntar klo udah deadline, bilangnya gara-gara dosen. Yang sibuklah, banyak permintaanlah bla bla bla.” Tukas kak Alfan.
“sembarangan! Ini tuh refreshing kak, REFRESHING!” balasku.
“alesan!”
“ya udah kalau gak percaya. Gak maksa kok!” kualihkan pandanganku ke arah jalan, sebal. Baru dateng, udah bikin orang emosi.
Yah, berada di semester akhir adalah tantangan terberat bagi setiap mahasiswa. Belum cukup dikejar-kejar pertanyaan ‘kapan wisuda?’, musti dihantui pertanyaan ‘kapan nikah’ juga. Gak sekalian juga pertanyaan ‘kapan mati?’. Begitulah hidup. Kebanyakan orang hanya melihat apa yang dihasilkan, bukan bagaimana cara menghasilkannya. Enteng banget nanya ‘kapan wisuda?’ kayak nanya kapan nasinya matang? Yang sini berjuang mati-matian, disemprot dosen iya, dikejar-kejar dosen iya, diabaiin iya, suruh ini suruh itu ‘iya’ aja deh pokoknya. Cari aman. Itu masih proposal, belum penelitian. Penelitian kimia murni tidak sama dengan kimia pendidikan. Kalau pendidikan, bisa hubungi sekolah dulu buat tempat penelitian, dan praktek ngajar di sana. Lha klo kimia murni? (kalau pensaran, silahkan cari tau sendiri. Mbah google biasanya lebih pintar.)
Aku tertegun saat melihat sepasang muda-mudi berjalan dengan menggenggam tangan masing-masing dengan erat. Si cowok tampak menceritakan sesuatu yang lucu hingga membuat si cewek tersenyum dan mencubit lengannya genit. Setelah itu mereka duduk di seberangku dengan jarak yang nyaris tidak ada. Dempeeet banget. Aku menghela nafas dalam.
“Astaghfirullahaladzim. Gak malu apa ya sama kerudungnya? Cubit-cubitan di kampus.” Cibirku.
“mereka suami istri.” Timpal kak Alfan.
“ha?!!!”
“kenapa kaget gitu? Biasa aja kali.”
“ya kegetlah! Masa masih kuliah udah nikah? Kakak tau darimana? Jangan-jangan cuma ngarang.” Tuduhku.
“emang ada peraturan, ‘kuliah dilarang nikah?’. Mereka anak fakultas sebelah. Nikah semester 5 kemaren. Jadi ceritanya, si cowok bilang kalau menyukai si cewek dari pertama masuk kuliah dulu. Semakin lama, rasa kekagumannya sama si cewek semakin bertambah. Perlu kamu ketahui dek, cowok itu paling sulit kalau menyembunyikan perasaan. Gak kayak cewek yang sukanya main sembunyi-sembunyian. Sampe nangis-nangis sendiri di kamar.”
Kak alfan melemparkan lirikan padaku. Nyindir. Tapi masa bodoh. Aku lebih  penasaran dengan kelanjutan cerita kak alfan.
Kak alfan yang tidak mendapati kejahilannya tidak terbalas olehku, melanjutkan ceritanya.
“jadi si cowok bilang pada si cewek. Karena ‘alhamdulillah’ si cewek ini insyaallah sholihah, dia bilang sama si cowok. Kalau si cowok memang benar-benar menyukainya, ia meminta si cowok bilang sama orang tuanya, bukan kepadanya. Dan si cowok menyanggupinya.”
“trus orang tuanya nyuruh mereka nikah?”
Kak alfan mengangguk. “ si cowok juga udah niatan serius sama si cewek. Sebenarnya ia mengungkapkan perasaannya bukan untuk mengajak si cewek pacaran, tapi balik lagi ke asal tadi. Cowok itu gak bisa lama-lama nyimpen perasaannya. Tapi untuk mengajak ke jenjang pernikahan, ia masih belum siap materi. Beruntung sekali orang tua si cewek tidak memberatkan hal itu dan menyuruh mereka menikah sederhana. Dan… begitulah kiranya kisah cinta halal mereka. Daripada zina, mending nikah. Apa-apa yang dilakukan bisa menjadi ibadah.”
“subhanallaaaaah. So sweeeet. Jadi pengen…”
“apa? nikah?”
Aku mengangguk mengiyakan. Jujur, kalau sudah suntuk masalah kampus rasanya pengen nikah aja.
Kak alfan mendaratkan penanya di jidatku. Aku merintih pelan.
“kenapa malah dipukul?”
“emang kamu kira nikah itu kayak main rumah-rumahan?!”
“ya kan enak kak. Pas ribet proposal gini, ada yang bantuin. Pas begadang, ada yang nemenin. Trus pas wisuda nanti, ada yang diajak foto bareng.”
“itu otak, apa tahu bulat sih! Kosong banget isinya.” Cibir kak Alfan. Aku memutar bola mataku, tersinggung. Bagaimana mungkin otakku disamain kaya tahu bulat? Nraktir tahu bulat aja gak pernah, udah main nyama-nyamain aja. Tapi bukankah pernyataanku tidak sepenuhnya salah? Ketika suntuk udah menyerang mikirin proposal ataupun penelitian, ada seseorang yang menepuk bahu kita memberi kekuatan. Saat dimarahin dosen habis-habisan, ada seseorang yang siap menjadi pengaduan. Saat badmood tiba-tiba nyerang, ada seseorang yang tiba-tiba nyiapin tiket bioskop buat nonton ayat-ayat cinta 2. Dan seseorang itu adalah orang yang halal bagi kita. Bukankah sangat romantis?
“Dek, sini deh tak bisikin.”
Aku mendekat mengikuti isyarat kak Alfan.
“hidup itu gak seperti novel yang kamu tulis. Yang tokoh utamanya selalu melakukan apa yang kamu inginkan. Apalagi membayangkan kalau ‘dia’ adalah tokoh utama dalam kisahmu. Menikah itu bukan hanya tentang mempersatukan dua insan yang kasmaran, tapi juga dua keluarga.”
Aku terdiam dan menarik kepalaku menjauhinya.
“tapi apa salah jika ingin menjadi yang halal untuk seseorang yang kita sayangi?” kutatap rerumputan di depan rektorat yang hijau, hasil dari kerja keras pak kebun tiap pagi dengan muram. Aku tiba-tiba saja teringat seseorang.
“siapa yang bilang salah? Itu adalah hal yang wajar. Tapi ingat, biduk permainan Tuhan tak bisa kau mainkan sesuai keinginanmu. Bisa jadi selama ini, ‘dia’ adalah seseorang yang selalu kau jadikan pemeran utama kisahmu. Namun siapa tau ternyata dia hanyalah figuran yang ada hanya untuk melengkapi ceritamu. Dan ternyata, ada pemeran utama lain yang telah disiapkan oleh Tuhan, dan itu bukan dia. Kalau seperti itu, bagaimana? Kamu tidak bisa menekan backspace untuk menghapus semua perasaanmu pada’nya’ yang ternyata hanya figuran sedangkan ‘sang pemeran utama’ dalam kehidupanmu menjemputmu dengan amanah yang dibisikkan oleh Tuhan.”
Aku semakin terdiam.
“iya, aku tau kak. Tapi bisa jadi dia adalah pemeran utama dalam kehidupanku. Siapa yang menduga?”
“itu namanya keras kepala dek. Memang seberapa yakin kamu dengan dia?”
Aku terdiam. Aku benar-benar tidak tau. Tiba-tiba saja topik pembicaraan kita beralih pada seseorang yang hampir memenuhi sepertiga hidupku. Orang yang sama, dengan rasa yang sama pula.
“keyakinanmu sama besarnya dengan keraguanmu. Karena itu kamu bingung. Iya kan?”
Aku mengangguk. Kak alfan tersenyum. Ada genangan di mataku. Perasaanku benar-benar campur aduk.
“dek, laki-laki yang baik tidak akan membuatmu bingung seperti ini. Gak ada lelaki yang tega membuat wanita yang dicintainya bingung, apalagi sampai menangis seperti ini. Kelemahan seorang laki-laki adalah ketika melihat air mata perempuan yang disayanginya. Selama ini, berapa banyak air mata yang kau jatuhkan untuknya? Berapa kali ia membuatmu bingung? Berapa kali ia menyakiti hatimu? Dan setelah semua itu, kamu masih tetap berpihak padanya? Jujur, aku menjadi ragu dengannya. Aku ragu, apakah ia memang menyayangimu atau hanya menjadikanmu pengisi waktu kosongnya. Jika ia benar-benar menyayangimu, ia akan ke rumah bersama orang tuanya.”
“kenapa kakak selalu menjelekkannya? Bukankah bisa jadi dia punya alasan tersendiri? Mungkin saja ia orang yang terlalu baik untuk mengungkapkan keinginannya bersamaku sebelum ia benar-benar siap? Mungkin saja ia tengah mempersiapkan diri untuk mengemban tanggung jawab yang lebih besar. Seperti yang kakak bilang kalau lelaki itu tidak bisa menyimpan perasaannya terlalu lama, karena itulah dia datang untuk menyalamkan rindu yang tak terbendung dan langsung pergi lagi ketika sadar bahwa tak seharusnya kita saling bersapa tanpa ikatan yang halal. Siapa yang tau? Kakak selalu saja memutarbalikkan keadaan dan menjadikannya jahat.”
“Karena aku tak mau kamu memanjakan perasaanmu. Hatimu sudah terlalu baik dengan selalu berprasangka baik tentangnya. Jika aku mengatakan hal yang baik juga, perasaanmu akan semakin dalam. Dan jika ternyata jalan Tuhan tidak sesuai dengan dugaanmu, rasa sakit yang kamu dapatkan akan semakin dalam. Karena itu, jika hatimu membelanya, aku akan menjadi orang yang menampiknya. Hanya dengan itu, kamu tidak akan terlalu sakit jika terjatuh jika ternyata tidak bersamanya.”
Aku menatap kak Alfan tak percaya. Jadi ini alasan kenapa kak Alfan tak pernah membelanya? Khawatir jika aku akan tersakiti lebih dalam lagi. Tapi apa yang dibicarakan kak Alfan juga benar. Belum tentu dia adalah pemeran utama dalam kehidupanku. Bisa jadi ada orang lain yang menurut Tuhan adalah yang terbaik untukku. Karena seperti dalam sebuah ayat, yang artinya sesuatu yang kita cinta belum tentu baik bagi kita. Dan sesuatu yang kita benci, belum tentu yang buruk buat kita. Tuhan sudah menyusun skenario kehidupan kita dengan baik, kenapa harus ragu? Serahkan semua pada-Nya.
Tuhan, jika ia memang orang yang tengah kau persiapkan untukku, dekatkan kami dalam ikatan yang Engkau ridhoi. Namun jika tidak, kumohon hapuskan perasaan ini dan ikatkan kami dalam persaudaraan Islam.
“aku yakin kamu udah mengerti dek. Iya kan?”
Kuusap air mataku dan tersenyum cerah. “insyaallah kak. Karena hidup ini bukan milikku, jadi kuserahkan setiap suratanku pada pemilik hidup.”
“siiip. Berhubung kamu udah normal lagi, ada salam dari ibu tadi.”
“apa?”
“ada yang ngajakin kamu ta’aruf. Lulusan pesantren, Al-Qurannya udah selesai.”
Mataku langsung membulat sempurna.
“siapa tau ternyata dia adalah seseorang yang menjadi objek dalam bukumu itu.”
Yah, buku yang berada di tanganku ini adalah buku yang sengaja ku tulis untuk calon imamku kelak. Satu-satunya buku yang kutulis untuk objek yang jelas, namun tidak tau siapa.

“jangan menghindar terus. Sekarang udah waktunya kamu mengikhlaskan hatimu untuk kisah yang baru. Inget pesan ibu? batasmu tahun ini. Tunggu saja sampai ada orang yang bisa masuk ke rumah. Tak peduli seberapa seriusnya orang-orang itu, jika mereka bukan jodohmu, mereka tidak akan bisa masuk ke rumah. Seperti anak pak Bisri yang bahkan sampai mengejar-ngejar ayah, menjanjikan ka’bah dan murid demi mendapatkan perhatianmu, ketika mereka datang ke rumah untuk mempertegas niat baik mereka, ternyata kita tidak ada di rumah dan jadinya mampir ke rumah budhe. Jadi bersiap-siaplah jika ternyata orang yang bisa masuk ke rumah bukan dia. Ucapan ibu jarang meleset.”
Aku menundukkan kepalaku. Entah kenapa, aku meragukan keputusanku sendiri.

Nur Jannah, S

161117

0 komentar:

Selasa, 07 November 2017

Hujan (bukan) Kenangan

Hasil gambar untuk hujan dan kucing

Aku tak tau, kenapa hujan sering kali diartikan sebagai kenangan.
Selain kenangan, ia bisa juga menjadi air mata.
Bukankah sejatinya hujan datang sebagai kasih sayang?
kenapa ia malah menjadi simbol luka?

Mungkin ia datang untuk menyapa rumput kering dipinggir jalan yang tak pernah kau perhatikan
atau untuk memeluk tanah gersang yang selalu kau sesalkan sembari menyumpah
atau mungkin ia datang untuk mengisi sumurmu yang tinggal sejengkal
Hujan mungkin datang untuk sekedar memandikan kucing liar yang tak pernah pergi ke salon perawatan
Siapa yang tau?
Seharusnya kalian bertanya sebelum menetapkannya sebagai terdakwa.
Karena hujan tak pernah mengabarkan kedatangannya.

Begitupun dengan rasa.
Ia datang tanpa mengetuk pintu.
Tiba-tiba saja tanpa sadar, ia telah duduk manis di singgahsana hatimu.
Tak tau kapan ia masuk, sedangkan mengusirnyapun kau tak mampu.
Hanya mengintip di sudut kerinduan, akankah ia menyapamu dalam ikatan yang ditetapkan oleh-Nya.

Nur jannah, S
071117

0 komentar:

Senin, 06 November 2017

Satu

Kenapa?
Kalut menggempar menyeruakkan keadaan
Tanah mengambang menyesakkan kehampaan
Ranah damai melenggangkan persamaan

Kaki terpatri pada kerah tak berdasar
Tangan tergenggam pada pena tak bertinta
Mata terpaku pada kabut tak tergambar
Dan resah terbungkam pada rinai yang tak terjamah

Sisakan senyum itu.
Sisihkan taring yang merengek tanpa arah.
DIA satu.
Dan rindang kasih yang samar menyatukan kita.

An051116

0 komentar:

Bukan Rantai

Ada seorang teman cerita,

“orang tuaku itu protektif banget mbak. Masa jam 7 aku harus ada di rumah? Padahal anak-anak tetanggaku ada yang pulang sampe malem juga gak parah-parah amat dimarahinya.”

Aku tersenyum. Jadi ingat, gimana dulu orang tuaku juga termasuk kategori orang tua yang ‘protektif’. Mungkin lebih parah dari yang diceritakan temanku. Bahkan, aku pernah menulis kalau aku seperti boneka mereka. Kejam ya? Emang. Orang yang nulis itu lebih kejam dari yang pernah kalian kira. Nah, kita akhiri curhat gak perntingku, ayo kita kupas lembaran-lembaran yang tersembunyi di sana.

Orang tuaku, rantaiku?
Wajar memang jika orang tua selalu memperhatikan gerak-gerik anaknya. Malah gak wajar kan kalau orang tua tidak mau tau apa yang dilakukan seorang anak?
Pas bayi dulu, sekecil apapun gerakan yang kita lakukan serasa seperti bunga yang merekah di musim semi mereka. Pas kita pertama kali membuka mata, pertama kali mengangkat tangan, pertama kali mengangkat ujung bibir ke atas –tersenyum maksudnya-, pertama kali tengkurap, dan pertama-pertama yang lainnya. Dan pernah gak saat pertama kali kalian berhasil menangkap capung di halaman rumah, kalian bakal berlari ke dalam dan berteriak,
“ibuuu, ayaaah!! Aku berhasil menangkap capung!”
“oh iya? Waaaah, hebat sekali.”
Setiap orang pasti akan senang saat orang memujinya. Manusiawi kok… Boleh gak ya aku bilang kalau munafik namanya kalau ada orang yang bilang tidak suka dengan pujian? Hehehe
Saat kita senang karena berhasil menangkap capung, aku yakin orang tua kita lebih bahagia daripada kita. Mereka bahagia karena mereka menjadi orang pertama yang kita beritahu. Namun seiring dengan umur kita yang semakin banyak, berita-berita pertama yang ingin didengarkan oleh mereka semakin jarang. Bahkan hampir tidak ada. Tentu saja mereka bersedih. Saat mereka bertanya, apa yang terjadi di sekolah? apakah temanmu baik? Pelajarannya tidak sulit kan? Dan bagaimana jawaban yang sering kita lontarkan?
“tidak ada apa-apa kok. Biasa aja.”
Dan itu adalah jawaban yang paling membuat kecewa. Mereka penasaran apa yang dilakukan anak mereka? Hal baru apa saja yang dilakukan? Dan ketika jawaban itu yang keluar, mereka akan mulai bertanya-tanya. Kemana seorang anak yang dulu selalu bersemangat mengabarkan berita-berita baru padanya? Mereka kehilangan sosok seorang anak yang sudah beranjak dewasa. Sedangkan pada posisi kita, kita merasa jerah dengan pertanyaan-pertanyaan yang mereka lontarkan tanpa bosan.

Nah, pasti itulah yang membuat dilema. Iya gak? Kita udah dewasa, dan bukan waktunya lagi dipantau 24 jam. Seperti kasus seorang temanku, dan teman-teman yang lain mungkin. Termasuk aku juga.

Mulai berpendapat.
Kalau ngaku udah dewasa, ya harus bertindak dengan alasan dong. Misalnya nih mau keluar kemana gitu, tapi masih diwawancari dulu sama embel-embel gak bakal dibolehin. Apa yang seharusnya seorang anak lakuin?
Bukan langsung teriak,
“aku udah dewasa pa, ma, bu, yah, bi, mi, pi. Gak usah ikut campur urusanku!” helloooow, kalian  gak bakal bisa sebesar itu tanpa campur tangan mereka guys. Sumpah aku pengen ketawa kalau ada anak yang ngaku dewasa tapi ngomongnya kek gitu.
Lebih baik, cari saat orang tua sedang santai. Terus bilang aja yang sebenarnya kalian inginkan di umur yang sudah banyak ini. Jelaskan, aku seperti ini yah, bu. Yakin 100%, cara itu lebih ampuh dan orang tua kita dapat lebih menerima dan mempercayai kedewasaan kita.

Jujur, sebenarnya lebih berat menjaga kepercayaan lho daripada minta dilepasin dari ‘rantai’ protektif orang tua kita. Kalau protektif kan semacam penjagaan secara fisik gitu ya. Tapi kalau kepercayaan itu masalah penjagaan hati. Kalau masalah fisik, paling-paling dimarahin, selesai. Tapi kalau hati? Ah, kalian tau sendirilah bagaimana ribetnya hati itu.

Jadi kalau menurutku, seorang anak itu bisa dewasa jika penjagaannya bukan secara fisik, tapi secara hati. Eak!
Tulisan ini bukan sok-sokan kok. Cuma berbagi pengalaman aja, siapa tau kita senasib seperjuangan serasa.
Yuk, mulai membangun kepercayaan denga orang tua kita. Jangan sama si ‘dia’ aja. Kalau bangun kepercayaan sama si dia, bisa aja dia selingkuh kan? Tapi kalau sama orang tua, apa ada orang tua yang selingkuh? Hehehe

An110717

0 komentar: