Brakk!!!
Koran news yang beberapa detik lalu berada ditanganku, kini mendarat dengan cukup keras di atas meja di depanku. Ayah yang sedari tadi sepertinya tengah asyik membaca koran sport kesukaannya, tiba-tiba tersentak dan langsung mengintipku sejenak dari balik korannya sebelum kemudian beralih pada korannya lagi.
“ada apa?” Tanya ayah seraya memebenahkan letak kacamatanya.
Aku mendengus kesal seraya menyandarkan punggungku pada kursi.
“aku tak mengerti ayah. Kenapa sepertinya koran ini tidak pernah kehabisan stok berita tentang korupsi” keluhku. Tidak ketinggalan kuberikan cibiran terbaikku saat melihat foto orang-orang yang terpampang di sana, untuk meyakinkan ayah kalau aku serius. Aku benar-benar muak melihat mereka. Entah yang kini sudah terbongkar ataupun yang masih tersembunyi.
Ayah menurunkan korannya, melipatnya sembarang, kemudian menaruhnya di meja. Tepat di atas koran yang kubanting tadi.
“nafa, sepertinya kamu kurang adil sayang…” ucap ayah yang langsung membuatku menautkan kedua alisku, tak mengerti dengan apa yang ayah maksudkan.
“seharusnya bukan koran ini saja yang mendapat protes dari kamu. Bukankah hampir setiap media massa di Indonesia baik elektronik maupun elektronik memang tidak pernah berhenti membahas hal yang satu itu?” timpal ayah sambil mengangkat satu alisnya. “namun, coba deh kamu pikirin. Ini yang salah sebenarnya media massanya atau orangnya ya??” lanjut ayah dan tersenyum jahil.
Merasa apa yang dikatakan ayah memang benar, bibirkupun terkunci. Aku langsung mati kutu. “po… pok.. pokoknya sebagai anak dari anggota Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia tercintaku ini, aku akan marah kalau ayah tidak cepat-cepat memberantas para-para tikus berdasi itu!” hardikku seakan orang orasi.
Ayah mengangkat jari jempolnya ke atas. “siap komandan! Ayah berjanji.”
Aku hanya bisa tersenyum geli melihat ayah sekaligus lega mendengar janji ayah. Karena ayah adalah orang yang tidak pernah berbohong dan tidak pernah mengingkari janjinya.
“ayah memang lelaki terhebat!” kuacungkan dua jempolku pada ayah.
“kalau dibandingkan Fatih, lebih hebat siapa?” tanggap ayah yang membuatku langsung tersipu.
###
“lempar melewati gerbang itu naf.” Perintah fatih yang duduk di atas sepedanya sedang aku harus berusaha agar Koran yang berada ditanganku ini bisa melewati gerbang yang tingginya dua kali tinggiku. Jika saja orang yang tengah menatapku itu bukan orang yang selama ini memenuhi pikiranku, aku pasti akan menipuk kepalanya dengan koran yang kupegang ini. Aku menghela nafas untuk yang kesekian kalinya saat gulungan Koran yang kulemparkan gagal. Lagi. Ah, seharusnya aku menolak saat fatih menawariku untuk berangkat bersamanya. Tapi entah ada angin apa sehingga bibirku ini tidak bisa berkata tidak dan sebagai gantinya aku mengangguk dan berkata iya sebagai pertanda kalau aku tidak menolak ajakannya.
“lebih tinggi lagi naf!” perintah fatih untuk ke seribu kalinya. Enak sekali dia ngomong tanpa melihat betapa sulitnya aku untuk melakukan apa yang disuruhnya. Apa dia kira aku ini atlet melompat, dengan entengnya dia bilang ‘lebih tinggi’, ‘hampir saja’, ‘coba sekali lagi’. Lemparan ke-tak terhinggaku ini gagal untuk kesekian kalinya. Aku mendengus kesal dengan nafas yang terengah-engah.
“ok. Aku menyerah” keluhku seraya membungkuk memijat lututku.
“tidak ada kata menyerah. Kamu hanya melakukannya dengan cara yang sama sekalipun kamu tau cara itu selalu gagal. Yang perlu kamu lakukan jika kamu gagal adalah melakukannya dengan cara yang berbeda. Kamu itu tidak akan berakhir hanya karena kamu gagal, api akan berakhir kalau kamu berhenti” aku tertegun mendengar paparannya hingga kau tak menyadari kalau ternyata dia sudah berdiri tepat di belakangku. Nafasku kontan saja langsung tercekat. Berada di boncengannya saja sudah membuatku deg-degkan apalagi berada sedekat ini dengannya. Aku mengambil Koran yang terjatuh disamping kakiku secepat yang aku bisa dan langsung melemparkannya pada fatih agar aku tidak perlu melompat-lompat lagi. Agar aku tidak perlu berdiri sedekat ini dengannya.
Tanpa pernah aku duga, tiba-tiba fatih menyergap tanganku. Aku hendak melepaskan diri tapi fatih menggenggam tanganku erat sekali sehingga aku tak punya kekuatan lagi untuk mengambil alih tanganku.
Fatih menatapku tepat di mataku. Membuatku seakan terkunci tidak bisa bergerak barang sedikitpun. Sesaat aku berpikir, mungkin saja waktu telah berhenti. Namun ternyata jantungku yang memompa lebih cepat dari biasanya.
“Nafa, kenapa kamu memilihku?”
Aku menelan paksa ludahku mendengar pertanyaan Fatih. Kenapa? Apakah perasaan itu harus punya alasan? Aku bahkan tak tau awal perasaan ini tumbuh. Sejak pertemuan kami di perpustakaan sekolah, aku dan Fatih sering berbagi pendapat. Dan saat aku tau dia menjadi loper koran untuk membayar sekolahnya, rasa kagumku padanya semakin besar. Entah sejak pertemuan kami di perpustakaan ataukah sejak aku tau ia adalah pemuda yang hebat, aku tak tau. Yang aku tau, perasaan ini ada.
Fatih memamerkan senyumannya. Senyuman yang belum pernah kulihat sebelumnya. Fatih melepaskan tanganku, mengambil gulungan Koran yang terjatuh tadi dan memutar tubuhku menghadap gerbang itu lagi.
“baiklah. Kamu sudah menceritakannya dari matamu.” Putus Fatih dan mengangguk-anggukkan kepalanya seakan aku sudah menjawab pertanyaannya. Aku hanya terpaku seperti patung hidup.
“pegang ujung Koran ini. Arahkan dia vertikal ke atas membentuk sudut 30 derajat. Berikan tumpuanmu pada ujung Koran bagian bawah ini, lalu lemparkan. Mengerti?” aku mengangguk mengerti meskipun masih terbesit pertanyaan di hatiku. Apakah Fatih punya indra ke-enam?
“kalau begitu, ayo kita lakukan bersama.” Intruksi fatih saat Koran itu siap meluncur dari tanganku, atau mungkin tangannya. Tanganku dan dia.
Sekali lempar dan….. yap. Koran itu melewati gerbang itu dengan mulus. Aku berseru girang.
###
“aku tak tau kalau ternyata kamu dan ayah sudah saling mengenal.” Ujarku dari boncengan fatih dan dengan setumpuk Koran dipangkuanku.
“sepertinya ayahku menyukaimu.” Lanjutku saat mengingat betapa ayah tadi sangat menyambutnya ketika ia mampir ke rumah.
“yah, aku tau. Ayahmu adalah orang yang hebat.” Jawab fatih dari balik kemudinya.
Sejak pagi itu, aku sering berangkat bersama dengan fatih. Menunggunya di depan rumah, kemudian bersama mengantarkan Koran ke para pelanggannya. Dan sekarang, aku sudah cukup ahli dalam melempar Koran. Hampir setiap lemparanku tak pernah gagal.
Aku mendengus kesal saat mataku menangkap berita yang menjadi headline Koran hari ini.
“lagi-lagi korupsi. Sepertinya aku perlu menjadwal media di Indonesia agar tidak hanya korupsi yang mereka jadikan sebagai berita utama mereka”
Fatih menghentikan sepedanya, mengambil Koran yang ada dipangkuanku dan melemparkan Koran itu melewati gerbang rumah pelanggan fatih dengan mulus tanpa perlu turun atau melompat. Aku iri dengannya.
“kenapa?” Tanya fatih seraya mengayuh sepedanya lagi.
“aku kesal fat. Apa masih belum cukup Indonesia sudah menjadi Negara dengan kasus korupsi terbesar di dunia? Mengingat kalau Indonesia adalah Negara yang kaya akan alamnya, itu sungguh prestasi yang sangat membanggakan.” Cibirku.
“gimana kalau aku berharap Indonesia menjadi Negara dengan kasus korupsi terbesar di dunia.” Sahut fatih. Kontan aku langsung membelalakkan mataku.
“kamu mau membunuh Negara kita? Kalau memang itu misimu, aku berdoa dengan sangat semoga harapanmu tidak terkabul.” Apa-apaan dengan menjadi Negara yang terkenal karena kasus korupsi terbesar di dunia.
Fatih tersenyum. Aku yakin karena aku bisa melihatnya dari sini.
“itu memang prestasi yang sangat mengagumkan naf. Bagaimanapun ada sisi lain yang harus kamu perhatikan di sana. Selayaknya koin, dia mempunyai dua sisi yang memiliki artian yang berbeda. Coba deh kamu renungin lagi apa yang tersembunyi di balik nama Negara dengan kasus korupsi terbesar di dunia?”
“mmm, Negara kita….. bobrok?”
“hush! Hati-hati dengan ucapanmu nafa. Ucapan itu adalah doa.” Tegur fatih yang membuatku menyesal telah berkomentar seperti itu.
“lha terus apa?? Jangan membuatku tambah emosi donk kamu itu fat…” keluhku karena fatih memang telah menguras emosiku.
“baiklah, aku akan menjawabnya asalkan kamu berhenti untuk tidak sabaran.”
“fatih!” umpatku seraya menarik kerah bajunya.
“whoah, kamu mau membunuhku ya?” sergah fatih dengan nafas yang sedikit teredak karena tarikanku tadi.
“kalau kamu tidak segera menjawabnya, maka jawabanku adalah iya.”
“ok ok.” Fatih menarik nafasnya setelah ia berhasil melemparkan Koran melewati gerbang pelanggannya dan mengayuh sepedanya lagi.
“saat kita kecil dulu, kita disebut pemain kelereng yang hebat apabila mendapatkan kelereng yang paling banyak. Iya kan?” aku hanya menganggukkan kepalaku mengerti sekalipun aku tau dia tidak melihatku.
“nah, sama saja dengan Negara kita. Semakin tinggi prestasi kita yang kamu bilang memalukan itu, itu menunjukkan semakin hebatnya Negara kita dalam menemukan kasus korupsi yang selama ini masih belum terungkap kan? Dan semakin banyak para koruptor yang tertangkap, aku yakin para pejabat lain yang ingin melakukan korupsi masih pikir-pikir terlebih dahulu kalau mereka tidak ingin berakhir seperti para pendahulu mereka. Saat ini, maraknya kasus korupsi karena kurang ketatnya penjagaan pemerintah terdahulu. Sebenarnya kita hanya membutuhkan pejabat yang Amanah Naf. Amanah terhadap tugas dan kewajiban mereka. Dan jika sudah seperti itu maka Indonesia……”
“Indonesia bersih.” Lanjutku saat aku bisa menangkap maksud perkataan fatih. Aku menatap tengkuk fatih seakan tidak menduga kalau paras yang berada dibalik tengkuk itu masih kalah jauh dibandingkan kekagumanku pada setiap apa yang dikatakan fatih. Dan entah kenapa, aku seakan tak ingin jauh darinya.
“kamu memang cerdas naf.” Puji fatih yang mau tak mau langsung membuat pipiku memerah.
"Biarkan saja saat ini Indonesia jatuh. Karna suatu saat nanti, aku yakin Indonesia akan menunjukkan singa asia nya kembali. " lanjut Fatih dengan yakin.
Aku mengamini harapannya dalam hati. Saat mataku jatuh pada headline Koran yang ada dipangkuanku, aku tak bisa memendam apa yang pertama kali terbesit di hatiku.
“aku sangat membencimu!” seruku. Dan tiba-tiba fatih mengerem sepedanya mendadak hingga membuatku terjungkal ke depan menabrak punggung fatih.
“ada apa?” Tanyaku masih mengatur nafasku yang tersenggal karena terkejut.
“bukan apa-apa. Hanya saja---kamu membenciku?”
Aku tertawa pelan mendengar pertanyaan Fatih. “aku? Hahaha… ya enggaklah. Gak akan pernah.”
###
“apapun yang kamu lihat nanti, aku tidak akan melarangmu untuk kecawa ataupun marah.” Ujar Fatih saat kami memasuki sebuah rumah besar dengan halaman yang luas. Aku tak mengerti apa yang dimaksudkan Fatih. Atau lebih tepatnya aku tak menghiaraukan apa yang dibicarakan olehnya. Aku sudah tertegun sekaligus mengagumi bangunan yang ada di depanku kini. Fatih bilang kalau ia harus mengambil buku yang ketinggalan di rumahnya. Tapi kenapa Fatih malah masuk ke rumah ini? Apa mungkin ini rumah atasan Fatih?
Fatih membuka pintu rumah itu tanpa mengetuk selayaknya rumah sendiri. Aku hendak menegurnya kalau itu tidak sopan, jika saja aku tidak mendengar subuah suara dari balik pintunya.
“Fatih! Sudah berapa kali ayah bilang jangan lanjutkan pekerjaan rendah yang tak perlu kamu lakukan itu!” suara yang diucapkan dengan nada tinggi itu membuatku terhenti di samping pintu. Urung untuk masuk mengikuti Fatih.
“Fatih! Dengarkan ayah! Apapun yang ayah lakukan hanya untuk kebahagiaan kamu dan ibumu. Tidak ada yang lain. Ayah sangat menyayangi kalian.”
“sayang ayah hanyalah bungkus dari Nafsu serakah ayah. Ayah tidak perlu membawa-bawa kami sebagai alasan. Terang saja ibu lebih memilih pergi daripada bersama ayah. Dan sebentar lagi aku pasti juga akan menyusul ibu. Terima kasih ayah sudah membiayai hidupku dengan uang yang ayah agung-agungkan itu. Setelah uangku terkumpul, aku janji akan mengembalikan semua kertas yang ayah anggap uang dari jerih payah ayah itu. Dan jangan merendahkan pekerjaanku yang jauh lebih baik dari pekerjaan ayah.” Seru Fatih sebelum ia muncul dihadapanku dengan raut wajah yang tampak merah padam. Begitupun ayahnya. Dengan membawa buku ditangan kirinya, tangan kanannya tiba-tiba menarik pergelangan tanganku dan membawaku menjauh dari rumah itu.
“dasar kamu anak tak tau diuntung!” teriak ayah Fatih sebelum terdengar bunyi BRAK dari pintu yang sepertinya mendapat tendangan yang cukup keras.
Aku menyentakkan tanganku dari genggaman Fatih dengan geram. Mungkin aku bisa mentolerir kalau ternyata Fatih bukan anak dari orang yang tak punya seperti yang aku duga sebelumnya sehingga dia harus membantu orang tuanya dengan menjadi seorang loper koran. Namun, yang mengusik pikiranku adalah….
“bagaimana mungkin kamu bisa seperti itu pada ayahmu Fatih?” tanyaku dengan mata yang tergenang air mata. Entah kenapa hatiku perih. Sosok Fatih yang kukenal, apakah memang seperti ini?
Fatih menundukkan kepalanya menyapukan pandangannya padaku.
“ini tak seperti yang kamu lihat dengan mata telanjang. Tapi Nafa, bukankah aku sudah pernah bilang aku tak akan pernah melarangmu untuk kecewa ataupun marah?”
Bagaimana mungkin aku tak marah? Bagaimana mungkin aku tak kecewa? Aku tak bisa berteriak padanya. Hanya air mata yang meluapkan segalanya.
###
Aku membelalakkan mataku ketika melihat headline koran hari ini. Wajah dikoran ini, sepertinya aku pernah menemuinya. Wajah dikoran ini, tidak salah lagi. Ini ayah Fatih! Dan aku melihat ayahku di sampingnya. Saat aku melihat judul dari headline yang memuat foto ayah Fatih.
KORUPSI TERUNGKAP, KPK LANGSUNG TANGGAP
Dan penyelidik kasus ini, ayahku.
0 komentar: