Jumat, 30 Desember 2016

Worta-yeon, Brokoli-hye, dan Jagung-in

Kisah ini tentang  Worta-yeon, Brokoli-hye, dan Jagung-in. Ah, darimanakah aku harus bercerita? Dari sudut pandang siapa yang ingin paling bikin kalian penasaran?? Gimana kalau dari sudut pandang worta-yeon? 

Worta-yeon

Aku terlahir menjadi salah satu bagian dari tumbuhan. Menurut ilmu anatomi yang pernah ku dengar, di buku manusia aku disebut sebagai akar. Yah, aku adalah bagian yang tumbuh di dalam tanah. Tapi aku tak menyesali itu sedikitpun. Di dalam tanah tidak segelap yang mereka bayangkan. Hampir setiap saat ada hewan-hewan kecil yang kadang manari-nari menghiburku dan teman temanku yang lain. Ah, manusia sering menyebutnya konser. Bahkan kita pun juga memiliki jadwal konser sendiri.😄

"Eh, tau gak. Kita termasuk wortel yang beruntung kalau bisa menjadi salah satu bagian jus". Seru salah satu temanku, worta-man,  memicu percakapan. 

"Setuju! Kalau jadi jus, kita bisa menempati ruangan kita sendiri. Dan jika nasib kita mujur, ruangan kita terkadang terbuat dari kaca." timpal worta-hyun

"Oh ya? Ku dengar katanya kita juga ditempatkan di atas meja podium ya??" saut worta-sung. 

"Waaah... Senengnya. Jadi gak sabar pengen segera keluar dari sini. Rasanya udah lelah tiap hari harus mendorong tanah disekelilingku tiap kali tubuhku membesar." celetuk worta-ri yang berada di sampingku. 

Benarkah? Apakah menjadi jus adalah satu-satunya nasib yang paling beruntung? 

"Kalau kamu gimana worta-yeon? Kamu juga pengen jadi jus kan?" worta-ri menyenggol bahuku. 

Aku tersenyum dengan memamerkan sedikit gigiku dan menggelengkan kepalaku pelan. "Enggak... "
Mendengar jawabanku, secara serentak semua penghuni tanah menolehkan kepala mereka padaku. Mendapat respon seperti itu, tentu saja membuat jantungku seakan berhenti berdetak. Aku tak mengira kalau mereka akan seterkejut itu. 
"Waaah, kamu gak waras deh kalau gak pengen jadi jus." celetuk suara yang langsung mendapat persetujuan semua penghuni.

"Kenapa?" tanyaku tak mengerti. Gak ada yang salah meskipun aku tak ingin menjadi jus. Iya kan?

"Gak normal kayaknya kamu. Coba sebutin alasan kenapa kamu gak pengen jadi jus?"

Jujur, aku bukan orang yang suka berbicara kalau tidak ada alasan yang membuatku bicara. Menurutku, pendengar yang baik lebih keren kan? -pose Vline-. Aku menghela nafas panjang sebelum mengangkat suaraku. Sebisa mungkin aku menatap balik mata-mata yang menatapku tajam dengan sebiasa yang aku bisa. 

"Setauku, kita ada untuk dimanfaatkan oleh manusia. Iya kan?" aku melihat ada beberapa yang mengangguk pelan, ada juga yang memicingkan matanya seakan baru pertama kali mendengarnya. "Menurutku, jadi jus bukan satu-satunya hasrat kita dicap sebagai wortel yang beruntung. Oke. Bisa jadi kita memang terlihat istimewa jika menjadi jus. Di pajang di estalase toko mereka, mendapat ruangan sendiri, terbuat dari kaca kayak sepatu cinderella dan mungkin bisa juga emas. Tapi itu hanya bermanfaat untuk manusia yang mempunyai lembar bernominal banyak, sedangkan tidak untuk mereka yang bahkan tidak punya lembar bernominal hanya logam dengan dua angka kosong dibelakangnya? Mereka tidak bisa memanfaatkan kita. Karena itu aku gak mau menjadi jus"

"Trus, kamu pengen jadi apa?"

To be continue...


0 komentar:

Minggu, 27 November 2016

Istiqomah Mencintai "mu"



Ini tentang kisah kita. Kisah antara aku dan ‘kamu’ yang sengaja dipertemukan. Apakah kamu ingat pertemuan pertama kita? sebenarnya aku juga tidak terlalu mengingatnya. Tapi kurasa kita sudah dipertemukan sebelum aku menghela nafas peertamaku di dunia ini. Rasanya aku sudah bertemu denganmu saat aku masih berupa janin di perut ibuku… ^_^

Kisah kita berjalan biasa saja tanpa ada yang istimewa hingga pada akhirnya ada magnet yang sangat kuat yang menarikku padamu.
Jika pasangan lain sering berkata “kalau cinta itu tak beralasan”, tapi bagiku mencintaimu adalah alasan terkuatku. Harus ada alasan untuk cinta yang terasakan, iya kan? karena alasan itulah yang akan membuat kita tetap bertahan. Dan aku memiliki seribu alasan untuk mencintaimu. Ah, tidak. Aku memiliki lebih dari seribu alasan untuk mencintaimu. Tapi hanya satu alasan besar yang membuatku tetap bertahan meskipun terkadang ada air mata yang mengiringi perjalanan kita. Dan alasan itu karenamu membuatku merasa lebih dekat dengan-Nya.

Yah. Aku tau tidak semua hubungan berjalan dengan lancar. Begitupun dengan kisah kita.

Kata mereka, ‘cemburu adalah tanda cinta’. Tapi kamu adalah tipe paling pencemburu yang pernah aku temui. Kamu selalu marah setiap kali aku memperhatikan hal lain. Bahkan sehari tak kusapa, kesalmupun tak bisa kuhindari. Seperti tali kekang kuda nih ya, baru kulonggarkan sedikit saja kamu udah lari. Hhh, dan untuk meredakan kemarahanmu itu membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Tak bisakah kamu kurangi sedikit saja kadar cemburumu?

Kamu tau, pasangan lain tak ingin yang lainnya melupakannya meskipun mereka berjauhan. Sedangkan kamu malah membuatku melupakanmu saat aku baru selangkah saja menjauh darimu. Kamu tau berapa waktu yang kuperlukan untuk mendekatimu kembali? Bahkan saat kita dekat lagipun terkadang marahmu masih tersisa.

Namun…

Aku sadar. Sifat pecemburumu itu adalah untuk kebaikanku. Kamu cemburu saat aku teralihkan oleh hal lain selain kamu adalah caramu menunjukkan padaku betapa kamu mencintaiku. Caramu membuatku melupakanku saat aku selangkah lebih jauh darimu adalah untuk meberitahuku kalau kamu sangat merindukanku.Yah, kamu memang saksi yang paling banyak melihatku menangis di hadapan Tuhan. Kamu adalah penguat saat aku mulai goyah. Kamu adalah cahaya saat jalanku mulai gelap. Dan kamulah yang membuatku lebih dekat dengan-Nya.

Tidak hanya terucap dibibirku, maukah kamu tersimpan di hatiku?
Al-Qur’anku.


Dari yang mencintaimu,


An

0 komentar:

Kamis, 24 November 2016

"Amankan" Bumbu Masak Sendiri

Yang biasanya suka masak, angkat tangan! (Nyembunyiin tangan dibelakang punggung sambil pura-pura gak dengar.😅)

Nah, ini ada info baru buat yang hobi masak..

Buat yang lebih suka bikin bumbu sendiri, kita bisa buat bumbu awet tanpa bahan pengawet. Mau kepoin caranya? Yuk, capcus aja.

Lemak, bisa digunakan sebagai bahan pengawet lho... Itu jadi alasan knapa pas ibu-ibu pengen bumbunya awet, digoreng dulu. Nah, disini ada alternatif lain pengawetan bumbu tanpa minyak goreng.

Sebenernya, bahan-bahan yg kita buat menjadi bumbu itu mengandung minyak. Misalnya, kunyit, bawang merah, bawang putih, cabai dsb. Jadi kita hanya perlu mengeluarkan minyak yang terkandung dalam bahan bahan bumbu tersebut. Caranya, panasin aja bumbunya dengan api yang kecil. Pemanasan ini bisa untuk menguapkan kandungan air dalam bumbu. Jadi, mikroorganisme tidak dapat tumbuh dalam bumbu yang kita buat. Selain itu, pemanasan ini untuk memecah ikatan antara lemak dengan protein sehingga lemak dapat keluar dari bahan-bahan tersebut dan (insyaallah) dapat mengawetkan bumbu kita.

Selamat bereksperimen...
Smoga bermanfaat...
Insyaallah.

Oh iya, laboratorium terkeren kita itu Dapur. Hahaha

Ilmu by bu Akyunul Jannah, MP

0 komentar:

Love Chemist

Tidak ada bahan yang berbahaya, tapi apapun yang digunakan secara berlebihan pasti berbahaya.

Pernah dengar kalam Tuhan,

وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Makan dan minumlah kalian, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. (QS. Al A`raaf : 31)

Nah, begitupun dengan senyawa kimia. Sebenarnya tubuh kita adalah pusat dari semua reaksi kimia. Reaksi apapun ada di dalam tubuh kita. Senyawa apapun pasti bisa ditemukan di dalam tubuh kita. Bayangkan seberapa sibuknya tubuh kita mengatur semua senyawa kimia yang masuk dalam tubuh dan menjadikan kita dapat bernafas, bergerak, melihat dan lain sebagainya. Eh, jangan salah. Ingat, oksigen juga bahan kimia lho....

Jadi, klo anak kimia tidak pernah berfikir 'subhanallah', berarti ada yang salah dengan pikirannya. Ups!  Maaf kasar... Hehehe

Dan buat temen-temen, yuk sisihin pemikiran kalau anak kimia itu cuma bisa buat bom aja. Kita bukan pembuat bom kok... Klo disuruh bikin, bisa aja sih. Tapi bom Cinta. Lhoh! Ngelantur. Hahaha

Disini, saya hanya mencoba untuk membagi ilmu yang saya dapat di perjalanan studi saya. Smoga bermanfaat ya....

0 komentar:

Selasa, 22 November 2016

Teruntuk Kamu, yang Langsung Berubah kalau Udah Laper

Teruntuk yang langsung berubah 180 derajat kalau udah lapar… hehehe

Ini tentang sebuah ikatan tanpa darah. Ini tentang cerita perjalanan yang pernah dan akan terlangkahi bersama. Ini tentang perjuangan menggapai impian yang sama…
Aku tak tau kalau ternyata persahabatan itu benar-benar ada. Dan saat ini, kurasa memberikan dia stempel sahabat yang baik adalah sebuah keharusan.
Tunggu deh. Kok jadi puitis gini sih? Ganti pake bahasa biasanya aja ya… ntar yang pengen disampekan malah gak tersampekan. Iya gak?

Nah. Ini tentang seorang teman yang awalnya hanya dipertemukan dalam satu mabna di kampus. Jangankan menyapa, namanya saja aku gak tau. Paling-paling kalau gak sengaja ketemu, cuma ngelirik aja… hahaha. Bukannya sombong atau yang lainnya, tapi saat itu aku baru pertama kali menginjak bumi UIN. Dan gak mungkin kan aku bisa menghafal satu persatu 3000 an mahasantri? Jangankan mahasantri, orang temen kimia seangkatan aja aku gak hafal namanya… hahaha Maklumi aja, aku paling lemah kalau disuruh nginget nama… kecuali namanya. (lhoh!)
Mungkin Tuhan sudah menggariskan kita untuk bertemu lagi setelah keluar dari ma’had UIN. (ceileh, bahasanya…) Jadi aku melihatnya lagi di MHB Darul Hikmah dan entah secara kebetulan atau apa, pengasuh ma’hadku menjadikan kita partner ‘muroja’ah’ tiap pagi dan malam. Dan mungkin karena itulah kita lebih banyak berbagi.
Hidup di kota yang penuh dengan gemerlap menyilaukan, memaksa kita untuk membentengi diri agar tidak sampai ‘diciptakan oleh lingkungan’. Dan mendapatkan seorang teman yang memiliki prinsip yang sama seperti itu seakan mencari zabra di kandang kuda! (lhah, kok gak nyambung?). Dan anggap saja nemuin ‘zebra’ itu adalah suatu keberuntungan. (Ssst. Jangan bilang-bilang… nanti dia ke-PD-an. Hahaha)

“wes, ancen konco adem panas”
Itu yang pernah dia katakan dan langsung kusetujui. Yaps, hidup memang harus kayak jungkat-jungkit. Bisa jadi kita berada di atas atau di bawah, tapi sengaknya kita masih punya titik tumpu yang tidak menutup kemungkinan akan menjadikan kita berada pada keseimbangan. Seandainya aku dan dia ada di permainan jungkat-jungkit nih, saat salah satu dari kita berada terlalu ke bawah, maka yang lain akan menambahkan ‘beban’nya agar bisa mengangkat yang lain. Dan begitupun yang berada di bawah, akan meringankan tubuhnya agar bisa naik ke atas hingga kita selalu berada pada posisi yang selalu sejajar.
Bukan menggunakan prinsip memberi dan menerima, tapi prinsip berbagi.
Berbagi tawa, berbagi air mata, berbagi cerita, berbagi rezeki, berbagi keringat, tapi tidak berbagi hati lhoh ya… hahaha

“Teman serasa sodara”

Yah, kadang aku jadi kakak dia jadi adik.. tapi lebih sering aku yang jadi adik, dia yang jadi kakak. Hehehe

Teruntuk sahabatku, saudaraku yang langsung berubah kalau udah laper…(jangan penasaran gimana perubahannya. Sumpah horror banget!).  Trimaksih buat semuanya ya.
Trimakasih udah mau berbagi denganku, trimaksih udah mau menjadi teman berjuang (semoga bisa ‘wisuda’ bareng ya… apa sekalian nikahnya juga? Ups!) trimakasih mau nemenin begadang pas aku ‘kencan’ sama laporan meskipun sambil merem, trimakasih udah selalu sabar pas yang disemakin merem-merem, trimaksih udah membuatku menemukan ketulusan, terimakasih udah menjadi pendengar yang baik meskipun gak jarang aku ngomong ngelantur, trimakasih mau menahan malu kalau aku udah mulai gila, trimakasih udah memamiku meskipun terkadang yang ingin dipahami ‘aneh’, dan trimakasih udah bisa menjad teman sekaligus saudara tanpa ikatan darah…


Teruntuk saudaraku yang langsung berubah kalau udah laper, “kene ancen konco adem panas”. Hahaha

0 komentar:

Rabu, 16 November 2016

Mereka membutuhkanmu

Hal yang paling menyenangkan saat mencari adalah rasa yakin akan dipertemukan.

Hari itu adalah hari dimana batu sandungan mulai menghalangi langkah tersarukku. Tapi aku juga bersyukur, karena batu yang menyandungku itu (dengan ditemani Tuhan) mampu kukumpulkan untuk membangun jembatanku. Semoga.

Yah. Saat mendapat telphon kalau nengku ‘kritis’, aku tak bisa menulis laporan dengan tenang. Seandainya saja aku punya baling-baling bambu seperti di salah satu kartun favoritku dulu, atau mungkin sajadah terbang seperti dalam salah satu dongeng kesukaanku, tentu saja aku akan langsung pulang. Tapi aku harus ingat, dunia ini tak seperti di dalam cerita.

Mungkin Tuhan mendengar desiran hatiku, hingga pada akhirnya ada seorang sahabat yang –kuminta- menawarkan kebaikannya untuk menjadi baling-baling bambu dan sajadah terbangku. Hingga pada akhirnya aku berhasil duduk di samping nengku yang bahkan salah mengenaliku. Tubuh kurusnya tinggal tulang dan kulit, mata kuningnya yang terkadang kehilangan warna hitamnya, jarum-jarum dan kabel yang memenuhi kedua tangannya, dan bahkan ada penjepit jemuran yang sengaja dijepitkan di ujung jarinya. Penjepit itu terhubung dengan layar komputer yang bertuliskan angka yang tidak pasti. Kadang naik, dan tak jarang juga turun. Nengku yang wajah cantiknya terbalut hijab, kini terlihat 3 kali lebih tua dari ibuku.

“neng pundi?” itulah pertanyaan yang slalu kudengar.
“ayo wangsol. Kulo wangsol teng griyane neng…” dan kalimat itu juga tidak asing diceritakan oleh ibuku. Yah, nengku adalah adik ibuku.

Aku menghela nafas panjang saat melihat neng menarik manja baju ibuku agar membawanya pulang ke rumah. Aku teringat ke-empat anak-anaknya yang selalu mengharapkan kehadiran neng. Anak pertama dan keduanya berada di penjara suci yang pernah menjadi penjaraku, satu anak perempuannya yang di rumah, dan satu anak terakhirnya yang seakan menjadi anak adik terakhirku. Ah, tidak. Aku masih punya satu adik lagi yang tidak sedarah denganku. Kalian boleh menyebut rumahku adalah tempat berkumpulnya kaum muda dan anak-anak. Karena tak jarang anak-anak dari adik-adiknya ibu dan ayah memilih bermain di rumah saat liburan. Haruskah aku buatkan taman bermain juga?

Kembali ke nengku.
Dua hari saja aku tidak berkomunikasi dengan ibu, rasanya seperti memikul batu bara di bahuku. Karena bagaimanapun juga, aku selalu menceritakan hal sekecil apapun pada ibu. Termasuk soal cinta. Teringat anak-anak neng di pondok yang tidak bertemu ibunya sebulan lebih, tentu saja membuatku memelintir hatiku. Apalagi mereka juga tidak diberitau tentang keadaan ibunya. Jika aku menjadi mereka, tentu saja aku akan marah.

Aku memang bukan orang yang pandai mengatasi masalah mengunakan pikiranku, tapi aku percaya dengan hatiku. Meskipun suami nengku melarang untuk memberitahu anak-anaknya tentang ibunya, aku dengan ke-keraskepalaanku mendatangi pondok mereka dengan bekal kepercayaan. Mereka butuh ibu mereka. Dan keyakinanku pada hatiku semakin kuat saat mereka menangis tersedu-sedu di bahuku. Padahal aku belum mengatakan apapun tentang ibu mereka.

“lhoh, kok nangis? Kenapa ini? masalah kamar?” tanyaku. Dia mengeleng.
“masalah sekolah?” dia juga menggeleng.
“kangen ibu?” dia mengangguk cepat diiringi isak yang semakin keras. Tidak ada yang bisa kulakukan selain membiarkannya menangis dibahuku dan mengusap kepalanya pelan. Tak terasa ada genangan di sudut mataku yang langsung kuhapus sebelum ada yang melihatnya. Untuk menghibur orang yang menangis, aku tak boleh menunjukkan air mataku.

Mereka butuh ibu mereka. Mereka harus tau keadaan ibu mereka.

“izin aja ya… besok dijemput pakdhe sama budhe di sini.” Ucap ayahku yang mendapat anggukan dari mereka. Keputusan ayah itu membuatku langsung melangkah menuju kantor pengurus dan memintakan izin mereka keluar pondok.

Yah. Aku hanya dapat berdoa untuknya. Meskipun orang berbaju putih yang selalu mendatanginya itu mengatakan kesembuhannya hanya 25%, dan taruhan kehidupannya 50:50, aku tak ingin mempercayainya. Bukan dia yang bisa menentukan kehidupan seseorang. Bukan dia yang berhak mengklaim berapa banyak waktu yang tersisa untuk nengku menghirup udara di dunia. Tapi Dia. Yah, Dia yang telah menggariskan perjalanan kita, Dia yang sudah menggambarkan seberapa panjang dan seberapa banyak liku yang akan kita tempuh dalam dunia ini.


Kalian tau apa yang paling kejam di dunia ini?? waktu.

An161116

Khususon neng umi, alfatihah.

0 komentar:

Senin, 07 November 2016

Kelabu

Karna mata itu tidak mencoba melihatmu
Biarkan saja pelangi bibirnya berguru angin lalu
Tinggalkan saja tutur pisaunya yang meratakan sembilu
Dan gerai saja ucapnya yang melawan serdadu asamu

Karna telinga itu tak mencoba mendengarmu
Redam saja letihmu dengan rangkaian senyummu
Usap saja jerihmu dengan senandung lagu
Dan lepas saja kesalmu dengan menutup matamu

Karna hati itu tak mencoba merasakanmu
Sapalah ia dengan mengetuk pintu harapanmu
Ajaklah ia mengintip semerbak jingga harapanmu
Dan berikan ia harapan merekah dengan simpul kasihmu

Karna ia belum tau,
Kamu tak harus berguru pada kelabu.

An071116

0 komentar:

Senin, 17 Oktober 2016

Ajak Aku ke Duniamu. (Ayo...)

Percakapan 1
"Anna, bawa aku donk... " pinta si A.
"Ha? Kemana?" jujur, aku gak ngerti apa yang dia maksudkan.
"Ke dunia ceria kamu"
Whaaaat!!!!😱
Dia gak seriusan kan?

Percakapan 2
"mbak Anna, aku pengen bisa kayak sampean." ujar si B
"Ha? Apanya?" tanyaku.
"Sampean itu kalau ngadepin sesuatu santaaai banget gitu mbak. Serasa gak ada beban."
"Lhoh, jangan. Jalan sesat entar." jawabku dan terkekeh.
Santai dan nyantaiin itu beda lhooo.... 😅
Percakapan 3
"Pas kamu cerita lucu, bukan ceritanya yang bikin lucu. Tapi kamu." tukas si C
Siiip. Gimana klo aku jadi badut aja? 🙋

Percakapan 4
"Hebat. Kamu tegar An." celetuk D
"Apanya?" please deh. Itu pas lagi makan-makan tiba-tiba bilang gitu.
"Gak papa. Aku salut sama kamu... Padahal banyak hal yang kamu sembunyikan."
Yaps. Banyak hal yang disembunyiin emang... Mau main petak umpet?💃

Percakapan 5
"Kamu tau kapan harus bersikap. Kadang kamu manja, kadang kamu dewasa." ucap si E

Aduh, kayaknya kebanyakan percakapan deh.
Jadi yang mau kusampaiin di sini, trimakasih karna mau repot-repot merhatiin aku. Eak, ke-PD.an.😄

Teman-teman, kita semua sama kok. Setiap orang pasti punya masalah yang kadang mengikis senyum dari bibir kita... (Sok puitis! ). Hanya saja kita punya satu perbedaan.

Topengku lebih tebal dari kalian.☺

Karna kebahagiaan sejati itu bukan karna senyum kita. Tapi saat kita membuat orang lain tersenyum karna kita.

Ada yang pernah denger kalau 'air mata adalah senjatanya perempuan?'??
Wanita dirumahku bilang (ibu maksudnya...), "air mata itu bukan senjata. Tapi kelemahan."
Saat berperang, apa ada petarung yang mau kelemahannya diketahui? Nah, begitupun dengan kehidupan kita. Kita sedang bertarung lho braaaaaiiiis... Jangan biarkan dunia melihat air matamu.😎

Kalau nangisnya di depan orang, dia akan mengusap air matamu sampe kering.
Tapi kalau nangisnya di depan Tuhan, dia akan menampung air matamu dan menjadikannya kolam untukmu berenang nanti. (Tenang aja. Yang belum bisa renang, nanti bakal langsung bisa tanpa kursus kok!).

"Meskipun aku melihat dengan jelas dari matamu, aku akan pura-pura tidak tau agar kamu tetap bisa memperlihatkan senyummu. Aku hanya tidak ingin kamu menangis untuk orang lain, saat ada orang yang selalu ingin melihatmu tersenyum". (Noname deh.)

Yuk, bareng-bareng jaga senyum kita. Hati boleh menangis, tapi senyum gak boleh hilang... (Biar aku ada temennya... Hehehe).

#smileforeveryday

0 komentar:

Sabtu, 15 Oktober 2016

15 Oktober 2016 (17.25 WIB)

"Pulang sekarang aja" sahut ayah dari balik telephon.
Waah, bagaimana mungkin ayah menyuruhku pulang saat apa yang ingin kuurusi di sini belum selesai? DisiniBahkan di sini itu bukan tempat yang asing. Aku sudah pernah berada di sini selama 6 tahun. Yah, di sini yang kumaksud adalah tempat kedua aku tumbuh menjadi seperti ini. Pondok.

"Kalau pulang itu ya ngehabisin waktunya di rumah, sama keluarga. Bukan di pondok."

Aku menghela nafas panjang. Yah, aku memang pulang jika ada banyak alasan yang mengharuskanku pulang. Perjalanan dari Malang ke Pasuruan bukanlah perjalanan yang singkat, dan meninggalkan Malang bagiku seperti meninggalkan tanggung jawab yang belum kuselesaikan. Karna itu, aku tak bisa pulang kapanpun aku ingin.

"Gak bisa ayaaah... Anna masih belum ketemu teman-teman Anna. Dan apa yang ingin anna sampaikan pada mereka belum tersampaikan... " jelasku.

"Titipin aja. Beres kan? Udah. Pulang sekarang aja." paksa ayah.

Ayah kenapa sih? Batinku.
"Gak bisa ayah... Anna ke sini biar ketemu teman-teman. Ngapain anna ke sini kalau gak ketemu mereka?"
Cetusku dengan nada yang sedikit lebih tinggi. Apa salahnya aku di pondok? Toh, aku gak ke pantai, ke gunung atau ke tempat manapun yang kata ayah bisa membahayakanku. Aku bahkan tidak mengendarai motor sendiri. Dan lagi aku juga bakalan pulang ke rumah. Tapi tidak sekarang. Tidak sebelum urusan-urusanku di sini selesai. Ayolaaah, sampai kapan aku terus di-dikte?

"Ya udah. Ntar Anna dijemput sore aja ya sama ayah..." suara lembut ibu menenangkanku. Meskipun sebenarnya aku tak bisa menyembunyikan bibir manyunku.

###

Menyimpulkan sesuatu dengan kepala yang masih mendidih adalah kesalahan yang fatal. Itulah yang aku lakukan tadi.

Saat kepalaku dingin, aku baru mengerti apa yang sebenarnya dimaksudkan ayah.
"Pulang sekarang aja!" ayah kangen...
"Pulang itu ngehabisin waktunya sama keluarga, bukan di pondok" ayah ingin menghabiskan waktu dengan Anna...
"Udah. Titipin aja. Bereskan?" Agar ada lebih banyak waktu berbicara sebelum Anna kembali.

Yah. Sepertinya ayahku memiliki hukum, KASIH SAYANG=PROTEKTIF. Yang artinya semakin protektif, maka semakin besar pula kasih sayangnya. Dan mengingat bagaimana cara ayah mengikatku, memegang tanganku, mengawasi gerikku hingga aku merasa ada tali yang dipasang dileherku, ternyata aku sering mengabaikan alasan di balik semua itu.

Trimakasih untuk semuanya ayah.
Maaf, jika aku terlalu bodoh untuk memahami setiap kasih yang tak pernah bisa kau katakan secara langsung.

Aku jadi berpikir, apakah semua lelaki memang sulit untuk mengatakan apa yang sebenarnya mereka rasakan?

0 komentar:

Sabtu, 08 Oktober 2016

Harapan

Harapan.

Aku yakin setiap orang pasti punya harapan yang ingin mereka capai nantinya. Termasuk juga aku.

Memiliki harapan adalah sebuah keharusan. Karena bagaimanapun juga, harapan yang membuat kita tetap bertahan, harapan juga yang membuat kita tetap berjalan, dan harapan yang membuat kita tak menyerah.

Harapanku? Aku punya list daftar harapan yang ingin kucapai. Dan sebisa mungkin langkah ini kugerakkan mendekati harapan-harapanku. Namun aku sering melalaikan satu hal. Ini bukan tentang aku saja. Ini tentang aku dan mereka yang kusayangi.

"Kamu adalah harapan ayah dan ibu. Kamu juga harapan adik-adikmu"
Kalimat itu yang selalu membuatku tak bisa berhenti meskipun aku ingin menyerah.

Mendengar harapan orang tuaku, aku menyalahkan diriku sendiri karena harapanku padamu.

Selayaknya aku menjaga harapan orang tuaku, apakah mungkin kamu menjaga harapanku?

0 komentar:

Sabtu, 01 Oktober 2016

Topiknya sih 'Hujan'

Hujan ya?
Waaah. Biasanya suasana kayak gini ini yang bikin seorang -yang ngaku- penulis mulai menarikan jemarinya di atas lembaran. Eak.😄

Ah, hujan turun lagi
Gantikan derai yang seharusnya kutanggung sendiri
Ramaikan kisah yang seharusnya kusimpan sendiri
Dan mungkin dia juga telah semarakkan rinduku ke seluruh penghuni bumi

Nah. Gimana? Nyesek gak dengernya? Tapi, gimana kalau gini

Ah, hujan turun lagi
Dendangkan iramanya bersama bumi
Menawarkan senyumnya pada bunga melati
Dan sepertinya tetesannya berlomba menyentuh kakiku berdiri

Gimana? Beda kan?😉
Yaps. Itu emang kelemahannya seorang -yang ngaku- penulis kok. Gak ada yang sederhana bagi mereka. Mereka yakin, sesuatu yang sederhana adalah hal yang menarik perhatian. Gak ada hal kecil bagi mereka. Mereka yakin, hal yang kecil adalah hal yang seharusnya menyita mata. Gak hal yang biasa bagi mereka. Mereka yakin, hal yang biasa akan menjadi tanpa batas di bawah kata-kata. 😉
Satu hal, mereka memang dituntut untuk emosional dan membuat orang emosional. Iya gak temen temen yang suka nulis?😙

Bagi mereka-aku terkhususnya-, menulis itu bukan untuk dapet like banyak, bukan untuk nyindir seseorang, bukan untuk merayu calon atau yang udah punya pasangan. Tapi bagi kami, menulis itu kebutuhan. Saat menulis, mungkin tidak semuanya mendapat jawaban tapi kami mendapatkan hati yang lebih lapang. Seperti habis lari 1 km, trus minum air putih sambil selonjoran di pinggir lapangan gitu deh rasanya. Ditemeni semilir angin lagi .😆


Sebenernya tidak ada yang namanya penulis sama pembaca. Kita sama sama penulis, penulis kisah dalam kehidupan kita. Iya gak? 😘
Jadi gak ada tuh tuntutan kalo kamu bisa nulis gini, nulis gitu, nulis gono baru bisa dikatakan penulis. Enggak tuh.
Sebenarnya ceritanya orang yang suka nulis itu sama kayak yang lain. Hanya saja, dia punya sudut pandang yang berbeda. Kutegasin lagi, SUDUT PANDANG. Karna itu, orang yang suka nulis itu terkadang punya keanehan dalam memandang sesuatu. Jadi maafin ya kalau tiba-tiba saja saya ngomongnya aneh dan gak bisa difahami. 😁

Oh iya. Mau tau arti hujan selain air mata dan kenangan?

Orkestra!!!😍🎊🎉🎋🔉🔊🎹🎻🎺🎷🎸🎺🎹🎶🎵🎼🎤

0 komentar:

Kamis, 29 September 2016

💌


Aku bukanlah perempuan hebat
Kujadikan laut sebagai harapanku
Kujadikan mentari sebagai pelukanku
Dan kujadikan merpati sebagai sayapku

Aku bukanlah perempuan pemberani
Yang menantang langit di atas gunung
Yang menantang karang di dasar laut
Dan menantang hujan di bawah terik

Aku bukanlah perempuan kuat
Kupinjam kelam untuk sembunyikan deraiku
Kupinjam laut tuk jabarkan rinduku
Dan kupinjam angin tuk bisikkan namamu

Kamu...
Aku adalah perempuan yang hanya bisa menggoreskan tinta di atas lembaran
Aku adalah perempuan yang hanya bisa membahasakan kalbu
Dan aku adalah perempuan yang hanya bisa menunggumu menjemputku

Untukmu...
Masihkah doa kau salurkan untukku?

An290916

###



Gak serius gitu bacanya. Emang udah tugasnya orang yang suka nulis buat emosional dan jadiin orang emosional.😄😁


0 komentar:

Selasa, 27 September 2016

Terimakasih, 'musuh hatiku' 😊😘

Hidup itu, mengalirlah seperti air.

Pernah gak denger quote gitu? Kata mereka, hidup itu harus kayak air. Gak peduli sebesar dan sebanyak apapun batu yang menghalanginya, ia tetap berjalan. Dia pasti menemukan jalan untuk bisa lolos dan sampe ke muara.

Hidup itu jangan kayak air. Gak punya pendirian.

Kata mereka, air itu gak punya pegangan. Di taruh di mangkok, dia ngikuti bentuknya mangkok. Di taruh di gelas, dia ngikuti bentuknya gelas.

Hidup itu seharusnya kayak bunglon.

Kata mereka, bunglon itu adalah hewan yang paling pintar beradaptasi. Dia bisa membaur dengan sekelilingnya dengan mengubah warnanya. Tak peduli bagaimanapun lingkungannya.

Hidup itu jangan kayak bunglon. Dia itu pengecut.

Kata mereka, bunglon itu pengecut. Dia bersembunyi di balik topeng warna untuk melindungi dirinya. Dia bahkan jarang menampakkan dirinya sendiri.

Nah, lhoh. Yang bener yang mana ini?😏
Temen temen, kakak kakak, adik adik, bapak bapak, ibuk ibuk, kakek kakek, nenek nenek, buyut buyut... (Lhah, kok jadi kayak absen 7 turunan ya? 😄).
Di kehidupan itu gak ada yang namanya 100% salah, 100% bener. Emang UAS? Klo gak sesuai teori, berarti salah dan alamat dapet D. Kalau pas pake banget sama teori, dapet A+++++😄 Saja sst, jangan bilang bilang bu/pak dosen ya. Gak lucu kan kalo ada berita mahasiswi dapet nilai E sempurna pada ujiannya karna nyindir dosen?😰

Misalnya nih ada guru yang ngasih tugas gambar ulat di atas daun. Trus ada satu anak yg kertasnya masih kosong. Padahal anak anak yg lain udah ada yang ngumpulin, ada yang mewarnai ulatnya dengan warna biru. Bagi si guru, salah gak tuh anak gak menggambar? Dapet nilai gak?
Tapi klo si anak jawab, "daunnya di makan ulat bu, jadi daunnya habis. Trus ulatnya berubah jadi kepompong kemudian jadi kupu kupu. Ya udah deh kupu kupunya terbang."👦
Salah gak tuh anak?

Nah, hidup itu gitu. Salah bener cuma tergantung perspektif. Toh setiap orang pasti punya alasan kenapa dia bilang salah, kenapa dia bilang bener. Seperti halnya api gak akan muncul kalau gak ada pemicunya kan?🔥Untuk kebakaran, api itu sebabnya. Tapi untuk api, pemicu adalah penyebabnya. Dan untuk pemicu, yang menyalahkan pemicunyalah sebabnya. So, ini hanya permainan tentang sudut pandang kok...

Kayak si atom atom gas tuh.(ceileh... Sok sokan anak kimia... 😏😅). Gas itu unsur paling bebas dibanding unsur yg lain. Udah bergerak bebas, semaunya sendiri, tapi manfaatnya gak kalah sama unsur padat dan cair. Jadi, klo misalnya si gas gas ini ditaruh di kotak, mereka gak akan pernah bisa diam. Geraaaaak terus, lari lariii terus. Tapi saat ada satu gas yang menabrak dinding kiri kotak, pasti ada satu gas juga yang menabrak dinding kanan kotak. Mereka melakukan untuk menyeimbangkan sistem. Kalo gak seimbang, bisa bisa meledak tuh kotak! 💥🌟🏃

Begitupun kita. Saat kita melakukan sesuatu, pas ada aja tuh golongan kiri sama golongan kanan. Ada yang Cinta, pasti ada yang benci. Ada yang perhatian, pasti ada yang ngabaiin. Ada yang dekat, pasti ada jauh. Ada yang datang, pasti ada yang hilang. Semua itu ya untuk menyeimbangkan kehidupan kita...
Pernah bayangin gak klo di dunia ini hujannya bareng-bareng?💧💦Bisa bisa kita buka jamaah renang aja. Iya gak?😂

Udahlah. Acuhin aja golongan kiri yang bisanya cuma ngelirik sambil bisik bisik. Anggap aja mereka bagian penyeimbang hidup kita(aku juga dalam perjuangan pengacuhan ini... 🙆💪).

Nah, gimana kalo sekarang kita taruh kedua tangan di atas perut, trus membungkuk dan bilang bareng bareng
"감사합니다 (kamsahamnida~syukron~sie sie~arigato~trimakasih~matursuwun) udah nyeimbangin hidupku." trus tersenyum manis deh. Yang tersenyum, siap siap obat serangga. Ntar semutnya nyerang semua.(eak. Kok jadi ngegombal yak.😅)

An270916

0 komentar:

Minggu, 25 September 2016

Ikhlas (Di-Me) lepas (oleh) kamu

Ingatan itu memang masih ada
Kelebatan rasapun masih mengintip dibalik tirai kalbu
Hilang? Tidak. Ia hanya pernah tertutupi
Lambaian tanganmu pun masih tersambut
Ah, apakah kamu memanggilku?
Sejenak, rasa mengalahkan pantangan

Mungkin 'yang ingin kujaga' menampakkan cemburunya
Entahlah. Ia selalu tampak sedih saat perhatian ini teralihkan
Lembaran bisikankupun terkadang terabaikan
Empedu rasanya terkalahkan paitnya terlupakan
Perlu gelombang waktu yang besar untuk meredakan amarahnya
Ah, karna itulah aku berdiam di bawah temaram
Selangkah, dua langkah dan tiga langkah
Muara-Nya seakan membuka mataku
Untukku, untukmu, Dia sudah menyiapkan semuanya

karna itulah ikhlasku melepaskanmu
dan ikhlasku dilepas olehmu

percayakan Tuhan dengan janji dan rahasia-Nya

An230916

0 komentar:

Selasa, 13 September 2016

Kisah Layangku

Si A: Lihatlah layang-layang itu
Ia tertepa angin kalut
Ia tertabrak merpati cemberut
Ia tertutup gelapnya kabut
Bahkan senyumnya carut marut
Bukankah seharusnya kau tawari ia es serut?
Biar hatinya tak lagi mengkerut

Si B : Lihatlah layang-layang itu
Angin menyapanya dalam sendu
Merpati menghampirinya tuk berguru
Kabutpun membandingkannya dengan harapanmu
Bahkan senyumnyapun tak pernah berlalu
Bukankah seharusnya kau dekatkan dirimu?
Biar hatimu tak membiru

Layang-layang: Lihatlah mereka yang melihatku
Tatap mereka beradu tak tentu
Bahkan bertanyapun tak berlaku
Padahal kebenaranku hanya aku yang tau
Terimakasih angin, karna menjaga imbangku
Terimakasih merpati, karna menawarkan senyum untukku
Terimakasih kabut, karna menghalangi tangisku
Dan terimakasih kamu yang memegang taliku, karna masih mempertahankanku

Caramu menjagaku, WOW banget! 😊

#hastag, kamu.😄

0 komentar:

Rabu, 07 September 2016

Harapanmu, Pilihanku

“kamu itu maunya gimana sih nak…” tanya ibu sembari duduk di bibir ranjangku. Aku yang masih menyembunyikan air mataku di balik bantalpun tak berani menatap ibu. Pikiranku masih melayang disaat aku melihat pengumuman seleksi ujian mandiri tulisku di salah satu Universitas Negeri yang kupilih.

Maaf. Anda tidak diterima dalam seleksi ujian.

Dan itu bukan pertama kalinya aku mendapati tulisan itu saat aku memasukkan PIN dan password ujianku. SNMPTN, SPAN-PTAIN, dan SBMPTN, semua menyatakan kalau aku gagal dalam seleksi ujianku. Dan tadi pagi, harapan terakhirku untuk memasuki Universitas Negeri yang kupilih hancur sudah dengan tulisan merah yang tertera disana. Aku jadi bertanya-tanya, apakah aku tidak diridhoi Tuhan untuk kuliah tahun ini? Setelah tak sengaja mendengar percakapan ayah dan ibu saat aku tertidur kemarin malam, aku jadi ragu untuk melanjutkan studiku ke jenjang perkuliahan. Jujur, keluarga kami bukan keluarga yang tak pernah kekurangan uang. Bahkan tak jarang ayah harus meminjam uang dari paman-pamanku untuk membiayai sekolahku dan kedua adikku. Ayah dan ibu memang menanggapi baik saat aku berkata ingin kuliah, meskipun sebenarnya mereka berpikir keras agar bisa membayar biaya pendaftaran kuliahku nantinya. Mungkin Tuhan tengah merencanakan sesuatu. Tapi bagaimanapun juga, dinyatakan gagal dalam seluruh jalur seleksi yang kulakukan, tentu saja membuatku frustasi dan meragukan diriku sendiri.

“nak… masih tinggal satu pengumuman lagi kan?” rayu ibu. Yah, memang tinggal satu pengumuman lagi. UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Tapi bukan disana aku ingin mendalami mata pelajaran yang kusukai. Kimia.

Tahun depan, mungkin aku akan mencobanya kembali. Disaat ayah dan ibu sudah mempunyai persiapan untuk biaya studi lanjutku. Mungkin saat itu Tuhan akan lebih meridhoi dan memperlancar jalanku. Aku meyakini itu.

###

“sekarang pengumuman seleksi mandiri tulis UIN kan?” tanya Haidar, sahabatku, dari seberang sana. Aku mengiyakan pertanyaan haidar dengan lemah. Yah, aku sudah tak penasaran dengan hasil ujian masuk universitasku lagi. Aku sudah memutuskan untuk melakukannya lagi tahun depan. Dan untuk mengisi kekosonganku setahun ini, aku akan belajar di pondok pesantren salaffiyah dan melanjutkan hafalan Al-Qur’anku yang sempat terhenti sembari menyiapkan ujian masuk universitas yang kuinginkan. Mungkin saja hafalanku bisa memberikan nilai plus saat aku kuliah nantinya. Barokah Al-Qur’an? Siapa yang tahu. Aku tak benar-benar melepas impianku untuk masuk kuliah, aku hanya menundanya. Itu saja.

“nomor ujian kamu berapa?” suara haidar memecah lamunanku.

“nomor ujian? Buat apa?” aku memaksakan suaraku untuk keluar. Meskipun aku sudah memantapkan pilihanku, tapi sejujurnya masih terselip kekecewaan luar biasa di benakku. Keinginanku untuk kuliah tahun ini, masih belum surut.

“sebutin aja nomor ujian kamu. Sini aku lihatin.” Yah, karena di rumahku tidak ada jaringan internet, haidarlah yang selalu memantau perkembangan seleksi PTNku. Bahkan dia juga yang mendaftarkan dan melihat hasil ujianku. Haidar memang sahabat yang paling berperan dalam kehidupanku. Kadar kepercayaan yang kuberikan padanya jauh lebih besar dibandingkan teman-temanku yang lain. Bisa dibilang, dia istimewa?? Atau mungkin lebih.

“kartu ujianku sudah aku buang haidar... Gak usah diliat. Lagian gak bakalan masuk juga. Aku sudah mengambil keputusan untuk tidak kuliah tahun ini.” jawabku setengah hati. Aku hanya tidak mau dia kecewa dengan keputusanku. Diam-diam aku iri dengan haidar yang sudah dinyatakan diterima di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

“gak kuliah kenapa?” aku mendengar suara Haidar yang menyembunyikan kekecewaannya. “ayolaaah… kasih tau nomor ujian kamu. Prodi yang kamu pilih kimia kan?” lanjutnya.

“udaah. Gak papa haidar… biar tahun ini ayah sama ibu fokus pada adik-adik dulu. Adik-adik juga butuh biaya banyak. Aku bisa tahun depan. Lagian setahun nanti aku juga gak diam di rumah saja kok. Aku melanjutkan hafalanku di pesantren salaf. Tahun depan aku susul kamu.” Jawabku pura-pura tegar. Padahal mataku mulai kabur. Ada genangan yang memenuhinya.

Ayo Nafa… kamu bisa. Kamu harus yakin dengan pilihamu sendiri. Ayah dan ibu sudah mendukungmu kan? jadi, apa lagi yang membuatmu goyah? Yakinku pada diriku sendiri. Tapi entah kenapa air mataku mengalir semakin deras saat haidar menerima keputusanku dengan berat.

"Baiklah kalau itu memang benar-benar keputusanmu. Tapi aku meragukannya." Aku dapat mendengar helaan nafas kecewa haidar.

“yang aku ingat nomor ujianku belakangnya 144.” Ucapku sebelum mengakhiri telephonku dan haidar.

###

“kamu di rumah kan?” tanya haidar dari balik telephon.

“iya. Di dalam kamar.” Jawabku seraya merebahkan punggungku di atas kasur.

“tapi kenapa ini rumah sepi banget ya? Ada orangnya gak sih? Assalamualaikum…” rancau Haidar yang membuatku mengerutkan keningku.

“Assalamualaikum…” ucap Haidar. Tapi tunggu, kenapa aku juga mendengar suara orang mengucap salam seraya mengetuk pintu rumahku? Tak mau penasaran, akupun mengangkat tubuhku ke ruang tamu dan mengintip siapa yang berada di balik pintu. Seketika aku terkejut saat mengetahui siapa yang berada dibalik pintu dengan telephon yang masih berada di telinganya. Haidar.

“ka… kamu, ngapain? Ada apa?” tanyaku terbata setelah aku membuka pintu. Seperti biasa haidar memamerkan senyumnya seakan dia tak bersalah sedikitpun. Seakan tiba-tiba muncul dirumahku tak cukup membuat jantungku hampir copot. Aku bahkan lupa tak menjawab salamnya.

“boleh aku masuk dulu?” Haidar membangunkan keterkejutanku dan membuatku salah tingkah. Bagaimanapun juga, belum ada seorang laki-lakipun yang pernah datang ke rumahku. Sendirian? Dia sungguh berani di saat kedua orang tuaku ada di rumah. Tapi aku bertanya-tanya, apa yang membuatnya nekad datang ke rumahku di saat aku dan dia masih berstatus santri di pesantren yang sama.

“ini pengumumannya, dan ini persyaratannya.” Haidar memberikan dua lembar kertas kepadaku. Aku menerimanya dengan ragu, tak mengerti.

“yang kimia. Nomor ketiga.” Pandu haidar. Aku membelalakkan mataku saat mendapati namaku ada disana. NAFLAH FAKHIRAH. Kenapa namaku ada disana? Aku melihat kertas yang diberikan haidar lagi.

PENGUMUMAN PESERTA LOLOS SELEKSI UJIAN MASUK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

Aku melemparkan pandanganku pada Haidar.

“aku tunggu keputusanmu sekarang. Daftar ulang terakhir besok, kalau kamu masih bingung, aku bisa nganterin kamu. Dari sekian banyak pendaftar, cuma 13 orang yang diterima. Bayangkan orang ke 14 yang seharusnya masuk jika kamu tidak ada.”

“ada apa ini?” tanya ayah yang keluar dari ruang tengah dan diikuti ibu. Haidar mencium punggung tangan ayah dan ibu seraya tersenyum sopan.

“ini pak, mau nganterin ini.” haidar menunjuk kertas yang berada di tanganku. Segera aku memberikan kertas itu pada ayah dan ibu yang duduk disampingku.

“itu pengumuman penerimaan mahasiswa baru di UIN Malang. Dan Alhamdulillah Nafa keterima di jurusan kimia.” Jelas haidar, singkat. Penjelasan yang langsung membesarkan harapanku untuk kuliah. Aku menunggu tanggapan ayah, karena bagaimanapun juga ayah memiliki peran terbesar dalam mengambil keputusan bagiku.

“lhooh, gimana ya. Nafa mau mondok di pesantren salaffiyah. Mau ngelanjutin hafalan Al-Qur’annya.” Jawaban ayah membuat harapanku seketika menciut.

Haidar tampak mengambil nafas panjang dan memamerkan senyumnya lagi. “kan bisa sambil kuliah pak. UIN Malang juga universitas yang bagus pak. Nafa beruntung bisa keterima disana.”

“Nafa. Ayo ikut ibu.” Ibu memegang lenganku, meninggalkan haidar dan ayah yang tampak serius membicarakanku, kuliahku. Aku tau haidar tengah merayu ayah. Karena ayah yang memiliki keinginan yang lebih besar agar aku melanjutkan hafalanku saja. Selama ini Haidar belum pernah gagal merayuku jika ada yang ia inginkan. Dan semoga hal itu berlaku untuk ayah juga.

“bagaimana Nafa?” tanya ibu saat kami sudah sampai di dapur.

Aku menundukkan kepalaku dalam-dalam. Aku sungguh bingung. Aku tak tau apa yang harus aku lakukan.

“ibu tau Nafa khawatir biaya kan? gak usah khawatir. Yang penting Nafa gimana? Kuliah?” tanya ibu sembari memegang pipiku. Aku merasakan air hangat mengalir dipipiku dan jatuh ditangan ibu. “turuti kata hati Nafa.”

“Nafa… pengen kuliah bu…” ungkapku diringi dengan isakku.

###

Selamat, sudah menjadi mahasiswa.^_^

Kubaca SMS dari haidar dengan kebahagiaan yang tidak bisa terkatakan. Haidar. Sahabat yang tak bisa kubahasakan dengan kata-kata lagi. Sahabat yang sudah mengenalkanku dengan kehidupan, mengajarkanku cara untuk bangkit dari keterpurukan, memunculkan senyumku kembali di setiap tangis yang kuuraikan padanya, mendukung setiap pilihan yang terbaik untukku, dan sahabat yang membuat mimpiku semakin dekat. Sahabat yang tanpa kusadar sudah menumbuhkan benih-benih kasih sayang yang tak seharusnya keselipkan dalam persahabatan kita. Sahabat yang setiap pilihannya, seakan menjadi keputusan yang tak bisa kutolak.

PROFIL PENULIS

Penulis yang memiliki nama lengkap Siti Nur Jannah ini adalah mahasiswa jurusan kimia di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Sejak 13 Agustus 1996, ia dibesarkan dalam keluarga sederhana di Pasuruan, Jawa Timur. Ia juga alumni Pondok Pesantren Ngalah di Pasuruan. Penulis juga merupakan santri di MHB Darul Hikmah Malang. Penulis bisa dihubungi di akun FB: An Na (Siti Nur Jannah) atau e-mail: anna.naflah@gmail.com

0 komentar:

Tolak Ukur??

N. I. L. A. I
A. N. G. K. A
H. U. R. U. F

Seringkali, ah tidak, bahkan setiap kali kepandaian seseorang ditentukan oleh seberapa besar angka yang diperoleh, seberapa banyak huruf pertama yang diperoleh. Nilai itu ada, angka itu ada, huruf itu ada, karna ada tolak ukur yang bisa menjadikannya ada. 

Namun, bagaimana dengan kesabaran? Kerja keras? Usaha? Keikhlasan? Dan rasa cinta mungkin...
Apa ada tolak ukur kesabaran? Misalnya. Pada kadar sekian, si A dapat dikategorikan sebagai orang yang sabar. Jika seseorang mencucurkan keringat sejuta tetes per menit, maka si B dapat dikatakan bekerja keras. Ato mungkin kalo seseorang mampu memberikan apapun yang diminta pacarnya kayak kantong doraemon, berarti si C cintanya dalem. Emang gitu? 😄😄😄

Wahai kalian yang masih merumitkan tolak ukur, tidak ada ukuran yang bisa menghentikan kalian. Tolak ukur hanya untuk mereka yang membatasi kebahagiaan mereka, bukan kalian!! So, lepas semua tolak ukur... Kalian adalah kalian sendiri. Yang bisa memberikan ukuran, hanya kalian dan Tuhan yang kalian percayai.^_^

Sekarang, pejamkan mata kalian, tarik kedua ujung bibir ke atas dan teriakkan dalam hati "Aku sudah melakukan yang terbaik".😊💪

0 komentar:

Selasa, 06 September 2016

Aku dan Headline Koran

Brakk!!!
Koran news yang beberapa detik lalu berada ditanganku, kini mendarat dengan cukup keras di atas meja di depanku. Ayah yang sedari tadi sepertinya tengah asyik membaca koran sport kesukaannya, tiba-tiba tersentak dan langsung  mengintipku sejenak dari balik korannya sebelum kemudian beralih pada korannya lagi.

“ada apa?” Tanya ayah seraya memebenahkan letak kacamatanya.
Aku mendengus kesal seraya menyandarkan punggungku pada kursi.

“aku tak mengerti ayah. Kenapa sepertinya koran ini tidak pernah kehabisan stok berita tentang korupsi” keluhku. Tidak ketinggalan kuberikan cibiran terbaikku saat melihat foto orang-orang yang terpampang di sana, untuk meyakinkan ayah kalau aku serius. Aku benar-benar muak melihat mereka. Entah yang kini sudah terbongkar ataupun yang masih tersembunyi.

Ayah menurunkan korannya, melipatnya sembarang, kemudian menaruhnya di meja. Tepat di atas koran yang kubanting tadi.
“nafa, sepertinya kamu kurang adil sayang…” ucap ayah yang langsung membuatku menautkan kedua alisku, tak mengerti dengan apa yang ayah maksudkan.
“seharusnya bukan koran ini saja yang mendapat protes dari kamu. Bukankah hampir setiap media massa di Indonesia baik elektronik maupun elektronik memang tidak pernah berhenti membahas hal yang satu itu?” timpal ayah sambil mengangkat satu alisnya. “namun, coba deh kamu pikirin. Ini yang salah sebenarnya media massanya atau orangnya ya??” lanjut ayah dan tersenyum jahil.

Merasa apa yang dikatakan ayah memang benar, bibirkupun terkunci. Aku langsung mati kutu. “po… pok.. pokoknya sebagai anak dari anggota Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia tercintaku ini, aku akan marah kalau ayah tidak cepat-cepat memberantas para-para tikus berdasi itu!” hardikku seakan orang orasi.

Ayah mengangkat jari jempolnya ke atas. “siap komandan! Ayah berjanji.”

Aku hanya bisa tersenyum geli melihat ayah sekaligus lega mendengar janji ayah. Karena ayah adalah orang yang tidak pernah berbohong dan tidak pernah mengingkari janjinya.
“ayah memang lelaki terhebat!” kuacungkan dua jempolku pada ayah.

“kalau dibandingkan Fatih, lebih hebat siapa?” tanggap ayah yang membuatku langsung tersipu.

###

“lempar melewati gerbang itu naf.” Perintah fatih yang duduk di atas sepedanya sedang aku harus berusaha agar Koran yang berada ditanganku ini bisa melewati gerbang yang tingginya dua kali tinggiku. Jika saja orang yang tengah menatapku itu bukan orang yang selama ini memenuhi pikiranku, aku pasti akan menipuk kepalanya dengan koran yang kupegang ini. Aku menghela nafas untuk yang kesekian kalinya saat gulungan Koran yang kulemparkan gagal. Lagi. Ah, seharusnya aku menolak saat fatih menawariku untuk berangkat bersamanya. Tapi entah ada angin apa sehingga bibirku ini tidak bisa berkata tidak dan sebagai gantinya aku mengangguk dan berkata iya sebagai pertanda kalau aku tidak menolak ajakannya.

“lebih tinggi lagi naf!” perintah fatih untuk ke seribu kalinya. Enak sekali dia ngomong tanpa melihat betapa sulitnya aku untuk melakukan apa yang disuruhnya. Apa dia kira aku ini atlet melompat, dengan entengnya dia bilang ‘lebih tinggi’, ‘hampir saja’, ‘coba sekali lagi’. Lemparan ke-tak terhinggaku ini gagal untuk kesekian kalinya. Aku mendengus kesal dengan nafas yang terengah-engah.

“ok. Aku menyerah” keluhku seraya membungkuk memijat lututku.

“tidak ada kata menyerah. Kamu hanya melakukannya dengan cara yang sama sekalipun kamu tau cara itu selalu gagal. Yang perlu kamu lakukan jika kamu gagal adalah melakukannya dengan cara yang berbeda. Kamu itu tidak akan berakhir hanya karena kamu gagal, api akan berakhir kalau kamu berhenti” aku tertegun mendengar paparannya hingga kau tak menyadari kalau ternyata dia sudah berdiri tepat di belakangku. Nafasku kontan saja langsung tercekat. Berada di boncengannya saja sudah membuatku deg-degkan apalagi berada sedekat ini dengannya. Aku mengambil Koran yang terjatuh disamping kakiku secepat yang aku bisa dan langsung melemparkannya pada fatih agar aku tidak perlu melompat-lompat lagi. Agar aku tidak perlu berdiri sedekat ini dengannya.

Tanpa pernah aku duga, tiba-tiba fatih menyergap tanganku. Aku hendak melepaskan diri tapi fatih menggenggam tanganku erat sekali sehingga aku tak punya kekuatan lagi untuk mengambil alih tanganku.

Fatih menatapku tepat di mataku. Membuatku seakan terkunci tidak bisa bergerak barang sedikitpun. Sesaat aku berpikir, mungkin saja waktu telah berhenti. Namun ternyata jantungku yang memompa lebih cepat dari biasanya.

“Nafa, kenapa kamu memilihku?”
Aku menelan paksa ludahku mendengar pertanyaan Fatih. Kenapa? Apakah perasaan itu harus punya alasan? Aku bahkan tak tau awal perasaan ini tumbuh. Sejak pertemuan kami di perpustakaan sekolah, aku dan Fatih sering berbagi pendapat. Dan saat aku tau dia menjadi loper koran untuk membayar sekolahnya, rasa kagumku padanya semakin besar. Entah sejak pertemuan kami di perpustakaan ataukah sejak aku tau ia adalah pemuda yang hebat, aku tak tau. Yang aku tau, perasaan ini ada.

Fatih memamerkan senyumannya. Senyuman yang belum pernah kulihat sebelumnya. Fatih melepaskan tanganku, mengambil gulungan Koran yang terjatuh tadi dan memutar tubuhku menghadap gerbang itu lagi.

“baiklah. Kamu sudah menceritakannya dari matamu.” Putus Fatih dan mengangguk-anggukkan kepalanya seakan aku sudah menjawab pertanyaannya. Aku hanya terpaku seperti patung hidup.

“pegang ujung Koran ini. Arahkan dia vertikal ke atas membentuk sudut 30 derajat. Berikan tumpuanmu pada ujung Koran bagian bawah ini, lalu lemparkan. Mengerti?” aku mengangguk mengerti meskipun masih terbesit pertanyaan di hatiku. Apakah Fatih punya indra ke-enam?

“kalau begitu, ayo kita lakukan bersama.” Intruksi fatih saat Koran itu siap meluncur dari tanganku, atau mungkin tangannya. Tanganku dan dia.

Sekali lempar dan….. yap. Koran itu melewati gerbang itu dengan mulus. Aku berseru girang.

###

“aku tak tau kalau ternyata kamu dan ayah sudah saling mengenal.” Ujarku dari boncengan fatih dan dengan setumpuk Koran dipangkuanku.

“sepertinya ayahku menyukaimu.” Lanjutku saat mengingat betapa ayah tadi sangat menyambutnya ketika ia mampir ke rumah.

“yah, aku tau. Ayahmu adalah orang yang hebat.” Jawab fatih dari balik kemudinya.

Sejak pagi itu, aku sering berangkat bersama dengan fatih. Menunggunya di depan rumah, kemudian bersama mengantarkan Koran ke para pelanggannya. Dan sekarang, aku sudah cukup ahli dalam melempar Koran. Hampir setiap lemparanku tak pernah gagal.

Aku mendengus kesal saat mataku menangkap berita yang menjadi headline Koran hari ini.

“lagi-lagi korupsi. Sepertinya aku perlu menjadwal media di Indonesia agar tidak hanya korupsi yang mereka jadikan sebagai berita utama mereka”

Fatih menghentikan sepedanya, mengambil Koran yang ada dipangkuanku dan melemparkan Koran itu melewati gerbang rumah pelanggan fatih dengan mulus tanpa perlu turun atau melompat. Aku iri dengannya.

“kenapa?” Tanya fatih seraya mengayuh sepedanya lagi.

“aku kesal fat. Apa masih belum cukup Indonesia sudah menjadi Negara dengan kasus korupsi terbesar di dunia? Mengingat kalau Indonesia adalah Negara yang kaya akan alamnya, itu sungguh prestasi yang sangat membanggakan.” Cibirku.

“gimana kalau aku berharap Indonesia menjadi Negara dengan kasus korupsi terbesar di dunia.” Sahut fatih. Kontan aku langsung membelalakkan mataku.

“kamu mau membunuh Negara kita? Kalau memang itu misimu, aku berdoa dengan sangat semoga harapanmu tidak terkabul.” Apa-apaan dengan menjadi Negara yang terkenal karena kasus korupsi terbesar di dunia.

Fatih tersenyum. Aku yakin karena aku bisa melihatnya dari sini.

“itu memang prestasi yang sangat mengagumkan naf. Bagaimanapun ada sisi lain yang harus kamu perhatikan di sana. Selayaknya koin, dia mempunyai dua sisi yang memiliki artian yang berbeda. Coba deh kamu renungin lagi apa yang tersembunyi di balik nama Negara dengan kasus korupsi terbesar di dunia?”

“mmm, Negara kita….. bobrok?”

“hush! Hati-hati dengan ucapanmu nafa. Ucapan itu adalah doa.” Tegur fatih yang membuatku menyesal telah berkomentar seperti itu.

“lha terus apa?? Jangan membuatku tambah emosi donk kamu itu fat…” keluhku karena fatih memang telah menguras emosiku.

“baiklah, aku akan menjawabnya asalkan kamu berhenti untuk tidak sabaran.”

“fatih!” umpatku seraya menarik kerah bajunya.

“whoah, kamu mau membunuhku ya?” sergah fatih dengan nafas yang sedikit teredak karena tarikanku tadi.

“kalau kamu tidak segera menjawabnya, maka jawabanku adalah iya.”

“ok ok.” Fatih menarik nafasnya setelah ia berhasil melemparkan Koran melewati gerbang pelanggannya dan mengayuh sepedanya lagi.

“saat kita kecil dulu, kita disebut pemain kelereng yang hebat apabila mendapatkan kelereng yang paling banyak. Iya kan?” aku hanya menganggukkan kepalaku mengerti sekalipun aku tau dia tidak melihatku.

“nah, sama saja dengan Negara kita. Semakin tinggi prestasi kita yang kamu bilang memalukan itu, itu menunjukkan semakin hebatnya Negara kita dalam menemukan kasus korupsi yang selama ini masih belum terungkap kan? Dan semakin banyak para koruptor yang tertangkap, aku yakin para pejabat lain yang ingin melakukan korupsi masih pikir-pikir terlebih dahulu kalau mereka tidak ingin berakhir seperti para pendahulu mereka. Saat ini, maraknya kasus korupsi karena kurang ketatnya penjagaan pemerintah terdahulu. Sebenarnya kita hanya membutuhkan pejabat yang Amanah Naf. Amanah terhadap tugas dan kewajiban mereka. Dan jika sudah seperti itu maka Indonesia……”

“Indonesia bersih.” Lanjutku saat aku bisa menangkap maksud perkataan fatih. Aku menatap tengkuk fatih seakan tidak menduga kalau paras yang berada dibalik tengkuk itu masih kalah jauh dibandingkan kekagumanku pada setiap apa yang dikatakan fatih. Dan entah kenapa, aku seakan tak ingin jauh darinya.

“kamu memang cerdas naf.” Puji fatih yang mau tak mau langsung membuat pipiku memerah.

"Biarkan saja saat ini Indonesia jatuh. Karna suatu saat nanti, aku yakin Indonesia akan menunjukkan singa asia nya kembali. " lanjut Fatih dengan yakin.

Aku mengamini harapannya dalam hati. Saat mataku jatuh pada headline Koran yang ada dipangkuanku, aku tak bisa memendam apa yang pertama kali terbesit di hatiku.

“aku sangat membencimu!” seruku. Dan tiba-tiba fatih mengerem sepedanya mendadak hingga membuatku terjungkal ke depan menabrak punggung fatih.

“ada apa?” Tanyaku masih mengatur nafasku yang tersenggal karena terkejut.

“bukan apa-apa. Hanya saja---kamu membenciku?”

Aku tertawa pelan mendengar pertanyaan Fatih. “aku? Hahaha… ya enggaklah. Gak akan pernah.”

###

“apapun yang kamu lihat nanti, aku tidak akan melarangmu untuk kecawa ataupun marah.” Ujar Fatih saat kami memasuki sebuah rumah besar dengan halaman yang luas. Aku tak mengerti apa yang dimaksudkan Fatih. Atau lebih tepatnya aku tak menghiaraukan apa yang dibicarakan olehnya. Aku sudah tertegun sekaligus mengagumi bangunan yang ada di depanku kini. Fatih bilang kalau ia harus mengambil buku yang ketinggalan di rumahnya. Tapi kenapa Fatih malah masuk ke rumah ini? Apa mungkin ini rumah atasan Fatih?

Fatih membuka pintu rumah itu tanpa mengetuk selayaknya rumah sendiri. Aku hendak menegurnya kalau itu tidak sopan, jika saja aku tidak mendengar subuah suara dari balik pintunya.

“Fatih! Sudah berapa kali ayah bilang jangan lanjutkan pekerjaan rendah yang tak perlu kamu lakukan itu!” suara yang diucapkan dengan nada tinggi itu membuatku terhenti di samping pintu. Urung untuk masuk mengikuti Fatih.

“Fatih! Dengarkan ayah! Apapun yang ayah lakukan hanya untuk kebahagiaan kamu dan ibumu. Tidak ada yang lain. Ayah sangat menyayangi kalian.”

“sayang ayah hanyalah bungkus dari Nafsu serakah ayah. Ayah tidak perlu membawa-bawa kami sebagai alasan. Terang saja ibu lebih memilih pergi daripada bersama ayah. Dan sebentar lagi aku pasti juga akan menyusul ibu. Terima kasih ayah sudah membiayai hidupku dengan uang yang ayah agung-agungkan itu. Setelah uangku terkumpul, aku janji akan mengembalikan semua kertas yang ayah anggap uang dari jerih payah ayah itu. Dan jangan merendahkan pekerjaanku yang jauh lebih baik dari pekerjaan ayah.” Seru Fatih sebelum ia muncul dihadapanku dengan raut wajah yang tampak merah padam. Begitupun ayahnya. Dengan membawa buku ditangan kirinya, tangan kanannya tiba-tiba menarik pergelangan tanganku dan membawaku menjauh dari rumah itu.

“dasar kamu anak tak tau diuntung!” teriak ayah Fatih sebelum terdengar bunyi BRAK dari pintu yang sepertinya mendapat tendangan yang cukup keras.

Aku menyentakkan tanganku dari genggaman Fatih dengan geram. Mungkin aku bisa mentolerir kalau ternyata Fatih bukan anak dari orang yang tak punya seperti yang aku duga sebelumnya sehingga dia harus membantu orang tuanya dengan menjadi seorang loper koran. Namun, yang mengusik pikiranku adalah….

“bagaimana mungkin kamu bisa seperti itu pada ayahmu Fatih?” tanyaku dengan mata yang tergenang air mata. Entah kenapa hatiku perih. Sosok Fatih yang kukenal, apakah memang seperti ini?

Fatih menundukkan kepalanya menyapukan pandangannya padaku.
“ini tak seperti yang kamu lihat dengan mata telanjang. Tapi Nafa, bukankah aku sudah pernah bilang aku tak akan pernah melarangmu untuk kecewa ataupun marah?”

Bagaimana mungkin aku tak marah? Bagaimana mungkin aku tak kecewa? Aku tak bisa berteriak padanya. Hanya air mata yang meluapkan segalanya.

###

Aku membelalakkan  mataku ketika melihat headline koran hari ini. Wajah dikoran ini, sepertinya aku pernah menemuinya. Wajah dikoran ini, tidak salah lagi. Ini ayah Fatih! Dan aku melihat ayahku di sampingnya. Saat aku melihat judul dari headline yang memuat foto ayah Fatih.

KORUPSI TERUNGKAP, KPK LANGSUNG TANGGAP

Dan penyelidik kasus ini, ayahku.

2 komentar:

Senin, 05 September 2016

Aku Pembuat Bom??

Kimia?
Hal pertama yang terlintas ketika mendengar kata kimia, pasti satu hal. Apa?? BOM! 🔥💥🌟💫🌟💢
Iya gak?? 😄

Sebenernya kimia gak se-ekstrim itu kok.... (Meskipun awalnya aku juga pernah berpikir gitu sih.😂). Aku juga gak tau kenapa aku berguling-guling di sekitar hal paling imut yg bahkan tak bisa diliat mata telanjang (apa disuruh pake baju ya matanya?😄). Siapakah dia? Yaps. Mr Atom tercinta...
Ssst. Jangan bilang siapa-siapa ya klo perhatianku ke Mr atom lebih besar daripada ke dia.😯 Dia siapa?? Ya dia pokoknya. Meskipun gak tau siapa, ya pokoknya dia.😄

Eh, sebenernya tubuh kita itu pusat reaksi kimia lho...
Semua jenis reaksi di tubuh kita lengkap deh. Mau reaksi apa?? Pembakaran? Pembentukan? Pemecahan?? Sampe reaksi cinta pun Mr atom ikut andil lho...  Kurang apa tuh Mr Atom.😘
Makanya diperhatikan dikit tuh. Biar gak cemburu buta... Ntar klo ngambek, Mr Atom bisa balas dendam lho. Gimana klo pas pembentukan DNA, Mr atom ngilang satu? Waaah, bisa kacau nanti.😁

Pernah denger. Katanya sesuatu yg besar itu berasal dari sesuatu yg kecil. Iya ta? Aku cuma denger denger sih... 😮

Nah, kimia itu ke poin Mr atom sampe akar akarnya deh. Bahkan Mr atom maunya pasangan sama siapa, kita yang cari tau juga. Mr atom geraknya gimana, juga kita kepoin. Karna saat Mr atom kehilangan elektronnya, dia akan jadi Mr Radikal yang bakal berbahaya banget buat tubuh kita. Zat yg seharusnya dibuang, bakal ditahan sama si radikal. Ngeri kan?? 😱

Sebenernya atom atom gak ada yang bahayain kok...
Yang bahaya itu klo kelebihan. Tuhan udah bilang kan dalam Firman-Nya, klo sesuatu yang berlebihan itu gak baik?
Misalnya nih, zat besi. Bahasa kerennya Ferron (Fe).✌
Zat besi emang berguna buat tulang kita, pake banget malahan. Tapi dengan kadar yang secukupnya. Klo kelebihan, seperti penderita Thalesmia? Si zat besi bisa ngerusak kinerja organ lain lho...

Tuh kan. Kimia gak hanya tentang bom.😄
Kimia itu tentang kita dan alam. Kata pak dosen, kimia itu the central of life. (Ceileh pake bahsa inggris😂). Kan the mother of science itu, Matematika. Pengembangannya matematika itu, fisika. Pengembangannya fisika, itu kimia. Pengembangannya kimia, itu biologi. Dan pengembangannya biologi, itu kehidupan.
Nah kan, kimia di tengah-tengah... 😂

Untuk para kimiawan dan calon kimiawan yang terkadang udah pengen nyerah, dan milih nikah aja(termasuk saya... 😅 cuma kadang lho.😜), yuk kita kepoin Mr paling imut di dunia ini. Dia mengajarkan kita banyak hal tentang kehidupan lho...

Oh iya, kimiawan itu bukan yang selalu keluar masuk lab dengan jas yang sok keren aja lho. Siapapun kalian, kalian adalah kimiawan sejati. Setiap hari, kalian udah ngelakuin reaksi kimia di dalam tubuh kalian. Hanya saja gak sadar... Itu aja kok.

Yuk kenali Mr Atom, kenali diri kita.😊

#kitabukanpembuatBom

0 komentar:

Minggu, 04 September 2016

Adaku tak Berarti

Aku terbangunkan desah angin

Belaian lembutnya bak sentuhan ibu

Terik surya menyapaku lagi

Namun sang merpati mengepakkan sayapnya pergi

Sedang aku masih terpatri di sini

Menatap kejamnya fatamorgana duniawi

Lihatlah bangunan angkuh itu!

Tingginya seakan melahap langit

Keberadaannya tlah menyita kuasaku

Ch, seakan ia lebih berharga dariku

Lihatlah antrian mobil bermerek itu!

Kilaunya hendak saingkan purnama

Suara klaksonnya bak terompet tahun baru

Kepulan asap knalpotnya kalahkan persahabatan atom oksida

Ah, seakan bumi tak akan runtuh saja karena mereka

Dan hanya akulah yang bisa menyelesaikannya

Lihatlah aku!

Aku yang berdiri tegap pertahankan singgahsanaku

Meski makanpun aku terseok

Meski langkahpun tak dapat menjangkau dahaga

Dan meski kepulan asap mengepung gerakku

Aku tetap bertahan

Umur tlah menggerogoti tubuhku

Tapi aku harus bertahan

Kutanggung tugasku karena pinta Tuhan

“nyalakan apinya, dan segera bakar mereka”

Suara manusia itu beriring dengan rasa panas tubuhku

Ranting-rantingku mulai menggeliat ketakutan

Daun-daunku berteriak pilu

Warna mereka pucat karna racun manusia

Dan aku, hanya bisa menitikkan air mata

Sesal karena adaku tak sungguh diharapkan

Sesal karena adaku tak sungguh berarti

*Puisi ini telah diterbitkan dalam 'Antologi Puisi' bertemakan 'Hutan' oleh 'Penerbit Genom'

0 komentar:

Goresan Cintaku

Keluh tak lagi terpapar
Hiraukan lelah sudah rutinan
sedang Alas harapan selalu terbentang
Untuk darah yang bernafas samar
Laraskan kehadiran dengan tawa
Awan… janjikah menaunginya?

Masa tak bisa tertata
Arah waktu tak bisa terdiam
Rengkuhan kasih kan terlampau ingatan
Kau yang simpanku dalam dekapan
Hendakkah pisahkan zaman?
Urus langkah saja ku tak kuasa
Melodi suaramu arahkan angan
Alunan tawamu damaikan rasa
Hidup tanpamu, sanggupkah?

Ingkarkan duka dalam tatap
Belai jemarimu selalu teringat
Untuk engkau yang sembunyikan air mata
Kilau deraimu masih terlihat
Usut bibirmupun tertangkap sangat

Tinggal hati yang kan dekatkan
Elok kasihmu dibalik tamparan
Risaumu dibalik kebebasan
Ceraikanlah sedih dalam sukma
Inilah rangkaian yang tercipta
Nuansakan nurani yang terdalam
Tuk sang pemilik surga di bawah telapak kakinya
Akan kutitipkan cinta ini pada goresan

Malang, 26 Januari 2016

*puisi ini telah diterbitkan dalam 'Antologi Puisi' bertemakan 'Ibu' oleh Writing is Amazing Publisher

0 komentar:

Penanti yang Tak Sadar

“Kenangan-kenangan itu selalu hadir. Hadir dalam ingatan yang tak pernah kuundang. Seandainya saja bisa, ingin rasanya kusisihkan ingatan ini bersama dengan angin. Namun, semakin aku bergerak untuk menjauh, semakin cepat pula kenangan itu menjajari langkahku. Apakah aku harus menyalahkanmu yang memberikan kenangan ini ataukah aku harus menyalahkan diriku yang tak bisa melupakannya?”
“Nafa, ke kantin yuk!” teriak suara dari belakangku. Aku yang masih menulis keterangan dosen di papan tulispun hanya menganggapnya angin lalu.
“Nafa.” suara yang tidak asing itu memanggilku lagi. Seperti biasa, aku tak menghiraukannya dan berkonsentrasi pada tulisanku kembali.
“Nafa, ada yang nyariin kamu.” Ujar suara itu seraya mengetuk pundakku dari belakang. Kontan aku langsung menolehkan kepalaku, karena Naila, temanku, berkata kalau sekarang ia ingin mengambil novel yang ia pinjamkan padaku. Tapi, bukannya mendapati Naila, aku malah merasakan ada benda runcing tumpul yang seakan berjalan di pipi kananku membentuk garis lurus panjang berwarna hitam disusul dengan suara tawa yang sepertinya bisa didengar seluruh kampus.
“Fatih! Kamu apa-apaan sih!” teriakku marah. Bukan karena ia berhasil membuat coretan dipipiku, tapi karena alasan lain. “berhenti bersikap seperti itu!” lanjutku. Fatih menghentikan tawanya dan menatap lurus padaku.
“kenapa? Karena apa yang aku lakukan mengingatkanmu pada ‘dia’?”
Dia. Yah, dia yang dimaksud Fatih adalah Haidar. Sahabat sekaligus seseorang yang selalu memenuhi pikiranku hingga sekarang.
“sekarang dia dimana? Di Bandung ya? Kuliah kan?” tanya fatih seraya memutar-mutar pena dijarinya. Aku menatap fatih tajam dengan pikiran yang secara otomatis berjalan ke masa dimana saat aku dan Haidar menghabiskan waktu bersama. Dan setiap kali ingatanku itu muncul dalam kepalaku, saraf motorikku langsung mengirimkan implus yang membuat hatiku langsung berkecamuk. Antara marah, terluka, rindu yang selama ini kupendam dan rasa yang tak pernah bisa kuungkapkan. Khawatir kalau amarahku keluar tanpa kendali, aku segera memasukkan bukuku ke dalam tas dan beranjak dari tempat dudukku meninggalkan fatih yang menatapku penuh selidik.

“Naf, ini dari Fatih! Aku balik duluan ya.” Ucap Risma buru-buru seraya menyodorkan lipatan kertas kecil di atas bangkuku dan berjalan cepat meninggalkan kelas.
Aku membuka kertas yang diberikan Risma padaku.
ISTIRAHAT. PERPUSTAKAAN.
Aku tercekat melihat tulisan yang kini tertangkap oleh retinaku. Kata-kata ini, sobekan kertas seperti ini, sering aku dapatkan saat aku bersama Haidar. Aku tak pernah melewatkan sekecil apapun ingatan yang aku rangkai bersamanya di perpustakaan. Namun, hanya ada satu kejadian yang terekam dengan jelas di kepalaku.
29 Desember 2013
“apa sih tujuan kamu nulis?” tanya haidar yang duduk bersila disamping bangku perpustakaan, di depanku. Aku yang tengah mengerjakan tugas Fisika yang akan dikumpulkan setelah jam istirahat usaipun langsung menghentikan coretan tintaku dan mengalihkan pandanganku pada haidar. Aku terkejut. Tak biasanya haidar menanyakan hal seperti itu padaku.
Haidar menatapku tanpa bergeming seakan menunggu jawabanku. Saat haidar seperti ini, aku tau ia tengah serius. Akhirnya akupun meletakkan penaku dan memberikan seluruh perhatianku padanya.
“entahlah. Pada awalnya aku hanya suka menulis. Saat menulis, aku bisa membahasakan perasaanku dengan bebas karena aku tak pandai mengungkapkan perasaanku lewat ucapan. Tapi semakin lama, aku tak ingin hanya menulis untuk diriku sendiri. Aku ingin tulisanku dibaca oleh orang lain. Membuat orang lain tersenyum karena tulisanku, membuat orang lain berubah menjadi lebih baik karena tulisanku, dan membuat orang lain termotiasi karena tulisanku. I want change this world with my word.” Ujarku panjang lebar. Entahlah, jika menyangkut tentang tulisan, aku adalah orang yang paling sensitif.
Aku melihat Haidar yang tersenyum seraya menganggukkan kepalanya mengerti.
“hari ibu kemarin, kamu ngasih apa sama ibu?” tanya haidar merubah alur pembicaraan. Dan seperti biasa, aku adalah orang yang mudah teralihkan. Karena itulah haidar sering memarahiku, dan bahkan tak jarang menjahiliku.
“eh, cuma puisi gitu. Gak bisa ngasih apa-apa sama ibu.” Jawabku dengan menundukkan pandanganku. Yah, untuk seseorang yang sudah mengandungku, merawatku sedari kecil, selalu ada kapanpun dan dalam keadaan apapun diriku, sebuah puisi tak berarti apapun. Mungkin seperti satu butir pasir dalam seluruh samudera.
“Lhoh! Nafa!! nama kamu ada di sini!!” pekik Lia yang sedari tadi memang duduk diseberang bangkuku dan haidar. Kontan saja aku menolehkan kepalaku pada Lia dan menatapnya tak mengerti. Seakan membaca keraguanku, Lia langsung berjalan ke arahku dengan membawa selembar koran ditangannya.
“tuh, liat.” Lia menggelar korannya di depanku dan menunjuk kalimat yang tertulis di bawah kolom Cerpen.
NAFLAH FAKHIRAH (Siswa kelas XII IPA MA Darut Taqwa sekaligus santri di Pondok Pesantren Ngalah Purwosari)
Masih belum percaya dengan apa yang tertulis disana, aku membaca cerpen yang dimuat disana. Awalnya aku masih ragu dengan cerpennya karena aku tak pernah merasa mengirim cerpen ke media manapun. Bahkan aku juga tak pernah membiarkan sembarang orang membaca tulisanku kecuali…..
Aku menatap haidar yang tampak memarahi Lia. “kok kamu kasih tau sih. Mau aku buat kejutan.”
“ka…kamu…” ucapku terbata karena tak terasa air mataku sudah memenuhi kelopakku dan kata-kataku tercekat di tenggorokanku. Haidar balik menatapku dan melembutkan pandangannya.
“a…aku…”banyak yang ingin aku katakan padanya. Tapi entah kenapa tiba-tiba suaraku tidak mau keluar. Cuma air mata yang mengalir deras membasahi pipiku. Tak bisa berkata apapun, aku menenggelamkan kepalaku di atas Koran yang memuat cerpenku. Aku merasakan Lia mendekapku dari belakang dan menenangkanku.
“kado buat ibu, bisa ditambah lagi kan?” ujar haidar sedangkan aku masih belum bisa menghentikan air mataku.
“kamu, lanjutkan. Jangan pernah berhenti menulis.” Ucapnya kemudian. Aku mengangkat kepalaku dengan isak yang masih tersisa dan menganggukkan kepalaku dengan cepat.
Tentu saja. Tentu saja aku tak akan pernah berhenti menulis. Terimakasih selalu ada untukku, terimakasih karena selalu mendukungku. Terimakasih, karenamu aku lebih percaya dengan mimpiku.
Tes tes tes. Aku tersadar dari lamunanku saat merasakan air hangat dari mataku yang membasahi kertas dari Fatih. Haidar, aku merindukanmu. Aku segera menghapus air mataku saat mendengar getaran di sakuku. Satu pesan dari Fatih.
Kalau kamu nangis, datang ke perpustakaan.

“apa kamu kira kamu merindukannya?” tanya Fatih saat aku baru saja duduk di depannya, di perpustakaan.
“saat hati sesak seakan tak bisa bernafas, bukankah itu yang namanya rindu? Saat sekelebat wajah hanya bisa menari dibalik mata dan serasa ada beribu jarum yang menusuk jantung, bukankah itu rindu? Saat pandangan ingin mengejarnya meskipun tirai waktu menghalanginya, bukankah itu rindu?” Dulu saat ingin bertemu, cukup menunggu bel istirahat dan bel pulang sekolah. . Tapi sekarang bahkan mengucap hai saja rasanya berat.
“bukan. Kamu hanya merindukan saat-saat yang kamu habiskan bersamanya, kenangan yang kalian buat bersama, bukan dia.” Timpal Fatih yang terang saja berlawanan dengan nuraniku.
“kenapa kamu berkata seperti itu?”
“selama ini, kamu selalu menangis saat mengingat kenangan tentangnya. Kamu sedih karena kamu takut kenangan itu hanya kamu yang mengingatnya. Kamu selalu menampakkan senyum palsumu hanya karena ia yang dulu selalu ada buat kamu sekarang jauh darimu. Kamu selalu khawatir kalau dia akan melupakanmu saat kalian jauh. Kamu mengkhawatirkan sesuatu yang bahkan tak pernah ia rasakan sedikitpun.”
“tapi saat itu matanya…..”
“saat kapan? Kamu selalu memutar memory yang sama berulang kali tanpa mengingat kapan saat itu terjadi. Cinta itu bukan yang satu menanti dengan sabar dan yang satu gak sadar-sadar Naf. Sampai kapan kamu mau diperbudak oleh ingatanmu sendiri? Kamu selalu mempercayai apa yang ingin kamu percayai tanpa memperhatikan kenyataan yang terjadi. Jika dia mencintaimu, dia tidak akan membiarkanmu terombang-ambing seperti ini. Membuatmu kehilangan senyummu disaat ada orang lain yang bahagia dengan melihat senyummu. Cinta itu hanya bisa dibuktikan dengan dua hal, meng-HALAL-kan atau meng-IKHLAS-kan. Manakah yang ia lakukan untukmu?”
Aku terkejut sekaligus tak bisa menjawab Fatih. Tidak ada satupun yang Haidar lakukan dalam pilihan yang disebutkan Fatih. Akhirnya aku hanya terdiam.
“Sekarang kamu hanya punya dua pilihan. Membuka halaman selanjutnya ataukah menutup bukunya.” Tegas Fatih.

Rasa ini berawal dari persahabatan. Rasa yang aku tak tau kapan ia berawal sebagaimana aku tak tau kapan akan berakhir.

*cerpen ini telah diterbitkan dalam Antologi Cerpen bertemakan Rahasia Hati oleh Kekata Publisher

0 komentar: