ISTIRAHAT
PERPUSTAKAAN
Begitulah tulisan di atas sobekan kertas
yang tadi pagi diberikan Saidah. Dari siapa lagi kalau bukan Haidar? Seorang
sahabat ‘gila’ yang semakin lama semakin menularkan ‘kegilaannya’ padaku.
Ku saut dua buku yang tak pernah absen di
tanganku. Satu buku Diary, dan satu buku yang berisi tulisan-tulisan, baik
cerpen ataupun novel yang masih OTW. Maklum, di pesantren akses dengan computer
atau barang-barang elektronik lainnya terbatas. Jadi hanya pena dan kertas yang
menjadi wadahku meluapkan segala emosi.
“Naf, mau kemana??” seorang teman mencolek
bahuku. Aku langsung berjingkat. Jujur, sebisa mungkin aku tidak melakukan
kontak fisik kecuali dengan teman sejenis dan keluargaku.
“Kebiasaan! Gak usah pegang-pegang kenapa
sih!” Hardikku.
Zainal, teman seperjuangan organisasiku,
memasang wajah meminta maaf. Aku luluh.
“ada apa?” tanyaku dengan alis yang hampir
bertemu, masih kesal.
“temenin minta tanda tangan kesiswaan ya
buat proposal acara Diklat Jurnalistik?”
Aku langsung menghela nafas.
“sendirian emang gak bisa?”
Zainal memamerkan deretan giginya layalnya
iklan pasta gigi. “gak berani.”
Aku mendengus dalam hati. Jujur, zainal
memang memiliki rasa tanggung jawab yang gak diragukan lagi. Tidak salah jika
kakak senior memilihnya sebagai ketua KIR laki-laki. Tapi satu kelemahan
zainal, ia kurang piawai ngomong dengan lawan bicaranya, apalagi di depan umum.
Mungkin inilah niatan kakak senior mendampingkanku yang bisa dibilang ‘banyak
kata’ dengan zainal yang ‘tanpa kata’ untuk mengatur masa depan organisasi. Tapi
sepertinya akhir-akhir ini zainal sudah mulai terbiasa ‘berbicara’. Mungkin karena
setiap kali kumpul hari jumat, aku selalu memaksanya bicara di depan
junior-junior kita. Awalnya ia menolak, tapi sepertinya kegalakanku lebih
menyeramkan dibanding melawan kekalutannya menatap mata anak-anak.
“gak mau. Berangkat aja sama Ilyas.” Ilyas sekretaris
KIR.
“ilyas gak bisa. Sama kamu ya? Ayolaah.” Zainal
memelas.
“gak mau, berangkat aja sendiri! Aku juga
ada perlu.” Tolakku. Aku hanya ingin zainal bergantung pada dirinya sendiri dan
melawan ‘phobia’nya bertemu dengan orang. Selain itu, bukankah aku memang ada
perlu? Yah. Haidar mungkin telah menungguku di perpus.
***
Tidak ada satu kepalapun yang kujumpai
ketika sampai di pintu perpus. Mungkin Haidar masih ke asramanya sebentar. Entah
untuk mengangkat nasi yang sudah masak, atau memidahkan jemuran yang sudah
kering.
Tujuan pertamaku ketika memasuki perpus
adalah tumpukan Koran di atas meja. Apalagi hari ini hari minggu, selalu ada rubrik
special tiap hari minggu seperti cerpen, opini dan zodiac terkadang. Namun yang
menarik perhatianku hanyalah kolom cerpen. Sambil melihat kolom itu, aku selalu
berharap, nanti namaku yang akan ada di sana.
“Fakhirah, apa kabar?” sapa bu Susi, penjaga
perpus yang sepertinya sudah hafal denganku.
“Alhamdulillah baik bu. Baru dari ngajar?”
“iya. Dari SMK kelas otomotif, isinya cowok
semua. Ramenya masyaallah deh.” cerita bu Susi. Aku tergelak. Padahal hatiku
terkagum dengan sosok pejuang ilmu. Kelak, aku ingin menjadi seperti mereka.
Kualihkan pandangan pada bukuku saat bu Susi
juga terpaku di depan komputer perpus.
Jam 09.55 WIB
Waktu istirahat tinggal lima menit lagi, dan
Haidar belum datang. Padahal aku sudah menulis sekitar 5 halaman.
Kemana
sih nih anak! Ngajak ketemu di perpus, tapi dianya gak dateng-dateng! Awas aja
kalo sampe ketemu! Jadi bubur, jadi deh!
Gerutuku dalam hati. Daripada telat masuk
kelas, lebih baik aku balik saja. Biarkan Haidar mendapati perpustakaan yang
kosong kalau dia benar datang. Kuangkat
tubuhku beranjak dari tempat duduk yang sudah seperti bangku keduaku setelah
bangku kelas.
Bu susi melemparkan senyum. Kubalas dengan
senyum yang sedikit terpaksa. Jujur, aku merasa kesal. Bukan karena tidak bisa
bertemu dengan Haidar, tapi karena ia yang tidak menepati janji. Keningku
langsung berkerut ketika sepatuku yang tadi berada di depan pintu lenyap entah
kemana. Hanya ada sepasang sepatu milik bu Susi, dan sepasang sepatu lain milik
Liana, teman sekelas Haidar yang barusan masuk perpus.
Kuedarkan pandanganku menyapu sekeliling,
namun nihil. Sepatuku seakan dimakan angin. Tiba-tiba saja aku terpikir
kejahilan seseorang. Namun, bukankah kurang baik jika menuduh tanpa bukti?
Akhirnya ku tegaskan dugaanku dengan meminta
pernyataan bu Susi yang sedari tadi berada di depan meja. Pasti beliau bisa
melihat siapa saja yang melewati depan atau pintu perpus.
“Kenapa Nafa?” tanya bu Susi seraya menahan
senyum. Peka sekali. Beliau seakan tau kalau aku tengah mengalami ‘pencurian’.
“sepatu saya gak ada bu. Bu susi tau?”
Aneh memang menanyakan sepatu pada gurunya
sendiri. Namun, bukankah bertanya lebih baik daripada tersesat?
“coba cari lagi.” Bu Susi semakin menahan
senyum. Entah kenapa perasaanku berkata, kalau Bu Susi tau sesuatu.
“Haidar ya bu?”
“ya nggak tau.” Bu Susi langsung tertawa.
Apa bu Susi menertawakan ‘kesengsaraanku’?
Sungguh tega sekali. Tapi aku yakin, ini pasti ulah Haidar. Akhirnya kutanyakan
pada Liana, apakah melihat Haidar? Amarahku semakin memuncak ketika mendengar
kalau ternyata Haidar berada di kelasnya. Tidak salah lagi, tersangka pencuri
sepatuku adalah Haidar. Siapa lagi?
Kupinjam sepatu Liana untuk ‘melabrak’ Haidar.
Dia akan kutangkap!
***
“balikin nggak!” teriakku di depan kelas Haidar.
Ada beberapa mata yang tampak memperhatikan kami. Siapa peduli? Aku malah
berarap Haidar di massa. Biar saja. Bukankah ‘pencuri’ memang harus di adili? Tidak
sekali ini saja dia ‘mencuri’ barang-barangku. Tak tehitung berapa kali ia
tiba-tiba mengambil diary dan buku-bukuku, secara terang-terangan di depanku.
“gak ada di aku.”
Permainan kata. Aku sudah hafal.
“iya memang gak ada di kamu, tapi kamu yang
naruh di tempat lain kan?”
“bukan di aku.”
“iyya, aku tau! Cepet kasih tau dimana kamu
nyembunyiin sepatuku!”
Setelah ini kelasku waktunya pak Imron, guru paling ditakuti
se sekolah. Dan aku tak mau disambut ‘semburan’ pak Imron karena telat masuk
kelas.
“duuuh, Nafa sama Haidar tiap hari makin
lengket aja.” Celetuk sebuah suara yang aku gak tau siapa, dan disambut dengan ‘ciyeee’
dari mulut-mulut yang lain. Jika saja aku tidak dalam keadaan terdesak, aku
pasti akan melakukan pembelaan. Tapi aku tidak punya waktu untuk itu. Bel
istirahat usai telah berbunyi beberapa saat lalu, sedangkan Haidar masih ‘kukeuh’
dengan kejahilannya meskipun teman-teman yang lain menyuruhnya memberikan yang
kuminta. Akhirnya, jurus terakhirku keluar.
Memelas.
“kumohoon. Ini sepatu Liana, aku harus
segera mengembalikannya. Sekarang aku waktunya pak Imron.” Kutundukkan wajahku
lesu. Cara ini berhasil.
Haidar berjalan menuju tong sampah biru
depan kelasnya dan memasukkan tangan ke sana. Saat Haidar mengeluarkan sesuatu
dari sana, aku langsung menaikkan suaraku satu oktaf.
“Sepatuku, kamu taruh di tempat sampah!!!”
Haidar tertawa bangga karena berhasil
menjahiliku untuk kesekian kalinya.
“siapa suruh nulis sampek gak liat kalau aku
dateng ke perpus tadi. Ini pembalasan dendam.”
Dasar pendendam!
Ingin rasanya kukatakan itu padanya. Tapi kejahilan
akan terus berlanjut jika aku tidak mengaku kalah.
“maaf, kamu tidak menegurku. Sekarang,
sepatuku?” ku tengadahkan tanganku di depannya.
“balikin dulu sepatu Liana, tak bawain
sepatu ke perpus.”
“serius?”
Aku ragu.
“janji, beneran gak bohong.” Kekunci mata Haidar.
Ia serius.
“baiklah. Jika kamu bohong, kakimu yang
bakal jadi korban.” Bagaimanapun aku juga merasa bersalah karena tidak menyadari
kedatangannya tadi. Aku memang sering lupa waktu dan tempat kalau udah megang
pena dan kertas.
Aku berjalan menuju perpus dengan Haidar
yang berada beberapa langkah di belakangku.
“sudah ketemu yang ngambil naf?” Sambut bu
Susi sambil tersenyum. Entah kenapa aku curiga bu Susi juga berperan dalam
kejahilan Haidar.
“sudah bu.”
Ku ucapkan terimakasih pada Liana lalu
menghampiri Haidar yang menunggu di depan pintu. Haidar tersenyum mencurigakan.
Benar saja. Kejahilannya masih belum sampai
ekornya.
“mana sepatuku? Katanya mau kamu bawain ke
sini!” Aku naik pitam untuk kesekian kalinya dalam kurun waktu kurang dari satu
jam.
“aku bilang akan membawakanmu sepatu, bukan
sepatumu.”
Tuhan,
sabarkanlah hati ini.
Haidar melirik sepatunya dan melihatku padaku.
“jangan bilang…..”
“iya. Pake sepatuku.”
“yang bener aja! Sepatu kamu gedhenya dua
kali kakiku!”
“kalau gitu ya gak usah pake sepatu. Orang aku
berniat baik kok.”
Berniat
baik apaan!!
“baiklah. Aku pake sepatumu.” Ucapku menyerah.
Entah kenapa, Haidar selalu bisa memaksaku untuk menuruti kemauannya. Dan itu
membuatku kesal.
Haidar melepas sepatunya dan mengeluarkan kakinya
yang tidak berkaos kaki dan menginjak tanah.
“lhoh, kamu…”
“pake sepatuku, ato sepatumu gak bakal
balik.”
Aku memegang kepalaku yang pening dengan
tingkah Haidar. Bagaimana mungkin aku bisa bersahabat dengan orang se’gila’
ini??
Kakiku langsung tenggelam di sepatu Haidar. Saking
besarnya, hingga jalanpun aku harus menyeretnya. Jangan bertanya apakah ada
yang memperhatikan kami? Banyak!! Ada yang melihat aneh, ada yang tertawa dan
adapula yang main ‘ciyee ciyee’. Oke fix! Hari ini, Haidar sudah mempermainkan
emosiku. Namun langkahku langsung terhenti ketika melihat seseorang yang berada
di antara teman sekelas Haidar, yang tengah bercengkrama di depan kelas mereka.
Fatih. Seseorang yang dengannya aku dan dia
pernah menjadi ‘kita’ dan merangkai kisah bersama. Sudah sekitar dua tahun yang
lalu, namun tak bisa kupungkiri kalau namanya masih memenuhi diaryku.
Tak sengaja, mata kami bertemu. Satu detik,
dua detik, aku langsung mengalihkan pandanganku. Begitupun dengannya. Hatiku kalut.
Antara rindu, perih dan kebimbangan yang tak berujung. Kisah kami Tarik ulur. Entah
aku yang menarik, dia yang mengulur, atau dia yang menarik, aku yang mengulur. Begitupun
seterusnya hingga hati ini lelah. Namun untuk menghilangkan sebuah rasa, aku
tak kuasa.
Menyadari gerikku dan Fatih, Haidar
mempersempit jaraknya denganku dan berbisik,
“kamu tau Naf? Kalian itu seperti langit dan pasir. Saling menatap tapi tidak bisa saling
bertemu.”
Haidar benar. Aku dan Fatih hanya
berkomunikasi dengan tatapan yang tak lebih dari tiga detik. Bagaimana mungkin
aku bisa mengartikan tatapan yang sesingkat itu kecuali dengan dugaan-dugaan
egois kalau tatapannya masih sama seperti pertama kali ia menatapku? Aku ingin
tahu, namun pantaskah aku bertanya? Aku hanya ingin tau, apakah aku sudah
tersapu bersih dalam ingatannya ataukah ada puing-puing kasih yang ia
sembunyikan?
“Ya ampun, nafa sama Haidar! Kalian ini
bikin iri aja tau gak!”
Komentar seseorang saat melihatku dan Haidar.
Yah, aku yang menggunakan sepatu Haidar sedangkan Haidar bertelanjang kaki
pasti berhasil memancing kata ‘so sweet’ keluar dari pikiran orang lain. Jujur
kuakui, Haidar adalah ‘sahabat gila’ yang sangat baik dan paling mengerti. Tak jarang
ia melakukan hal-hal sederhana yang membuatku geregetan dan terharu sekaligus.
Tidak
ada yang namanya ‘persahabatan’ antara laki-laki dan perempuan.
Begitulah kata orang.
Aku memang bersama Haidar, tapi mereka tidak
pernah tau jika hatiku menatap orang lain. Namun Haidar tau itu.
Yah. Layaknya pasir dan langit. Mungkin pasir
memang berada di samping laut, tapi ia tengah menatap langit. Mereka tidak akan
pernah bisa bertemu kecuali salah satu dari mereka bergerak. Entah pasir yang
menunggu diterbangkan angin ke langit, ataukah langit yang turun dan
menghampiri pasir. Jika tidak, mereka hanya akan terus menatap tanpa tau rasa
dan rindu masing-masing. Selama yang mereka bisa.
Nur Jannah, S
051217
0 komentar: